Suku Da'a: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Adie Baim (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Adie Baim (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 8:
 
Rumah asli etnik Da’a pada saat ini adalah rumah panggung tinggi yang disebut ''sou langa'' (rumah tinggi). Rumah panggung ini dibangun di atas tiang-tiang bambu yang tingginya sekitar 4-15 m di atas permukaan tanah. Dahulu rumah mereka dibangun di atas sebuah pohon (rumah pohon) kayu keras yang batang utamanya lurus dengan banyak cabang yang mendatar, seperti pohon ketapang yang memiliki ketinggian 7-20m. Lantainya terbuat dari anyaman bambu, dindingnya terbuat dari papan, sedankan atapnya terbuat dari anyaman daun kelapa. Kadang-kadang di sekitar tangga masuk terdapat sebuah teras kecil. Rumah biasanya dibagi dua, bagian depan berfungsi sebagai ruang untuk menerima tamu dan ruang tidur orang tua, sedangkan rumah bagian belakang biasanya berfungsi sebagai dapur dan ruang tidur anak-anak. Untuk membangun atau menyelesaikan rumah tinggi tersebut, biasanya membutuhkan waktu sekitar tujuh hari, yang dapat dilakukan oleh satu orang saja.<ref>Gunawan Tjahjono, Indonesian Heritage: Arsitektur, Jakarta: Buku Antar Bangsa, 2002.</ref><ref>Yuniawati, Dwi Yani, et.al. 2012. “Kajian Pluralisme Budaya Austronesia dan Melanesia Nusantara: Peradaban Penutur Austronesia di Kawasan Lembah Bada, Sulawesi Tengah.” Laporan Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Arkeologi Nasional</ref>
== Kehidupan ==
 
Makanan pokok masyarakat Da’a adalah padi ladang, yang ditanam di ladang yang dibuka di hutan lereng-lereng pegunungan. Mereka menyebut padi dengan sebutan ''nyi’i'', sedangkan beras disebut ''ose'', yang di dalam komunitas Kaili padi disebut ''pae''. Siklus tanam padi ladang adalah satu tahun satu kali panen. Pada saat menunggu panen padi, jika masyarakat Da’a kekurangan makanan, mereka juga mencari sagu, ''kasubi'' (ubi kayu),''toku'' (ubi jalar), ''talas'', dan ''loka'' (pisang). Biasanya sagu didapat dari lembah-lembah sungai yang lembab, sedangkan ubi kayu, ubi jalar, dan talas ditanam di sekitar ladang padi. Pada saat panen padi, mereka mengadakan upacara syukuran yang disebut dengan istilah ''vunja''. Mereka memanen padi dengan menggunakan alat ketam (ani-ani). Setelah itu padi diikat dan dijemur dalam pada ''para-para'' yang terbuat dari bambu. Masyarakat Da’a beternak ''manu'' (ayam), ''vavu'' (babi) untuk dikonsumsi, dan memelihara ''asu'' (anjing) untuk berburu. Berbeda dengan komunitas Kaili pada umumnya, mereka tidak mengenal ternak kerbau. Dalam masyarakat Da’a binatang yang paling berharga adalah babi, yang digunakan untuk mas kawin dalam upacara perkawinan. Masyarakat Da’a juga melakukan perburuan di hutan, khususnya berburu anoa, babi hutan, dan burung.<ref> 2011. “Kehidupan Manusia Modern Awal di Indonesia: Sebuah Sintesa Awal.” Amerta, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi 29 (2): 1–12</ref><ref>Yuniawati, Dwi Yani, et.al. 2012. “Kajian Pluralisme Budaya Austronesia dan Melanesia Nusantara: Peradaban Penutur Austronesia di Kawasan Lembah Bada, Sulawesi Tengah.” Laporan Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Arkeologi Nasional</ref>
==Kepercayaan==
Baris 15:
Suku Da’a mulai dimukimkan oleh Dinas Sosial di daerah dataran sekitar tahun 1986, dan pada tahun itu pula mereka mulai menganut agama. suku Da'a yang berada di [[sulawesi barat]] mayoritas beragama [[Kristen]] dan mayoritas yang berada di [[Sulawesi tengah]] beragama [[Islam]] <ref>Umar,Dwi Yani Yuniawati 2016.Keterkaitan Etnik Da'a Di Wilayah Pedalaman Pegunungan Gawalise, Sulawesi Bagian Tengah, Dengan Populasi Australomelanesid Di Sulawesi,Balai Arkeologi Yogyakarta, Jl. Gedongkuning No. 174 Yogyakart</ref>
 
[[Kategori:Suku bangsa di Indonesia]]
{{sedang ditulis}}