Sundang awalnya adalah penggabungan ilmu bela diri militer kerajaan [[Singasari]] dan [[Dharmasraya]] kemudian diaplikasi dengan sokongan dua senjata tajam berupa pedang ditangan kiri yang disebut ''Sundang'' dan keris ditangan kanan yang disebut ''Taji''. Konsepnya adalah tidak menghindar tetapi justru menyusup masuk ke area pertahanan lawan disisi terlemahnya.
Sejarah mencatat ilmu ini ''sangat kejam'', karena serangannya mengalir deras sesuai unsur alam semesta yang menandainya. Seorang [[Ranggalawe]], yang dikenal cukup perkasapun harus takluk dengan tubuh tercabik-cabik di pertarungan tengah sungai melawan [[Mahisa Anabrang]]. Kekejaman ilmu ini adalah tidak dapat dihentikan sebelum lawan ditaklukan, dia akan mengalir bak air bah yang tak terbendung.
Sepeninggalan [[Mahisa Anabrang]], ilmu ini diwarisi putranya Mahisa Teruna atau dikenal sebagai [[Adityawarman]] raja [[Kerajaan Dharmasraya]]. Dari prajurit-prajurit Dharmasraya inilah Sundang Majapahit berkembang ke [[Kepulauan Riau]], [[Bugis]], [[Wajo]], [[Semenanjung Melayu]] hingga ke [[Sulu]] ([[Filipina]]).
Dari berbagai daerah yang telah mewariskannya mempunyai ciri karakter yang menandakan seni bela diri Sundang, yaitu adanya tali pengikat pergelangan pada keris dan pedangnya (karena kedua senjata harus mampu diputar berganti peran dengan cepat). Kerajaan Dharmasraya menitik beratkan pada seni gerak patahan, Bugis mengembangkan kuncian dan tikaman (pencak sarung), dan Sulu pada kecepatan reaksi (kali). Ketika di Nusantara ilmu ini memudar, pasukan kerajaan Sulu justru masih eksis mengembangkannya di kawasan Filipina selatan dengan masih menyanjung nama Kali Majapahit.