|imagesize = 188px
|caption = Hasan di Tiro, Wali Negara Aceh terakhir
|last_officeholder = [[Hasan di Tiro|Dr. Tengku Hasan M. di Tiro, LLDLL.D. Ph.D]]
|ended = [[3 Juni]] [[2010]]
|tempo = 5 tahun, sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk 1 kali
|appointer = [[Lembaga Wali Nanggroe]]
}}
Istilah Wali Negara dalam konteks sejarah Aceh lebih jelas jika dipahamkan kedalam bahasa Inggris yaitu '''Head of state''' untuk 'Wali Negara' dan '''Guardian''' untuk '[[Wali Nanggroe]]'. Contoh lainnya, kata “Wali Negara” dan “Wali Nanggroe” hampir sama kata namun berbeda maknanya, seperti kata '''Country''' dan '''County''' dalam bahasa Inggris.<ref>{{cite web
| url= http://aceh.tribunnews.com/2012/12/04/wali-negara-atau-wali-nanggroe | title= Wali Negara atau Wali Nanggroe?| work = Asnawi Ali| publisher= [[Serambi Indonesia]]| accessdate = 04/12/2012}}{{id}}</ref>
== Sejarah Wali Negara ==
Dalam Undang-undang Kerajaan Aceh ([[Qanun Meukuta Alam Al-Asyi]]) disebutkan kekuasaan Sultan sederajat dengan Malikkul Adil dan Ketua Reusam. Kekuasaan tertinggi ada pada Majelis Parlemen. Majelis inilah yang memberikan hak dan kewajiban serta berkuasa penuh atas adat dan undang-undang. Karena itu, pada [[25 Januari]] [[1874]] mangkat [[Sultan [[Mahmud Syah]], maka yang tinggal adalah ''Malikul Adil'' [[Teungku Imum Lueng Bata]] dan Ketua adat [[Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman]].
Saat perang sedang berkecamuk di [[Bandar Aceh]], maka seluruh [[anggota parlemen]], [[ketua adat]], [[Sultan]] sementara (karena ketika itu Sultan [[Muhammad Daud Syah]] baru berumur 11 tahun), ''Malikul Adil'' hijrah ke negeri [[Pedir]] (Pidie), sebagai bagian dari [[strategi perang]]. Setelah tiga hari perjalanan, pada [[28 Januari]] 1874 sampailah di [[Keumala]], negeri Pedir dan parlemen langsung menarik semua kekuasaan adat, undang-undang ke hadapan [[parlemen]]. Anggota parlemen pada saat itu adalah [[Tuanku]] [[Raja Keumala]], [[Tuanku]] [[Banta Hasyem]], dan [[Panglima Polem IX|Teuku Panglima Polem]], serta [[Teungku Chik di Tanoh Abee]] Syeh Abdulwahab. Pada saat itu Tuanku Raja Keumala di hadapan [[Majelis]] bertitah memberikan kekuasaan [[Kerajaan Aceh]] kepada Teungku Chik di Tiro [[Muhammad Saman]] pada [[28 Januari]] [[1874]].
Sejak saat itulah secara [[legitimasi]] sahlah Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman selaku [[penanggung jawab]] dan [[berkuasa penuh]] dalam [[negara Aceh]] sebagai ''Mudabbirul Muluk'' yaitu ''[[Wali Negara Aceh]]'' Pertama.
Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman memimpin negara Aceh selama 17 tahun dan beliau syahid pada [[21 Januari]] [[1891]]. Kemudian kekuasaan dan [[perjuangan]] negara Aceh dilanjutkan oleh anak lelakinya yang tua, Teungku Muhammad Amin bin Muhammad Saman yang (syahid [[1896]], disusul Teungku Abdussalam bin Muhammad Saman Tiro (syahid [[1898]]), Teungku Sulaiman bin Muhammad Saman Tiro (syahid [[1902]]), Teungku Ubaidillah bin Muhammad Saman Tiro (syahid [[1905]]), Teungku Mahyiddin bin Muhammad Saman Tiro (syahid [[1910]]), dan Teungku Mu’az bin Muhammad Amin Tiro (syahid [[3 Desember]] [[1911]]).
Perjuangan [[bangsa Aceh]] berlanjut sampai dengan [[Hindia Belanda]] terusir dari [[bumi Aceh]] tanpa berhasil [[menaklukan]] Aceh. Kemudian setelah 65 tahun (terhitung dari [[syahid]] Teungku Mu’az 3 Desember 1911) perjuangan mengalami [[kevakuman]], maka tepat pada [[4 Desember]] [[1976]], Tengku Hasan di Tiro mengumumkan kembali [[kemerdekaan]] Aceh sebagai perjuangan lanjutan "''Successor of State''" kerajaan Aceh dimasa lalu. Dari [[fakta sejarah]], bahwa Wali Negara dimulai dari penunjukan Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman sebagai penanggung jawab dan berkuasa penuh dalam negara Aceh sebagai ''Mudabbirul Muluk'' yaitu Wali Negara Aceh yang sah pada [[28 Januari]] [[1874]].<ref>{{cite web
| url= http://aceh.tribunnews.com/2012/11/19/meluruskan-sejarah-wali-nanggroe-aceh | title= Meluruskan Sejarah Wali Nanggroe Aceh | work = Munawar A. Djalil | publisher= [[Serambi Indonesia]]| accessdate = 19/11/2012}}</ref>
Sebutan Wali Negara juga pernah dialami oleh Teungku [[Daud Beureueh]] saat mendirikan gerakan [[Darul Islam|Darul Islam Aceh]], yang berlanjut pada pendirian [[Republik Islam Aceh]] (RIA), namun suksesi Wali Negara setelah beliau [[almarhum]] tidak berlanjut. Hampir sama kejadiannya, sejak Tengku Hasan di Tiro [[wafat]], belum ada seorang pun, baik yang berasal dari [[keturunan]] [[keluarga di Tiro]] maupun bukan, yang mengklaim dirinya sebagai pengganti Wali Negara.
Dalam buku "''Acheh - New Birth of Feedom''" karya Tengku Hasan di Tiro yang diterbitkan oleh [[parlemen Inggris]] [[House of Lords]], [[1 Mei]], [[1992]], dalam appendix II, nama Tengku Hasan di Tiro termaktub sebagai [[penguasa]] (ruler) Aceh yang ke-41 yang dimulai pada Sultan [[Ali Mughayat Syah]] (1500-1530) sampai kepada Tengku Hasan di Tiro (1976-2010).<ref>{{cite web
| url= http://aceh.tribunnews.com/2012/12/04/wali-negara-atau-wali-nanggroe | title= Wali Negara atau Wali Nanggroe?| work = Asnawi Ali| publisher= [[Serambi Indonesia]]| accessdate = 04/12/2012}}</ref>
Gelar Wali Negara sifatnya sementara, sampai Aceh bebas (''bibeueh'') dari cengkeraman jajahan bangsa lain. Bila kelak sudah [[merdeka]] dan [[berdaulat]], maka yang bersangkutan akan menyerahkan urusan [[kenegaraan]] Aceh kepada rakyatnya sendiri.<ref>{{cite web
| url= http://www.acehtrend.co/wali-nanggroe-bukan-wali-neugara/ | title= Wali Nanggroe Bukan Wali Neugara | work = Fauzi Cut Syam | publisher= [[AceHTrend]]| accessdate = 27/03/2016}}</ref>
Dalam dinamika politik, informasi yang diulang-ulang dalam kehidupan sehari-hari meskipun keliru akan menjadi sebuah kebenaran, meskipun ditoreh sebagai bagian dalam sejarah.<ref>{{cite web
| url= http://aceh.tribunnews.com/2012/12/04/wali-negara-atau-wali-nanggroe | title= Wali Negara atau Wali Nanggroe?| work = Asnawi Ali| publisher= [[Serambi Indonesia]]| accessdate = 04/12/2012}}</ref>
Sejauh ini ada upaya penyimpangan sejarah yang dilakukan oleh beberapa pihak atas dasar kepentingan politik. Hendak menyamakan Wali Negara yang dulu dengan [[Wali Nanggroe]] sekarang, para pihak harus meminta izin kepada keluarga sultan yang dulu memberi mandat kepada wali-wali sebelumnya dalam istilah mewakili sebuah entitas bangsa. Dengan tidak adanya pertautan sejarah dengan masa lampau, maka jabatan Wali Nanggroe yang sekarang seharusnya disebut [[Wali Nanggroe]] ke-1 (satu). Bukan Wali Nanggroe ke-9 (sembilan). Sebab ini bukan Wali untuk [[kedaulatan bangsa]] Aceh. Jadi tidak ada hubungan antara Wali Negara dengan Wali Nanggroe pasca [[MoU Helsinki]] lahir yang [[kedudukan Aceh]] masih di bawah [[Indonesia]].<ref>{{cite web
| url= http://www.acehtrend.co/wali-nanggroe-bukan-wali-neugara/ | title= Wali Nanggroe Bukan Wali Neugara | work = Fauzi Cut Syam | publisher= [[AceHTrend]]| accessdate = 27/03/2016}}</ref>
Daftar Wali Negara sebagai berikut:
# [[Teungku Chik di Tiro|Muhammad Saman Tiro]]
# [[Muhammad Amin Saman Tiro]]
# [[Abdussalam Saman Tiro]]
# [[Sulaiman Saman Tiro]]
# [[Ubaidillah Saman Tiro]]
# [[Mahjuddin Saman Tiro]]
# [[Muaz Amin Tiro]]
# [[Hasan Muhammad di Tiro]]
|