Suku Da'a: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Adie Baim (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Adie Baim (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 3:
Masyarakat suku Da’a diidentifikasi memiliki ciri fisik dan kebudayaan non-Austronesia. Hal ini dengan kuat mengindikasikan bahwa Sulawesi telah dihuni manusia modern jauh sebelum kedatangan penutur Austronesia ke pulau itu sekitar 5.000 tahun lalu. Jika dilihat dari bentuk wajah, sebagian masyarakat suku Da’a menyerupai orang Papua, yang termasuk kelompok awal migrasi dari benua Afrika. Mereka tiba di Nusantara sekitar 50.000 tahun silam. Kemungkinan besar, masyarakat Da’a ini memang kelompok ''Austro-Melanesoid'' dengan ciri ''pygmy'' (berbadan pendek), rambut keriting, dan kulit cenderung gelap.<ref>Anggraeni. 2012. “The Austronesian Migration Hypothesis as Seen from Prehistoric Settlements on the Karama River, Mamuju, West Sulawesi.” Tesis. Canberra: The Australian National University.</ref><ref>Kompas, Senin, 29 Agustus 2016</ref><ref>Simanjuntak, Truman. 2008. “Austronesian in Sulawesi: Its Origin, Diaspora, and Living Tradition.” In Austronesian in Sulawesi, edited by Truman Simanjuntak, 215– 51. Jakarta: Center for Prehistoric and Austronesian Studies.</ref>
== Kehidupan ==
Masyarakat Da’a umumnya tinggal di dataran tinggi wilayah Kabupaten [[Sigi]] dan [[Donggala]], [[Sulawesi Tengah]], juga di ''Bambaira'', [[Kabupaten Mamuju Utara]], [[Sulawesi Barat]]. Awalnya, suku Da’a hidup secara nomaden dengan berburu dan meramu. Mereka ahli menggunakan sumpit, seperti suku Dayak di Kalimantan. Makanan utama mereka sagu dan ubi jalar. Namun, sebagian masyarakat Da’a telah dipindahkan oleh dinas sosial di dataran rendah sejak 1970-an. Sejak itu, mereka mulai berkebun<ref>2011. “Kehidupan Manusia Modern Awal di Indonesia: Sebuah Sintesa Awal.” Amerta, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi 29 (2): 1–12</ref><ref>Yuniawati, Dwi Yani, et.al. 2012. “Kajian Pluralisme Budaya Austronesia dan Melanesia Nusantara: Peradaban Penutur Austronesia di Kawasan Lembah Bada, Sulawesi Tengah.” Laporan Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Arkeologi Nasional</ref>
 
Makanan pokok masyarakat Da’a adalah padi ladang, yang ditanam di ladang yang dibuka di hutan lereng-lereng pegunungan. Mereka menyebut padi dengan sebutan ''nyi’i'', sedangkan beras disebut ''ose'', yang di dalam komunitas Kaili padi disebut ''pae''. Siklus tanam padi ladang adalah satu tahun satu kali panen. Pada saat menunggu panen padi, jika masyarakat Da’a kekurangan makanan, mereka juga mencari sagu, ''kasubi'' (ubi kayu),''toku'' (ubi jalar), ''talas'', dan ''loka'' (pisang). Biasanya sagu didapat dari lembah-lembah sungai yang lembab, sedangkan ubi kayu, ubi jalar, dan talas ditanam di sekitar ladang padi. Pada saat panen padi, mereka mengadakan upacara syukuran yang disebut dengan istilah ''vunja''. Mereka memanen padi dengan menggunakan alat ketam (ani-ani). Setelah itu padi diikat dan dijemur dalam pada ''para-para'' yang terbuat dari bambu. Masyarakat Da’a beternak ''manu'' (ayam), ''vavu'' (babi) untuk dikonsumsi, dan memelihara ''asu'' (anjing) untuk berburu.