Rumah panggung Betawi: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 62:
Ruchiat, dkk}}. Ketiga pola atap dimaksud adalah atap rumah gudang, bapang dan joglo.{{Sfn|Ruchiat, dkk|(2003)|p=108 : “Berdasarkan bentuk dan struktur atapnya, rumah tradisional Betawi secara garis besarnya dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu potongan gudang, potongan joglo (limasan), dan potongan bapang atau kabaya ..."}}
 
* '''Atap Rumah Gudang'''. Pada Rumah Gudang bentuk atapnya ada yang pelana dan ada yang perisai yang tersusun dari kerangka kuda-kuda. Jika berbentuk perisai, ditambah sebuah elemen struktur yang disebut ''jure''. Struktur kuda-kuda Rumah Gudang agak kompleks. Hal ini karena sudah menggunakan batang tekan miring sebanyak dua buah yang saling bertemu pada sebuah batang tarik tegak atau disebut dengan ''ander''{{Sfn|Ruchiat, dkk|(2003)|p=109 : “Atapnya berbentuk pelana tetapi ada juga yang berbentuk perisai ..."}}. Di bagian depan atap diberi tambahan berupa topi, dak, atau markis. Penambahan topi bertujuan untuk melindungi teras depan dari panas atau tampias air hujan{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=39 : “Penambahan topi ini dimaksudkan agar melindungi teras depan dari panas dan tampias air hujan ..."}}.
 
* '''Atap Rumah Bapang'''. Atau disebut juga Rumah Kebaya. Atapnya berbentuk pelana, namun berbeda dengan Rumah Gudang. Atap Rumah Bapang tidak merupakan pelana yang penuh sampai ke tepi. Sebagian atap Rumah Bapang terbentuk oleh atap pelana yang ditekuk, biasa disebut ''sorondoy'', sedangkan atap pelananya berada ditengah-tengah ruang. Ada juga Rumah Kebaya yang bentuk atapnya perisai landai yang diteruskan dengan atap pelana yang lebih landai lagi terutama di bagian teras. Variasi lainnya, atap berbentuk pelana tapi limpasan air berada di bagian samping{{Sfn|Ruchiat, dkk|(2003)|p=111 : “Pada dasarnya atap rumah potongan Bapang adalah berbentuk pelana ..."}}.
 
* '''Atap Rumah Joglo'''. Pada Rumah Joglo atapnya menjorok ke atas dan tumpul seperti Rumah Joglo di [[Jawa]]. Umumnya. Rumah Joglo dimiliki oleh golongan bangsawan atau priyayi. Tetapi terdapat perbedaan dalam sistem konstruksi atapnya. Jika Rumah Joglo di Jawa menggunakan soko guru, maka Rumah Joglo di Betawi menggunakan struktur kuda kuda biasa, tidak memakai tiang-tiang penopang struktur atap sebagai unsur utama dalam pembagian ruang.<ref name=":4" />{{Sfn|Fenny Leo, dkk|(2019)|p=11. :" Pada rumah Joglo dari atap disusun oleh sistem struktur kuda-kuda..."}}
=== Pondasi ===
[[Berkas:Tiang pondasi Rumah Tinggi Marunda.jpg|jmpl|Pondasi umpak untuk menyokong tiang-tiang panggung pada Rumah si Pitung di Marunda]]
Baris 110:
Sebagai masyarakat yang merupakan hasil percampuran dari berbagai multietnis, banyak kepercayaan yang terbawa hingga saat ini dalam budaya orang Betawi. Salah satunya adalah pantangan dan aturan ketika mendirikan rumah.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=73 : “Sebagai masyarakat yang dibentuk oleh multietnis, banyak kepercayaan-kepercayaan yang terbawa hingga sekarang ..."}} Pada prinsipnya kedua hal tersebut dimaksudkan agar si penghuni rumah terhindar dari musibah dalam hidupnya. Jika tidak melanggar berarti mereka akan mendapatkan keselamatan atau mendapatkan hal-hal yang baik dalam hidupnya ketika menghuni tempat tinggalnya itu.<ref name=":4" />{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=73 : “Pada prinsipnya larangan serta aturan tersebut ditujukan agar penghuni yang kelak menempati rumah yang sedang dibangun terhindar dari musibah dalam hidupnya ..."}} Pantangan dan aturan dalam budaya Betawi terkait material, tanah dimana rumah akan didirikan, posisi bangunan, dan aturan-aturan pendirian rumah.<ref name=":4" />
 
* '''Kayu Nangka'''. Dalam hal material bangunan, kayu nangka pantang menjadi bagian bawah kusen pintu. Jika demikian berarti kayu nangka akan selalu dilangkahi orang. Dalam kepercayaan Masyarakat Betawi, jika ada yang melangkahi kayu nangka maka dia dikhawatirkan akan terkena penyakit kuning.{{Sfn|BP Budpar|(2002)|p=10. :" Sesuai dengan kepercayaan masyarakat Betawi, kayu nangka sebagai bahan bangunan yang dipilih tidak boleh dibuat dari "trampa" atau "drompot" yaitu bagian bawah kusen pintu, sebab orang yang melangkahi kayu nangka bisa terkena penyakit kuning..."}}
 
* '''Tanah Keramat'''. Orang Betawi pantang mendirikan rumah di atas tanah yang dikeramatkan, misalnya, tanah bekas [[Pemakaman|kuburan]].
 
* '''Posisi Rumah'''. Jika ada Orang Betawi mau mendirikan rumah, hendaknya rumah itu berada di sebelah kiri rumah orang tua atau [[mertua]]. Jika posisinya berada di sebelah kanan, maka keluarga sang anak akan sakit-sakitan atau bahkan jadi susah rezekinya.
 
* '''Atap'''. Larangan keras lainnya adalah soal atap rumah. Ada pantangan untuk membuat atap rumah yang bahannya mengandung unsur tanah. Bagi Orang Betawi, tanah itu seharusnya berada di bawah. Kalau ada orang Betawi yang melanggarnya, berarti sama saja ia terkubur di dalam tanah.<ref name=":4" />
 
* '''Kayu Cempaka'''. Kusen pintu bagian atas pada rumah-rumah Betawi berbahan kayu cempaka. Secara harafiah kayu cempaka memang berbau harum, jadi sekaligus bermanfaat juga sebagai pengharum ruangan alami. Secara filosofis, keharuman kayu cempaka akan membuat penghuni rumah selalu dalam keadaan baik, sehat, dan disenangi tetangga-tetangganya.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=73 : “Kayu cempaka merupakan salah satu kayu yang berbau harum ..."}}
 
* '''Kayu Asem'''. Berbeda dengan kayu Cempaka, meski sering ditemukan di kebun-kebun orang Betawi, kayu dari pohon asem pantang untuk dipakai. Menurut kepercayaan orang Betawi, kayu asem bisa meruntuhkan wibawa si empunya rumah. Selain itu jika dimanfaatkan, dikhawatirkan akan menganggu hubungan dengan para tetangga.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=73 : “Pohon asem sering ditemukan berada di kebun-kebun warga Betawi., tetapi bila diperhatikan ternyata pohon asem hampir tidak pernah dimanfaatkan sebagai bahan bangunan rumah ..."}}
 
* '''Garam Bata'''. Dipercaya orang Betawi mampu mengusir roh-roh jahat. Maka pada saat meratakan tanah yang akan dibangun rumah, masyarakat Betawi meletakkan lima garam bata di keempat pojok bangunan dan satunya lagi diletakkan di tengah-tengah. Ritual ini dimaksud agar si pemilik rumah tidak diganggu roh-roh jahat.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=73 : “Pada saat meratakan tanah di lokasi rumah akan dibangun, biasanya masyarakat Betawi meletakkan lima garam bata di keempat pojok bangunan dan satu garam bata lagi di tengah-tengah ..."}}
 
== Galeri ==