Hak cipta di Indonesia: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k ←Suntingan 202.67.46.45 (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh Hilmanasdf Tag: Pengembalian |
|||
Baris 7:
Pada tahun [[1958]], [[Perdana Menteri Indonesia|Perdana Menteri]] [[Djuanda]] menyatakan Indonesia keluar dari [[Konvensi Bern]] agar para intelektual Indonesia bisa memanfaatkan hasil karya, cipta, dan karya bangsa asing tanpa harus membayar royalti.
Pada tahun [[1982]], [[Pemerintah Indonesia]] mencabut pengaturan tentang hak cipta berdasarkan ''Auteurswet 1912 Staatsblad'' Nomor 600 tahun [[1912]] dan menetapkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, yang merupakan undang-undang hak cipta yang pertama di Indonesia{{ref|tanyajawab}}. Undang-undang tersebut kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun [[1987]], Undang-undang Nomor 12 Tahun [[1997]], Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002, dan pada akhirnya dengan Undang-undang Nomor
Perubahan undang-undang tersebut juga tak lepas dari peran [[Indonesia]] dalam pergaulan antarnegara. Pada tahun [[1994]], pemerintah meratifikasi pembentukan [[Organisasi Perdagangan Dunia]] (''World Trade Organization'' – WTO), yang mencakup pula ''Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Propertyrights'' – [[TRIPs]] ("Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual"). Ratifikasi tersebut diwujudkan dalam bentuk Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Pada tahun 1997, [[Pemerintah Indonesia|pemerintah]] meratifikasi kembali [[Konvensi Bern]] melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan juga meratifikasi ''World Intellectual Property Organization Copyrights Treaty'' ("Perjanjian Hak Cipta WIPO") melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997{{ref|uu19'02pjls|2}}.
|