Wildan Abdul Chamid: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 32:
Tak lama kemudian, Wildan diantar kakaknya Kiai Achmad Abdulchamid untuk mondok di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, asuhan K.H. [[Bisri Mustofa]]. Uniknya, saat sowan, Kiai [[Bisri Mustofa]] bilang kepada K.H. [[Achmad Abdul Hamid Kendal]], ''adikmu opo kerasan mondok neng Rembang sing panase koyo neroko''? (Adikmu apa betah mondok di Rembang yang panasnya seperti neraka). Terbukti, justru di Leteh-lah Wildan betah menghabiskan waktu di pesantren selama kurang lebih 7 tahun.
 
Tidak seperti santri lainnya, tiap 3 bulan sekali, Wildan selalu disuruh pulang oleh Kiai [[Bisri Mustofa]], tujuannya tak lain agar ia berziarah ke makam abahnya (K.H. Abdulchamid). Alasan Kiai [[Bisri Mustofa]], agar Wildan menyadari bahwa ayahandanya adalah ulama besar, sehingga agar menambah motivasinya dalam menimba ilmu-ilmu agama. Bahkan Mbah [[Bisri Mustofa]] tak bosan-bosan selalu mengingatkan ke Wildan bahwa sosok K.H. Abdulchamid adalah seorang ulama besar. Diantara pepeling Kiai [[Bisri Mustofa]]; ''Kiai Jowo sing karangane Bahasa Arab angel digoleki salahe yo Abahmu'' (Kiai Jawa yang karangannya berbahasa Arab sulit ditemukan kesalahan sintaksis dan gramatikanya yaitu Abahmu), yang dimaksud Kiai [[Bisri Mustofa]] ialah karya ''magnum opus''-nya Kiai HamidAbdul Chamid, Syarah Manaqib yang diberi nama ''Jawahirul Asani fi Manaqibi Syaikh Abdul Qadir al Jailani'' yang dicetak di Mesir, dimana sampai sekarang kitab tersebut dapat ditemukan di Perpustakaan Leiden, Belanda.
 
Wildan dikenal sebagai santri kesayangan K.H. [[Bisri Mustofa]], sekaligus ia diamanati sebagai lurah pondok. Selama mondok, ia dipercaya untuk menjadi qari’ kitab kuning di pondok Leteh di luar jam mengajar Kiai [[Bisri Mustofa]].