Kumis kucing: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k saya menambahkan sub bab yaitu data produksi dari kumis kucing beserta potensinya terutama di jawa barat, kajian metabolomik terkait kumis kucing, dan agronomi dari kumis kucing.
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 47:
Penelitian mengenai tumbuhan kumis kucing saat ini salah satunya dalah senyawa inhibitor α-Glukosidase dan antioksidan dari kumis kucing yang dilakukan dengan pendekatan metabolomic berbasis FTIR (''fourier transform infrared''). Senyawa inhibitor ini dapat mengganggu kerja enzim α-Glukosidase dalam memecah karbohidrat menjadi glukosa pada saluran pencernaan sehingga dapat mencegah meningkatnya kadar gula darah yang merupakan penyebab penyakit diabetes. Selain itu juga tanaman kumis kucing kaya akan senyawa antioksidan sehingga tanaman ini berpotensi pula untuk menurunkan risiko komplikasi diabetes akibat stress oksidatif. Dari sejumlah penelitian teridentifikasi 116 senyawa aktif dari tanaman kumis kucing yang berasal dari kelompok monoterpene, diterpene, trirerpena, saponin, flavonoid, minyak atsiri, dan asam organik. Berdasarkan hasil karakterisasi menggunakan FTIR, dan pengujian terhadap kemampuan inhibisi, dan antioksidan didapatkan cukup banyak senyawa yang dapat berperan hanya sebagai inhibitor enzim α-Glukosidase, maupun dapat berfungsi sebagai antioksidan. Hasil dari metode FTIR menangkap adanya senyawa dengan gugus fungsi karbonil, metoksi, hidroksil, dan C-O yang mengindikasikan keberadaan senyawa dari kelompok metoksi flavonoid (sinensitin dan 5,6,7,3’-tetrametoksi-4’-hidroksi-8-C-prenilflavon), diterpene (ortosifol, ortoarisin, neoortotosifol, staminal, dan staminolakton), dan triterpene (asam ursolat, asam oleanolat, asam betulinat, asam hidroksibetulinat, asam maslinat). Sementara senyawa yang terbukti sebagai antioksidan yaitu senyawa fenolik (asam rosmarinate), flavonoid (eupatorine, sinensetin, 5-hidroksi-6,7,3’,4’-tetranetoksiflavon, salvigenin, 6-hidroksi-5,7,3’-trimetoksiflavon dan 5,6,7,3’-tetrametoksi-4’-hidroksi-8-C-prenilflavon), diterpene (ortosifol, ortoarisin, neoortosifol, staminal, dan staminalakton), triterpene (asam ursolat, asam olenolat, asambetulinat, asam hidrolsibetulinat, asam maslinat, dan amirin) <ref>'''N. Yuliana, "Senyawa Inhibitor α-Glukosidase dan Antioksidan Dari Kumis Kucing Dengan Pendekatan Metabolomik Berbasis FTIR.," vol. 27, pp. 13-18, 2016.''' </ref>.  
 
== AgroekonomiAgronomi ==
Dalam skala produksi, kumis kucing dikemas dalam bentuk kering yang sering disebut simplisia. Di Indonesia sendiri budidaya kumis kucing masih dalam skala ekstensif, sehingga produksinya cukup rendah. Data produktivitas kumis kucing tahun 2015 di sukabumi mencatat produksi kumis kucing di sukabumi tidak lebih dari 0,25 ton ha<sup>-1</sup><ref name=":0">'''B. P. Statistik, "Luas Areal dan Produksi Perkebunan Rakyat Menurut Jenis Tanaman di Jawa Barat, 2016," 28 Maret 2018. [Online]. Available: <nowiki>https://jabar.bps.go.id/statictable/2018/03/29/521/luas-areal-dan-produksi-perkebunan-rakyat-menurut-jenis-tanaman-di-jawa-barat-2016.html</nowiki>.'''</ref>. Untuk itu dapat dilakukan Teknik budidaya yang tepat untuk dapat menghasilkan produksi simplisia yang tinggi. Produksi simplisia sangat erat hubungannya dengan pertumbuhan dan pengaturan panen. Pemupukan adalah salah satu bagian dari Teknik budidaya yang penting untuk mendukung pertumbuhan dan produksi simplisia kumis kucing. Salah satunya adalah pengaturan waktu pemupukan, dan jenis pupuk. Umumnya digunakan pupuk organic, sebab fungsi dari penumbuhan tanaman untuk obat, namun pupuk organic memiliki kelemahan karena pelepasan hara yang lamba pada pupuk organik. Pemupukan umumnya dilakukan saat awald tanam untuk mendukung pertumbuhan awal tanaman, namun pemupukan selama masa pertumbuhan juga perlu untuk mendapatkan ''supply'' hara yang cukup dalam mendukung pertumbuhan berikutnya, terutama karena bagian yang dipanen dari kumis kucing adalah bagian vegetative. Selain itu juga perlu diperhatikan pengaturan ketinggian panen, agar tanaman dapat mempertahankan kondisinya sehingga produksi pada panen-panenberikutnya tidak terganggu. Hermansyah ''et al''. (2009) menyatakan bahwa pemangkasan pada nilam yang menyisakan sisa cabang satu dan dua pada panen kedua menghasilkan jumlah daun yang lebih banyak pada perumbuhan berikutnya dibandingkan dengan pemangkasan yang tidak menyisakan cabang. Contohnya pada pemanenan basil India (''Ocimum basilicum'' L.) pada 40 dan 60 hari setelah tanam (HST) menghasilkan total biomassa dua kali panen yang lebih banyak dengan pemangkasan 7,5 cm dan 15 cm dari permukaan tanah dibandingkan pemangkasan 0 cm dari permukaan tanah<ref>Hermansyah, Y. Sasmita, E. Inoriah. 2009.