Upacara Wetonan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Bagusypa (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Bagusypa (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 12:
 
Kaitannya ''slametan wetonan'' dengan Allah, yang paling utama adalah sebagai ucapan rasa syukur terhadap Tuhan yang telah melimpahkan rejeki, keselamatan, kesehatan, dan sebagai sarana untuk memberikan sedekah kepada masyarakat sekitar, Walaupun ''slametan wetonan'' tidak ada dalam Hadist dan Alquran. Namun yang melaksanakan dan yang diundang beragama Islam karena islam tidak melarang umatnya untuk bersedekah. Asal mula slametan wetonan hanya berawal dari cerita- cerita dari para sesepuh dan para kyai- kyai. Meminta keselamatan tidak harus melalui slametan wetonan yang terpenting adalah doa kepada Allah.
 
''Weton'' juga berkaitan dengan kosmologi Jawa. Dalam hal itu, Endraswara menggambarkan ''weton'' mempunyai hubungan dengan perhitungan hari (''numerology'') Jawa berjumlah tujuh, lalu disebut dengan ''dina pitu,'' dan ''pasaran'' berjumlah lima disebut ''pasaran lima.'' Atau sering disebut dengan ''dina lima dina pitu.'' Keduannya akan menentukan ''weton dina'' (hidupnya hari dan pasaran) (Endraswara, 2016: 103).
 
Pada perayaan slametan, pasti identik dengan angka tujuh. Kenapa harus tujuh? Karena tujuh dalam arti Jawa ''pitu,'' mengandung sinergistas harapan akan mendapat ''pitulungan'' (pertolongan) Tuhan. Angka tujuh yang dimaksud dalam ritual ini seperti, bubur 7 rupa yaitu, bubur merah, bubur putih, bubur merah silang putih, bubur putih silang merah, bubur putih tumpang merah, bubur merah tumpang putih, dan ''baro-baro'' (bubur putih ditaruh ''sisiran'' (irisan) gula merah dan parutan kelapa secukupnya).
 
Selain itu ada juga sayuran 7 rupa yaitu, kacang panjang, kangkung, kubis, kecambah/toge yang panjang, wortel, daun kenikir, dan bayam. Selanjutnya, menyiapkan Jajan pasar seperti, ''wajik (wani tumindak becik), gedhang ijo, sukun (supaya rukun), nanas (wong urip aja nggragas), dhondong (aja kegedhen omong),'' jambu (''ojo ngudal barang sing wis mambu''), jeruk (''jaba jero kudu mathuk'').
 
Selanjutnya, adanya ''kembang'' setaman yang tidak hanya satu macam bunga saja namun bermacam-macam kembang seperti, bunga mawar (''awar-awar'' selalu tawar  dari nafsu yang negatif),  bunga melati (''melat-melat ning ati'' selalu''  eling lan waspada''), bunga ''kanthil'' supaya tansah kumanthil hatinya selalu terikat oleh tali rasa dengan para leluhur yang menurunkannya, kepada orang tua dengan harapan agar anaknya selalu berbakti kepadanya, dan bunga kenanga (Wisnu, 2014: 161-164).
 
Masyarakat Jawa memang tidak bisa dipisahkan dari simbol-simbol yang melingkarinya. Secara umum, terdapat bunga tiga warna atau lima warna, dan simbol-simbol lain yaitu bubur merah, bubur putih, tumpeng, nasi gulung pisang, minyak wangi, kemenyan dan dupa. Simbol tersebut sangat lazim dalam setiap ritual di Jawa (Budiharso, 2014: 171).
 
Saat ini ''wetonan'' tidaklah menjadi suatu budaya yang dilestarikan kembali oleh masyarakat Jawa. Bahkan tradisi yang sudah ada lama ini seakan-akan hilang, dapat dikatakan bahwa tradisi ini sudah mulai mengalami pergeseran bahkan pendangkalan sehingga unsur pendidikan moralitas dalam peristiwa tradisi ''wetonan'' tidak lagi diketahui oleh masyarakat masa kini.
 
Mungkin kerumitan dalam menyiapkan sarana yang dibutuhkan ini penyebabnya. Sehingga masyarakat sekarang khususnya Jawa sendiri lebih memilih perayaan yang secara praktis dan lebih menarik seperti pesta ulang tahun dari pada wetonan. Perhitungan kelahiran Jawa pun tergantikan oleh perhitungan kelahiran berdasarkan Masehi.
 
Padahal, kalau kita ketahui, simbol-simbol yang ada di dalamnya ''slametan weton'' sudah mewujud dalam inti masyarakat Jawa. Ia memantapkan ritual ini untuk mengetahuinya sendiri melalui kelahirannya, sebelum bertemu Tuhan Sang Pencipta.
 
== Doa dalam Wetonan ==