Abdul Haris Nasution: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Rosyidcdk (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 43:
[[Jenderal Besar]] [[TNI]] ([[Purnawirawan|Purn.]]) '''Abdul Haris Nasution''' ({{lahirmati|[[Kotanopan, Mandailing Natal|Kotanopan]], [[Sumatra Utara]]|3|12|1918|[[Jakarta]]|6|9|2000}}) adalah seorang [[pahlawan nasional Indonesia]]<ref>[http://www.depsos.go.id/modules.php?name=Pahlawan&opsi=mulai-2 Daftar Nama Pahlawan Nasional Republik Indonesia]'', Departemen Sosial RI Online, [[Januari]] [[2010]]. Diakses 26 Agustus 2012.</ref> yang merupakan salah satu tokoh yang menjadi sasaran dalam peristiwa [[Gerakan 30 September]], namun yang menjadi korban adalah putrinya [[Ade Irma Suryani Nasution]] dan ajudannya, [[Lettu]] [[Pierre Tendean]].
 
Nasution merupakan konseptor [[Dwifungsi ABRI]] yang disampaikan pada tahun [[1958]] yang kemudian diadopsi selama pemerintahan [[Soeharto]]. Konsep dasar yang ditawarkan tersebut merupakan jalan agar [[ABRI]] tidak harus berada di bawah kendali [[sipil]], namun pada saat yang sama, tidak boleh mendominasi sehingga menjadi sebuah [[junta militer|kediktatoran militer]].<ref name="Sumbogo 1997-03-08" />
 
Bersama [[Soeharto]] dan [[Soedirman]], Nasution menerima pangkat kehormatan Jenderal Besar yang dianugerahkan pada tanggal [[5 Oktober]] [[1997]], saat ulang tahun [[ABRI]].
Baris 74:
Pada tahun 1950, Nasution mengambil posisinya sebagai [[Kepala Staf Angkatan Darat]], dengan [[T.B. Simatupang]] menggantikan Soedirman yang telah meninggal dunia sebagai Kepala Staf Angkatan Perang.
 
Pada tahun 1952, Nasution dan Simatupang memutuskan untuk mengadopsi kebijakan restrukturisasi dan reorganisasi untuk [[ABRI]]. Dalam pengaturan ini, Nasution dan Simatupang berharap untuk menciptakan tentara yang lebih kecil tetapi yang lebih modern dan profesional.<ref name="Sujatmoko 1997-03-08" /> Nasution dan Simatupang, yang keduanya telah dilatih oleh pemerintah kolonial Belanda ingin melepaskan para prajurit yang dilatih oleh Jepang dan mengintegrasikan lebih banyak tentara yang dilatih oleh Belanda. Namun hal ini ditentang oleh [[Bambang Supeno]] yang merupakan pimpinan prajurit yang dilatih oleh Jepang.
 
Dalam mengadopsi kebijakan mereka, Nasution dan Simatupang mendapat dukungan dari Perdana Menteri [[Wilopo]] dan Menteri Pertahanan [[Hamengku Buwono IX]]. Namun, Bambang Supeno berhasil menemukan dukungan dari kalangan partai oposisi di [[Dewan Perwakilan Rakyat]] (DPR). Para anggota DPR kemudian mulai membuat perbedaan pendapat mereka tentang restrukturisasi ABRI. Nasution dan Simatupang tidak senang melihat apa yang mereka anggap sebagai campur tangan urusan militer oleh warga sipil.
Baris 110:
Sejak 1956, Nasution telah berusaha untuk membasmi korupsi di Angkatan Darat, tetapi kembali berlakunya [[UUD 1945]] tampaknya telah memperbaharui tekadnya dalam hal ini. Dia percaya bahwa tentara harus memberi contoh untuk seluruh masyarakat. Tidak lama setelah keputusan Soekarno, Nasution mengirim [[Brigadir Jenderal]] Sungkono untuk menyelidiki transaksi keuangan dari [[Kodam IV/Diponegoro]] dan panglimanya, Kolonel [[Soeharto]].
 
Temuan Sungkono mengungkapkan bahwa selama menjadi pangdam, Soeharto telah mendirikan yayasan untuk membantu masyarakat setempat. Namun, yayasan tersebut didanai melalui pungutan wajib (bukan sumbangan sukarela) dari industri produksi dan layanan. Soeharto juga terlibat dalam [[barter]] [[ilegal]]. Dia telah membarter gula dengan beras dari [[Thailand]].
 
Nasution ingin mengambil tindakan terhadap Soeharto dan mengusirnya dari militer. Namun, Wakil Kepala Staf Angkatan Darat, [[Gatot Soebroto]] mengintervensi.{{sfn|Elson|2001|p=73}} Gatot telah menjadikan Soeharto berada di bawah sayapnya ketika ia menjadi Pangdam IV/Diponegoro dan telah melihat bakat dari Soeharto. Gatot meminta Nasution untuk tidak mengusir Soeharto karena bakat Soeharto bisa dikembangkan lebih lanjut. Nasution mendengarkan saran Gatot. Keputusannya adalah untuk mencopot Soeharto dari jabatannya dan menghukumnya dengan mengirimnya ke [[Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat]] (Seskoad).
Baris 118:
Selama perjuangan kemerdekaan, Soekarno selalu menganggap [[Papua Bagian Barat|Irian Barat]] juga termasuk sebagai Indonesia. Ketika Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia, Irian Barat terus menjadi koloni Belanda. Soekarno tidak menyerah dan terus mendorong Irian Barat harus dimasukkan sebagai bagian dari Indonesia melalui [[PBB]] dan melalui [[Konferensi Asia–Afrika]], di mana negara-negara yang hadir berjanji untuk mendukung klaim Indonesia. Belanda tetap terus bersikeras. Pada tahun 1960, Soekarno sudah kehabisan kesabaran. Pada bulan Juli, ia bertemu dengan penasihat utamanya, termasuk Nasution, dan disepakati bahwa Indonesia akan [[persengketaan Irian Barat|mengejar kebijakan konfrontasi]] melawan Belanda pada masalah Irian Barat.
 
Sebagai bagian dari persiapan untuk operasi ini, Nasution berpaling ke Soeharto, yang telah menyelesaikan kursus Seskoad pada bulan November 1960. Soeharto, sekarang seorang brigadir jenderal, ditugaskan oleh Nasution untuk membuat unit kekuatan strategis yang akan siaga, siap ketika dipanggil untuk melakukan tindakan setiap saat. Soeharto ditempatkan bertugas di gugus tugas ini dan pada bulan Maret 1961, Cadangan Umum Angkatan Darat ([[CADUAD|Caduad]]) dibentuk, dengan Soeharto diangkat sebagai panglimanya.{{sfn|Elson|2001|p=79}} Caduad pada tahun 1963 berubah nama menjadi [[Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat]] (Kostrad).
 
Pada awal 1962, Nasution dan Yani adalah komandan keseluruhan yang disebut dengan operasi [[Pembebasan Irian Barat]], dengan Soeharto yang ditempatkan di Indonesia timur sebagai komandan lapangan.
Baris 125:
Pada saat ini, Soekarno mulai melihat [[PKI]] sebagai sekutu politik utamanya, bukan tentara lagi. Meskipun ia telah menetapkan Indonesia nonblok selama [[Perang Dingin]], pernyataan bahwa [[PRRI]] diberi bantuan oleh [[Amerika Serikat]], menyebabkan Soekarno mengadopsi sikap anti-Amerika. Dalam hal ini, ia memiliki PKI sebagai sekutu alami. Bagi PKI, bersekutu dengan Soekarno hanya akan menambah momentum politik sebagai pengaruh mereka terus tumbuh dalam politik Indonesia.
 
Nasution mewaspadai pengaruh PKI atas Soekarno dan pada gilirannya, Soekarno menyadari bahwa Nasution tidak senang tentang pengaruh PKI dan mengambil langkah untuk melemahkan kekuasaannya. Pada bulan Juli 1962, Soekarno mereorganisasi struktur [[ABRI]]. Status kepala cabang Angkatan Bersenjata sekarang akan ditingkatkan dari kepala staf menjadi panglima. Sebagai panglima, kepala cabang angkatan bersenjata akan memiliki kekuatan lebih dan hanya akan menjawab untuk Soekarno sebagai [[Panglima tertinggi|Panglima Tertinggi]] ABRI. Yang membantu Soekarno sebagai Panglima Tertinggi ABRI adalah kepala staf ABRI. Soekarno menunjuk Nasution untuk posisi kepala staf ABRI<ref name="Wibisono 2004-01-20" /> dan menunjuk [[Ahmad Yani|Yani]] sebagai panglima angkatan darat. Dengan melakukan ini, Soekarno menurunkan kekuatan Nasution, sebagai kepala staf ABRI ia hanya bertanggung jawab untuk hal-hal administratif saja dan ia tanpa pasukan.
 
Sekarang dalam posisi tak berdaya, Nasution mulai memikirkan cara lain untuk menghentikan momentum PKI. Saat yang tepat datang pada Sidang Umum [[Majelis Permusyawaratan Rakyat]] Sementara (MPRS) pada Mei 1963. Nasution, [[Partai Nasional Indonesia]] (PNI) serta anggota TNI yang hadir mengajukan mosi bahwa Soekarno ditunjuk sebagai [[presiden seumur hidup]].<ref name="Utomo" /> Alasan di balik ini adalah bahwa dengan ditunjuknya Soekarno sebagai presiden seumur hidup, maka tidak akan ada pemilu, dan tanpa pemilu, PKI tidak akan bisa mendapatkan berkuasa tidak peduli berapa banyak partai tumbuh. Akhirnya, Soekarno menjadi presiden seumur hidup.
Baris 134:
Pada 13 Januari 1965, sebuah delegasi dari pejabat yang mewakili Nasution dan Yani bertemu dalam upaya untuk mendamaikan perbedaan antara dua jenderal itu. Pertemuan itu gagal mengusahakan Yani untuk menjauhkan diri dari Soekarno, tetapi delegasi sepakat untuk mengadakan seminar di mana mereka bisa berbicara tentang iklim politik saat ini dan peran tentara dalam politik.
 
Sebuah dokumen beredar di Jakarta. Dijuluki [[Dokumen Gilchrist]], dokumen itu adalah surat yang mengaku datang dari Duta Besar [[Britania Raya]] [[Andrew Gilchrist]], dan menyebutkan "teman-teman tentara lokal kami". Kecurigaan pun langsung dilemparkan pada tentara yang ingin memulai kudeta. Meskipun Yani dengan cepat menyangkal tuduhan itu, PKI mulai menjalankan kampanye, mengklaim bahwa [[Dewan Jenderal]] yang berencana menggulingkan presiden. Sebagai perwira paling senior di Angkatan Darat, Nasution dan Yani terlibat untuk menjadi bagian dari Dewan ini.
 
== G30S dan Transisi ke Orde Baru ==
Baris 140:
[[Berkas:AHNasution1965.jpg|300px|jmpl|Nasution yang kakinya terluka sedang membahas situasi di markas [[Kostrad]] pada malam tanggal 1 Oktober 1965]]
{{main|Gerakan 30 September}}
Pada pagi hari 1 Oktober 1965, pasukan yang menyebut diri mereka [[Gerakan 30 September]] (G30S) mencoba untuk menculik tujuh perwira Angkatan Darat anti-komunis termasuk Nasution.{{sfn|Hughes|2002|pp=40–42}} [[Doel Arif|Letnan Doel Arief]] yang memimpin pasukan untuk menangkap Nasution, dan timnya yang terdiri dari empat truk dan dua mobil militer berjalan menyusuri Jalan Teuku Umar yang sepi pada pukul 4:00 pagi. Rumah Nasution di No 40, rumah sederhana dengan satu lantai. Penjaga rumah di pos jaga di luar rumah melihat kendaraan yang datang, tetapi setelah melihat orang-orang itu tentara dia tidak curiga dan tidak menelepon atasannya. Sersan Iskaq, yang bertanggung jawab menjaga rumah saat itu. Sersan itu berada di ruang jaga di ruang depan bersama dengan setengah lusin tentara, beberapa di antaranya sedang tidur. Seorang penjaga sedang tidur di taman depan dan satu lagi sedang bertugas di bagian belakang rumah. Dalam sebuah pondok yang terpisah, dua ajudan Nasution sedang tidur, seorang letnan muda bernama [[Pierre Tendean]], dan ajun komisaris polisi [[Hamdan Mansjur]].{{sfn|Hughes|2002|p=40}}
 
Sebelum alarm menyala, pasukan Letnan Arief telah melompat pagar dan menguasai para penjaga yang mengantuk di pos jaga dan ruang jaga. Lainnya masuk dari seluruh sisi rumah dan menutupinya dari belakang. Sekitar lima belas tentara masuk ke rumah. Nasution dan istrinya terganggu oleh nyamuk dan terjaga. Mereka tidak mendengar para penjaga yang telah dikuasai tetapi Nyonya Nasution mendengar pintu dibuka paksa. Dia bangkit dari tempat tidur untuk memeriksa dan membuka pintu kamar tidur, ia melihat tentara [[Cakrabirawa]] (pengawal presiden) dengan senjata siap menembak. Dia menutup pintu dan berteriak memberitahu suaminya. Nasution ingin melihatnya dan ketika dia membuka pintu, tentara menembak ke arahnya. Dia melemparkan dirinya ke lantai dan istrinya membanting dan mengunci pintu. Orang-orang di sisi lain mulai menghancurkan pintu bawah dan melepaskan tembakan-tembakan ke kamar tidur. Nyonya Nasution mendorong suaminya keluar melalui pintu lain dan menyusuri koridor ke pintu samping rumah. Nasution berlari ke halaman rumahnya menuju dinding yang memisahkan halamannya dengan Kedutaan Besar [[Irak]]. Dia ditemukan oleh tentara yang kemudian menembaknya tetapi meleset. Memanjat dinding, Nasution mengalami patah pergelangan kaki saat ia jatuh ke halaman Kedutaan Irak untuk bersembunyi. Dia tidak dikejar.{{sfn|Hughes|2002|p=41}}
 
Seluruh penghuni rumah terbangun dan ketakutan oleh penembakan itu. Ibu dan adik Nasution, Mardiah, juga tinggal di rumah dan berlari ke kamar tidur Nasution. Mardiah membawa putri Nasution yang berusia lima tahun, [[Ade Irma Suryani Nasution|Irma]], dari tempat tidurnya, memeluk erat anak itu dalam pelukannya, dan mencoba lari ke tempat aman. Saat ia berlari, seorang kopral dari penjaga istana melepaskan tembakan ke arahnya melalui pintu. Irma tertembak dan menerima tiga peluru di punggungnya. Dia meninggal lima hari kemudian di rumah sakit.{{sfn|Hughes|2002|p=41}} Putri sulung Nasution, Janti yang berusia 13 tahun, dan perawatnya Alfiah sudah lari ke rumah pondok ajudan Nasution dan bersembunyi di bawah tempat tidur.{{sfn|Hughes|2002|p=41}}
 
Tendean mengambil senjatanya dan lari dari rumah, tetapi ia tertangkap dalam beberapa langkah. Dalam kegelapan, ia membuat kesalahan dan sudah berada di bawah todongan senjata.{{sfn|Hughes|2002|pp=41–42}} Setelah mendorong suaminya keluar rumah, Nyonya Nasution lari ke dalam dan membawa putrinya yang terluka. Saat ia menelepon dokter, pasukan Cakrabirawa menuntutnya agar memberitahu mereka di mana keberadaan suaminya. Kabarnya dia melakukan percakapan singkat sambil marah-marah dengan Arief dan mengatakan kepadanya bahwa Nasution sedang keluar kota selama beberapa hari ini.{{sfn|Hughes|2002|p=42}} Pasukan itu pun pergi dari rumah Nasution dan membawa Tendean pergi dengan mereka. Nyonya Nasution membawa putrinya yang terluka ke rumah sakit pusat angkatan darat. Komandan [[Garnisun Tetap I/Jakarta|garnisun Jakarta]], [[Mayor Jenderal]] [[Umar Wirahadikusumah]], bergegas ke rumah Nasution.{{sfn|Hughes|2002|p=42}}
 
[[Karel Satsuit Tubun]], seorang penjaga di rumah [[Wakil Perdana Menteri Indonesia]], [[Johannes Leimena]] yang juga merupakan tetangga Nasution, mendengar keributan dan berjalan ke rumah Nasution. Dalam kebingungan penjaga itu ditembak dan dibunuh. Pembunuhan penjaga itu tidak direncanakan.{{sfn|Hughes|2002|p=42}}
 
Nasution terus bersembunyi di halaman tetangganya sampai pukul 06:00 ketika ia kembali ke rumahnya dalam keadaan patah pergelangan kaki. Nasution kemudian meminta ajudan untuk membawanya ke Departemen Pertahanan dan Keamanan karena dia pikir itu akan lebih aman di sana. Nasution kemudian mengirim pesan kepada Soeharto di markas [[Kostrad]], mengatakan kepadanya bahwa ia masih hidup dan aman. Setelah mengetahui bahwa Soeharto mengambil alih komando tentara, Nasution kemudian memerintahkan dia untuk mengambil langkah-langkah seperti mencari tahu keberadaan presiden, menghubungi panglima angkatan laut [[R.E. Martadinata]], komandan korps marinir [[R. Hartono (KKO)|R. Hartono]] serta kepala kepolisian [[Soetjipto Joedodihardjo]], dan mengamankan Jakarta dengan menutup semua jalan yang mengarah ke sana.{{sfn|Fic|2005|p=268}} Angkatan udara tidak termasuk karena Panglima [[Omar Dhani]] dicurigai sebagai simpatisan [[Gerakan 30 September|G30S]]. Soeharto segera mengintegrasikan perintah tersebut ke dalam rencananya untuk mengamankan kota.
 
Sekitar pukul 14:00, setelah Gerakan 30 September mengumumkan pembentukan [[Dewan Revolusi]], Nasution mengirim perintah lain untuk Soeharto, Martadinata dan Joedodihardjo. Dalam rangka itu, Nasution mengatakan bahwa ia yakin Soekarno telah diculik dan dibawa ke markas G30S di [[Halim Perdana Kusuma, Makasar, Jakarta Timur|Halim]]. Karena itu ia memerintahkan ABRI untuk membebaskan presiden, memulihkan keamanan Jakarta, dan yang paling penting, menunjuk Soeharto sebagai kepala operasi.{{sfn|Fic|2005|p=269}} Sama seperti Soeharto yang mulai bekerja, namun, pesan datang dari Soekarno di Halim. Soekarno telah memutuskan untuk menunjuk Mayjen [[Pranoto Reksosamodra]] – loyalis Soekarno – untuk mengisi posisi Panglima Angkatan Darat dan sekarang ingin Pranoto untuk datang menemuinya. Soeharto tidak mengizinkan Pranoto pergi tetapi ia tahu bahwa Soekarno tidak akan menyerah untuk mencoba memanggil Pranoto. Untuk memperkuat posisi tawar, Soeharto meminta Nasution untuk datang ke Markas Kostrad.
 
Nasution tiba di markas Kostrad sekitar pukul 6 sore, Soeharto mulai mengerahkan pasukan [[Sarwo Edhie Wibowo]] untuk mengamankan Jakarta dari Gerakan 30 September. Di sana, Nasution akhirnya menerima [[pertolongan pertama]] untuk pergelangan kakinya yang patah. Setelah Jakarta aman, Martadinata datang ke markas Kostrad dengan salinan Keputusan Presiden yang menunjuk [[Pranoto Reksosamodra|Pranoto]]. Setelah melihat keputusan tersebut, Soeharto mengundang Martadinata dan Nasution ke ruangan untuk membahas situasi.
 
Nasution meminta Martadinata bagaimana caranya presiden datang untuk menunjuk Pranoto. Martadinata menjawab bahwa pada sore hari ia, Joedodihardjo, dan Dhani telah menghadiri pertemuan dengan Soekarno di Halim untuk memutuskan siapa yang harus menjadi Panglima Angkatan Darat setelah Yani tewas. Pertemuan telah memutuskan bahwa Pranoto harus menjadi Panglima Angkatan Darat. Nasution mengatakan bahwa penunjukan Soekarno tidak dapat diterima karena penunjukan datang ketika Soeharto telah memulai operasi.{{sfn|Fic|2005|pp=270–271}} Nasution dan Soeharto kemudian mengundang Pranoto dan meyakinkannya untuk menunda menerima pengangkatannya sebagai Panglima Angkatan Darat sampai setelah Soeharto selesai menumpas percobaan [[kudeta]].
 
Dengan pasukan [[Sarwo Edhie Wibowo|Sarwo Edhie]], Jakarta dengan cepat berhasil diamankan. Soeharto kemudian mengalihkan perhatiannya ke Halim dan mulai membuat persiapan untuk menyerang pangkalan udara. Untuk membantunya, Nasution memerintahkan angkatan laut dan polisi untuk membantu Soeharto dalam menumpas Gerakan 30 September. Untuk angkatan udara, Nasution mengeluarkan perintah mengatakan bahwa mereka tidak akan dihukum atas pembangkangan jika mereka menolak untuk mematuhi perintah Dhani. Pada pukul 06:00 tanggal 2 Oktober, Halim berhasil diambil alih dan Gerakan 30 September secara resmi dikalahkan.
 
=== Kehilangan kesempatan ===
Baris 169:
Pada 24 Februari 1966, Nasution tidak lagi menjabat sebagai [[Menteri Pertahanan dan Keamanan]] dalam [[Kabinet Dwikora II|perombakan kabinet]]. Posisi Kepala Staf ABRI juga dihapuskan.
 
Pada tahap ini, harapan bahwa Nasution akan melakukan sesuatu sekarang telah hilang, para perwira militer dan gerakan mahasiswa berada di belakang Soeharto. Namun demikian, ia terus menjadi tokoh yang dihormati, banyak perwira militer megunjunginya pada hari-hari menjelang penandatanganan [[Supersemar]], dokumen penyerahan kewenangan dari Soekarno ke Soeharto. Bahkan, ketika Soeharto hendak pergi Markas [[Kostrad]] untuk menunggu pengiriman [[Surat Perintah Sebelas Maret|Supersemar]], dia menelepon Nasution dan meminta restunya. Istri Nasution memberi restu atas nama Nasution, yang tidak hadir.
 
Indra politik Nasution tampaknya telah kembali setelah Soeharto menerima Supersemar. Itu mungkin karena dia yang pertama kali menyadari bahwa Supersemar tidak hanya memberikan kekuasaan darurat kepada Soeharto tetapi juga memberinya kontrol eksekutif. Pada 12 Maret 1966, setelah Soeharto melarang keberadaan [[PKI]], Nasution menyarankan kepada Soeharto bahwa ia membentuk kabinet darurat.<ref name="Suwalu 1999" /> Soeharto, masih hati-hati tentang apa yang dia bisa atau tidak bisa lakukan dengan kekuatan barunya, karena pembentukan kabinet adalah tanggung jawab presiden. Nasution mendorong Soeharto, berjanji untuk memberikan dukungan penuh tetapi Soeharto tidak menanggapi dan percakapan berakhir tiba-tiba.
Baris 185:
Tahun 1966 pun berlalu, Soekarno semakin defensif dan popularitasnya di kalangan rakyat Indonesia semakin menurun. Soeharto, yang tahu bahwa kemenangan politiknya sudah dekat, turun untuk memainkan peran orang Jawa yang sopan dengan terus-menerus memberikan kata-kata meyakinkan kepada Soekarno dan membelanya dari tuntutan para demonstran. Jenderal lainnya seperti Nasution tidak penuh belas kasihan, Nasution menyatakan bahwa Soekarno harus bertanggung jawab atas situasi buruk yang melanda pemerintahan dan masyarakat Indonesia pada saat itu. Nasution juga menyerukan agar Soekarno dibawa ke [[pengadilan]].
 
Pada 10 Januari 1967, Nasution dan MPRS bersidang lagi dan Soekarno menyerahkan laporannya (dia tidak menyampaikan hal itu secara pribadi sebagai pidato) yang diharapkan bisa mengatasi masalah G30S. Diberi judul "Pelengkap Nawaksara", laporan itu berbicara tentang desakan Soekarno menyebut G30S dengan Gerakan 1 Oktober ([[Gestok]]). Pada G30S, Soekarno mengatakan bahwa PKI membuat kesalahan besar pada pagi hari 1 Oktober, tetapi juga menambahkan bahwa hal ini disebabkan oleh kecerdikan pihak [[neokolonialisme|neokolonialis]]. Soekarno juga menambahkan bahwa jika ia akan disalahkan atas G30S, Menteri Pertahanan dan Keamanan pada saat itu (Nasution) juga harus disalahkan karena tidak melihat G30S datang dan menghentikannya sebelum terjadi.<ref name="Nawaksara Supplementary" /> Laporan sekali lagi ditolak oleh MPRS.
 
Pada bulan Februari 1967, [[Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (2014–2019)|DPR-GR]] menyerukan [[Sidang Istimewa MPR|Sidang Istimewa MPRS]] pada bulan Maret untuk mengganti Soekarno dengan Soeharto. Soekarno tampaknya pasrah akan nasibnya, akhirnya pada 12 Maret 1967, Soekarno secara resmi dicabut mandatnya sebagai Presiden oleh MPRS. Nasution kemudian menyumpah Soeharto ke tampuk kekuasaan sebagai pejabat presiden. Setahun kemudian pada 27 Maret 1968, Nasution memimpin pemilihan dan pelantikan Soeharto sebagai Presiden penuh.
 
== Orde Baru ==
Baris 202:
Nasution kemudian memutuskan bahwa penentang rezim harus membuat pernyataan besar. Ia mengumpulkan anggota ABRI yang tidak puas dengan rezim Soeharto seperti mantan [[Gubernur Jakarta]] [[Ali Sadikin]], mantan [[Kapolri]] [[Hoegeng Imam Santoso]], dan mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat [[Mochamad Jasin]]. Mantan [[Perdana Menteri Indonesia|Perdana Menteri]] [[Mohammad Natsir]] dan [[Burhanuddin Harahap]] serta ketua [[PDRI]] [[Syafruddin Prawiranegara]] ikut bergabung. Bersama dengan banyak nama kritikus terkenal terhadap pemerintah, mereka menandatangani petisi yang dikenal sebagai [[Petisi 50]], disebut demikian karena ada 50 orang penandatangan petisi tersebut.
 
Petisi itu ditandatangani pada 5 Mei 1980 dan disampaikan ke DPR pada 13 Mei 1980. Petisi ini menyerukan Soeharto untuk berhenti menafsirkan Pancasila sesuai tujuannya sendiri dan bagi ABRI untuk bersikap netral dalam politik bukan malah menguntungkan [[GOLKAR|Golkar]]. DPR, khususnya anggota [[Partai Persatuan Pembangunan]] (PPP) dan [[Partai Demokrasi Indonesia]] menanggapi serius petisi ini dan meminta Soeharto untuk merespon masalah ini. Soeharto menjawab bahwa pidato-pidatonya pada tanggal 27 Maret 1980 dan 16 April 1980 adalah respon yang cukup memadai. Dia menambahkan jika ada masalah, DPR bisa melakukan penyelidikan khusus. Di sini anggota PPP dan PDI berhenti, mengetahui bahwa gerakan mereka akan dikalahkan karena dominasi Golkar.
 
Bagi penandatangan petisi seperti Nasution, Soeharto memberlakukan larangan perjalanan dan membuat transaksi bisnis yang sulit sehingga penandatangan petisi akan memiliki masa sulit dalam mencari nafkah.