Kerajaan Sumedang Larang: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Raden kanan (bicara | kontrib)
Raden kanan (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 11:
|flag_s1 = Flag_of_Cirebon_Sultanate.jpg
|flag_s2 = Flag of the Sultanate of Mataram.svg
|year_start = 15271529
|year_end = 1620
|date_start =
Baris 594:
== Pemerintahan saat penggabungan dengan Mataram ==
=== Dipati Rangga Gempol ===
Pada saat Prabu Suriadiwangsa (Rangga Gempol) memegang kepemimpinan, pada tahun 1620 M Sumedang Larang bergabung dengan Mataram dalam rangka memerangi Belanda dan menyerang Batavia, disepakai oleh keduanya bahwa hanya akan ada satu komando dalam upaya memerangi Belanda di Batavia dan dipegang oleh Mataram sehingga untuk menunjang teraturnya rantai komando maka wilayah Sumedang Larang statusnya ''kabupaten wedana'' (luas wilayah kerajaan Sumedang Larang tidak berubah pada saat bergabung dengan Mataram dalam rangka penyerangan ke Batavia). Hal ini dilakukannya sebagai upaya menjadikan wilayah Sumedang sebagai wilayah pertahanan dan persiapan penyerangan kepada [[Belanda]]. Sultan Agung kemudian memberikan perintah kepada Pangeran Suriadiwangsa (Rangga Gempol) beserta pasukannya untuk merebut [[Sampang]] di [[Pulau Madura|Madura]] dan berhasil tanpa jalan peperangan (hal tersebut dikarenakan ibunya yang bernama Harisbaya adalah keturunan Madura) Sedangkan pemerintahan untuk sementara diserahkan kepada saudaranya, Dipati Rangga Gede.
 
=== Dipati Rangga Gede ===
Baris 627:
Tapi, setelah seminggu ditunggu ternyata pasukan dari Jawa tak juga kunjung datang sementara logistic makin menipis. Karena logistic yang kian menipis dan takut kalau mental prajurit keburu turun maka Dipati Ukur pun memutuskan untuk terlebih dahulu pergi ke Batavia menggempur VOC sambil menunggu bantuan pasukan dari Jawa.
 
Baru dua hari Pasukan Sunda yang dipimpin oleh Dipati Ukur berperang melawan VOC, pasukan Jawa datang ke Karawang dan mendapati bahwa Pasukan Sunda tak ada di sana. ''Tersinggung karena merasa tak dihargai, bukannya membantu pasukan Sunda yang sedang mati-matian menggempur VOC pasukan Jawa ini malah memusuhi Pasukan Sunda.''
 
Ditengah kekalutan itu, datang utusan dari Dayeuh Ukur membawa surat dari Enden Saribanon (putri Prabu Geusan Ulun) yang merupakan istri dari Dipati Ukur yang mengabarkan bahwa para gadis, istri-istri prajurit dan bahkan dirinya sendiri pun hampir diperkosa oleh panglima utusan Mataram dan pasukannya. Panglima dari Mataram itu sendiri ada di Dayeuh Ukur dalam rangka mengantarkan surat dari Sultan Agung dan begitu mendengar bahwa Dipati Ukur tak mengindahkan pesan dari Sultan Agung untuk menunggu pasukan Jawa di Karawang, ''para panglima ini kemudian melampiaskan kemarahannya dengan memperkosa gadis-gadis dan juga merampas harta benda mereka.''
 
Mendengar kabar itu, Dipati Ukur yang sedang berperang memutuskan untuk menghentikan perang dan kembali ke Pabuntelan (Paseurdayeuh Tatar Ukur, atau Baleendah - Dayeuhkolot sekarang). ''Dipati Ukur yang marah dengan kelakuan para utusan Mataram itu sesampainya di Pabuntelan langsung menghabisi para utusan Mataram itu''. Sayangnya, dari semua utusan itu ada satu orang yang lolos dari kematian dan kemudian melapor kepada Sultan Agung perihal apa yang dilakukan oleh Dipati Ukur terhadap teman-temannya.
 
''Dalam ''‘Negara Kerta Bhumi’'' disebutkan bahwa salah satu watak Sultan Agung adalah jika memberi tugas kepada bawahannya itu tidaklah boleh gagal. Jika gagal maka sudah dipastikan bahwa yang bersangkutan akan dihukum mati. Maka, panglima Mataram yang lolos ini pun agar terhindar dari hukuman mati mengaranglah ia tentang kenapa pasukan Mataram bisa gagal menaklukan VOC. Semua kesalahan itu ditimpakan ke pundak Dipati Ukur.''
 
Sultan Agung pun murka karena bagaimanapun juga mundurnya Dipati Ukur dari medan perang merupakan kerugian besar bagi Mataram. Intinya, penyebab kalahnya Mataram adalah karena mundurnya Dipati Ukur. Oleh karenanya, Dipati Ukur dicap penghianat dan mau memberontak kepada Mataram. Jadi, karena Dipati Ukur dianggap memberontak maka Dipati Ukur pun oleh Sultan Agung pantas dihukum mati. Akhirnya Sultan Agung pun menyuruh Cirebon untuk menangkap Dipati Ukur hidup atau mati. Penumpasan Dipati Ukur itu dipimpin langsung oleh Tumenggung Narapaksa dari Mataram.