Suku Tengger: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
Baris 25:
== Budaya ==
Bagi suku Tengger, [[Gunung Bromo]] atau ''Gunung Brahma'' dipercaya sebagai gunung suci. Setahun sekali masyarakat Tengger mengadakan upacara ''[[Kasada|Yadnya Kasada]]'' atau ''Kasodo''. Upacara ini bertempat di sebuah [[pura]] yang berada di bawah kaki Gunung Bromo utara yakni Pura Luhur Poten Bromo dan dilanjutkan ke puncak gunung Bromo. Sebelum didirikan pura di tempat tersebut hanyalah pelataran dari semen, tempat seluruh dukun pandhita se-Tengger melakukan Upacara Kasadha. Upacara diadakan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 di bulan
Upacara adat lain yang dilakukan orang Tengger dapat dibagi menjadi upacara kalenderis dan upacara non-kalenderis. Semua upacara ini intinya dilakukan untuk mengharap keselamatan untuk manusia dan lingkungannya.
Beberapa upacara kalenderis yang terjadi tiap tahun dengan waktu yang selalu sama dalam kalender Tengger antara lain :
1. Upacara Pujan : dilakukan pada bulan-bulan tertentu, sebagai berikut :
a. Pujan Karo/Riyaya Karo:
dilaksanakan pada bulan ke-2 (bulan Karo) sejak tanggal ke-7 hingga ke-22. Termasuk salah satu upacara besar untuk memperingati terjadinya dualitas di dunia terutama laki-laki dan wanita, baik dan buruk. Makna lainnya, terutama di desa Ngadas [[Malang]] adalah untuk memperingati perseteruan abdi Ajisaka dan Nabi Muhammad, dan secara umum memperingati hubungan Buddha dan Islam (dalam Hefner, 1980). Puncak upacara dilakukan pada tanggal ke-15 saat bulan purnama. Pelaksanaan di tiap desa Tengger berbeda-beda. Orang Tengger di [[Pasuruan]] (Brang Kulon) melaksanakan Tari Sodoran yang diikuti beberapa desa namun dipusatkan di satu desa. Orang Tengger Probolinggo khusus di desa Ngadisari, Wonotoro, dan Jetak melakukan Tari Sodoran bersama. Satu desa secara bergantian menjadi tuan rumah sementara dua desa lain menjadi pengantin laki-laki dan perempuan (yang diperankan oleh masing-masing kepala desa). Tari sodoran adalah tati yang menyimbolkan hubungan intim antara suami dan istri. Desa Ngadirejo, Ngadas, dan Wonokerto juga melakukan tradisi ini, namun karena penduduk desa Wonokerto telah menganut Islam dan tidak melakukan adat Tengger lagi maka tari sodoran ketiga desa tersebut sudah tidak dilakukan. Sementara itu desa-desa sisanya tidak melakukan taro sodoran, namun melaksanakan doa bersama yang disebut banten gede di rumah masing-masing kepala desa. Upacara ini kemudian ditutup debgan nyadran (berziarah dan makan bersama di makam desa) pada tanggal 22 bulan Karo.
b. Pujan Kapat :
dilaksanakan pada bulan ke-4 (Kapat) pada tanggal ke-4 di rumah kepala desa/dukun pandhita di masing-masing desa.
c. Pujan Kapitu :
dilaksanakan pada bulan ke-7 (Kapitu) pada tanggal ke-15 di rumah kepala desa/dukun pandhita di masing-masing desa.
d. Pujan Kawolu :
dilaksanakan pada bulan ke-8 pada tanggal ke-1 di rumah kepala desa/dukun pandhita di masing-masing desa.
e. Pujan Kesanga :
dilaksanakan pasa bulan ke-9 pada malam hari tanggal 24 di rumah kepala desa/dukun pandhita di masing-masing desa. Kemudian dilanjutkan dengan berkeliling desa membawa obor dan alat musik khas Tengger. Khusus untuk desa Ngadas Kabupaten Malang, pada tanggal ini mereka mengadakan upacara Grebeg Tengger Tirto Aji di sumber air pemandian Wendit Malang. Sebelum tahun 2003, upacara ini dilakukan di mata air [[Gua Widodaren]] di gugusan pegunungan Bromo.
f. Pujan Kasada :
dilakukan pada bulan ke-12 pada tanggal ke-15 dini hari secara terpusat si Pura Luhur [[Poten]]. Pada upacara ini juga dilakukan pelantikan calon dukun. Calon dukun yang mampu membaca mantra Pulun tanpa salah di depan semua hadirin akan lolos menjadi dukun. Namun, proses pembelajaran menjadi dukun baru dimulai setelah itu. Perlu bertahun-tahun lagi sebelum dukun baru dapat memimpin upacara.
2. Upacara Galungan :
Upacara yang dilakukan pada wuku Galungan. Upacara ini berbeda dengan hari raya [[Galungan]] dalam agama [[Hindu Bali]]. Sejak orang Tengger menganut agama Hindu Bali, maka perayaannya kemudian disatukan dengan Hari Raya Galungan.
3. Unan-unan/Mayu Bumi:
Upacara paling besar yang dilakukan sekali tiap 8 tahun wuku atau setiap 5 tahun masehi. Dilakukan pada tahun Pahing/tahun landhung (tahun panjang) pada kalender Tengger yang terdiri dari 13 bulan. Tahun ini terjadi tiap 5 tahun sekali. Pada upacara ini hitungan tahun dikurangi 1 bulan, sehingga hitungan tahun Pahing tetap 12 bulan meskipun kenyataannya tetal 13 bulan. Unan-unan hanya dilakukan pada bulan Karo, Kalima, dan Dhesta bergantian tiap 5 tahun. Setelah dilakukan upacara Unan-unan pada bulan tersebut, maka bulan selanjutnya masing-masing akan tetap menjadi Karo, Kalima, atau Dhesta. Unan-unan dilaksanakan di masing-masing desa, dipusatkan di Sanggar Agung masing-masing. Pada tahun 2018 M, Unan-unan serentak dilakukan pada Bulan Kalima bertepatan pada Jumat 23 November 2018. Namun, perayaan Unan-unan di desa Ngadas Malang telah dilaksanakan lebih dulu pada bulan Dhesta tanggal 31 Mei 2018. Unan-unan bersama juga dilakukan oleh beberapa dukun pandhita dari Tengger Brang Wetan di Kabupaten [[Lumajang]] pada Rabu 28 November 2018. Upacara dipusatkan di Sanggar Sejati di desa [[Kandangan]] kecamatan [[Senduro]]. Sebuah situs [[punden berundak]] dengan beberapa [[menhir]] dan [[dolmen]] yang telah menjadi tempat upacara orang Tengger sebelum bergabung dengan agama Hindu Bali. Jadwal pelaksanaan unan-unan berikutnya pada bulan Dhesta tanggal 24 April 2024.
Sedangkan upacara non-kalenderis antara lain:
1. Entas-entas :
upacara rumit yang bertujuan mengentas roh leluhur yang sudah meninggal agar mencapai "panggon" (tempatnya) yang abadi. Biasanya dilakukan secara kolektif. Identik dengan upacara "nyewu" (1000 hari) pada masyarakat Jawa pada umumnya. Namun entas-entas tidak harus dilakukan pada hari ke-1000.
2. Tugel Kuncung/Tugel Gombak:
Upacara untuk anak balita dengan memotong rambut bagian depan (kuncung) pada laki-laki atau rambut atas (gombak) pada wanita.
3. Walagara :
Upacara pernikahan
4. Barikan :
dilakukan setelah terjadi bencana seperti gunung meletus, gerhana, gempa bumi, dan lainnya.
5. Mayu Desa :
Upacara selametan penobatan kepala desa yang baru.
6. Pembaron :
Upacara yang sudah tidak lernah dilakukan, bahkan sebagian besar orang Tengger sudah tidak tahu tentang upacara ini. Terakhir dilakukan saat pendudukan Jepang. Upacara yang khusus dilakukan kepada dukun pandhita atau kepala desa (petinggi) untuk menjadi seorang "Baru" di usia yang sudah lanjut. Seorang Baru adalah orang yang sudah meninggalkan hasrat duniawi, dimana rohnya akan langsung menuju puncak mahameru setekah meninggal. Sementara orang biasa akan menuju puncak bromo. Pada upacara ini calon Baru akan membaca syair Puja Limbang.
7. Upacara lain yang berkaitan dengan daur hidup, membangun rumah, pindah rumah, akan bepergian, peresmian jalan baru, pembukaan jalur pendakian gunung Semeru dan lainnya.
Seluruh upacara tersebut dipimpin oleh pemimpin adat yang disebut dukun padhita. Dukun pandhita Tengger berbeda dengan dukun di komunitas Jawa lainnya. Resi Pujangga adalah nama kuno dari profesi ini. Penyebutan menjadi dukun kemungkinan karena penduduk Tengger meniru dari penduduk non-tengger disekitar. Resi Pujangga memiliki persamaan yang menarik dengan Resi Bujangga (dari klan [[sengguhu]]) di Bali, dimana mereka berdua mewarisi mantra Purwabhumi Kamulan dan masih merapalkannya pada saat-saat tertentu hingga saat ini. Dukun pandhita dalam tugasnya dibantu oleh beberapa asisten, antara lain :
1. Wong sepuh/tiyang sepuh
lelaki yang bertugas membuat boneka Petra sebagai tempat roh leluhur yang diundang turun ke bumi seperti pada upacara unan-unan, entas-entas, atau karo. Selain itu juga menata sesajen saat upacara.
2. Legen
lelaki yang bertugas membawa benda-benda upacara milik dukun. Tugas-tugas lain Legen juga bertumpang tindih dengan tugas Wong Sepuh.
3. Mbok Dandan / pedandan
Biasanya adalah istri dari dukun pandhita. Bertugas memasak, membuat, dan merangkau sesajen oada sebuah upacara.
4. Pak Sanggar
Lelaki yang bertugas menjaga sanggar agung desa. Tidak ada disetiap desa, karena biasanya tugas ini dilakukan oleh kepala desa. . Diperkirakan baru muncul kemudian, karena perintah penjajah untuk memisahkan peran kepala desa dari ranah ritual.
== Lihat pula ==
|