Hermeneutika: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
VolkovBot (bicara | kontrib)
Adamdanhawa (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 39:
[[uk:Герменевтика]]
[[zh:解釋學]]
 
STUDI HERMENEUTIKA DAN PENERAPANNYA
Oleh: Aksin Wijaya
 
Istilah hermeneutika merupakan turunan dari kata kerja Yunani, hermeneuin yang berhubungan dengan kata benda hermenes dan terkait dengan dewa dalam mitologi Yunani kuno bernama “Hermes”. Hermes merupakan utusan para dewa untuk membawa pesan Ilahi yang memakai bahasa “langit” kepada manusia yang menggunakan bahasa “dunia”. Untuk tujuan itulah maka diperlukan interpretasi.
Sebagai turunan dari simbol dewa, hermeneutika berarti suatu ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata atau suatu kejadian pada waktu dan budaya yang lalu dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang. Dengan kata lain, hermeneutika merupakan teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap sebuah Teks. Karena obyek kajian utamanya adalah pemahaman makna pesan yang terkandung dalam teks dengan variabelnya, maka tugas utama hermeneutika adalah mencari dinamika internal yang mengatur struktur kerja suatu teks untuk memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan makna itu muncul.
Melalui hermeneutika, hasil sebuah analisis bisa berbeda dengan maksud penggagas, namun juga bisa sama. Sebab, ketika suatu wacana diwujudkan ke dalam bentuk tulisan, menurut Paul Riceour, yang terjadi sesungguhnya adalah pelestarian "makna wacana", bukan "peristiwa wacana" itu sendiri. Dengan demikian, wacana tertulis tersebut memperoleh otonominya yang rangkap tiga: otonom dari maksud pengarang; otonom dari konteks sosio-historis awal yang melatarinya; dan otonom dari kelompok sasaran awalnya. Bersamaan dengan itu, wacana tertulis atau teks menjadi sesuatu yang pasti pada dirinya.
Sifat otonomi wacana tertulis atau teks di atas mempunyai konsekuensi logis bagi siapapun yang bergulat dengan penafsiran teks. Otonomi teks membuat penafsiran setiap teks terbuka dan menolak upaya menunggalkan tafsir. Setelah dituliskan, setiap teks memiliki makna sendiri yang tidak selalu bisa disamakan dengan makna awal maksud pengarang. Karena itu, di satu sisi teks dapat didekontekstualiasi dan di sisi lain bisa direkontekstualisasi ke dalam situasi baru, menjumpai para pembaca baru yang berada di luar kelompok sasaran awal. Itu berarti bahwa teks bisa memproduksi makna-makna baru sesuai kelompok sasaran barunya. Kendati demikian, pesan subyek yang mengatakan atau penggagas tetap tersimpan dalam teks sehingga pesan itu bisa dilacak melalui pembacaan yang bersifat negosiasi antara pembaca dengan teks.
Persoalan utama hermeneutika terletak pada pencarian makna teks, apakah makna obyektif atau makna subyektif. Perbedaan penekanan pencarian makna pada ketiga unsur hermeneutika: penggagas, teks dan pembaca, menjadi titik beda masing-masing hermeneutika. Titik beda itu dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori hermeneutika: teoritis, hermeneutika filosofis, dan hermeneutika kritis.
Pertama, hermeneutika teoritis. Bentuk hermeneutika seperti ini menitikberatkan kajiannya pada problem "pemahaman", yakni bagaimana memahami dengan benar. Sedang makna yang menjadi tujuan pencarian dalam hermeneutika ini adalah makna yang dikehendaki penggagas teks. Oleh karena tujuannya memahami secara obyektif maksud penggagas, maka hermeneutika model ini dianggap juga sebagai hermeneutika romantis yang bertujuan untuk "merekonstruksi makna".
Dalam rangka merekonstruksi makna, Scheleirmacher, sebagai pencetus hermneutika teoritis, menawarkan dua pendekatan: pertama, pendekatan linguistik yang mengarah pada analisis teks secara langsung; kedua pendekatan psikologis yang mengarah pada unsur psikologis-subyektif sang penggagas sendiri. Dua unsur pendekatan ini dalam hermeneutika teoritis, dipandang sebagai dua hal yang tidak boleh dipisah. Memisah salah satunya akan menyebabkan sebuah pemahaman terhadap pemikiran seseorang menjadi tidak obyektif. Sebab, teks menurut hermeneutika teoritis sebagai media penyampaian gagasan penggagas kepada audiens. Agar pembaca memahami makna yang dikehendaki penggagas dalam teks, hermeneutika teoritis mengasumsikan seorang pembaca harus menyamakan posisi dan pengalamannya dengan penggagas teks. Dia seolah-olah bayangan penggagas teks. Agar mampu menyamakan posisinya dengan penggagas, dia harus mengosongkan dirinya dari sejarah hidup yang membentuk dirinya, dan kemudian memasuki sejarah hidup penggagas dengan cara berempati kepada penggagas.
Sebagai pelanjut gagasan hermeneutika teoritis Schleiemacher, Wilhelm Dilthey mengawalinya dengan memilah-milah ilmu menjadi dua disiplin: ilmu alam dan ilmu sosial-humaniora. Yang pertama menjadikan alam sebagai obyek penelitiannya, yang kedua manusia. Oleh karena obyek dari ilmu alam berada di luar subyek, ia diposisikan sebagai sesuatu yang datang kepada subyek, sebaliknya karena obyek ilmu sosial-humaniora berada di dalam subyek itu sendiri, keduanya seolah tak terpisah. Yang membedakan kedua disiplin ilmu ini menurut Dilthey bukan obyeknya semata, tapi juga orientasi dari subyek pengetahuan, yakni "sikapnya" terhadap obyek.
Dengan demikian, perbedaan kedua disiplin ilmu tersebut bersifat epistemologis, bukan ontologis. Secara epistemologis, Dilthey menganggap disiplin ilmu alam menggunakan penjelasan (Erklaren), yakni menjelaskan hukum alam menurut penyebabnya dengan menggunakan teori. Sebab, pengalaman dengan teori terpisah. Sedang disiplin ilmu sosial-humaniora mengunakan pemahaman (Verstehen), dengan tujuan untuk menemukan makna obyek, karena di dalam pemahaman, terjadi pencampuran antara pengalaman dan pemahaman teoritis.
Selanjutnya, dengan mengambil penekanan yang sedikit berbeda dengan hermeneutika teoritis Schleiermacher yang menekankan pada pencarian makna obyektif yang dihendaki penggagas, Dilthey menganggap makna obyektif yang perlu dipahami dari ilmu humaniora adalah makna teks dalam konteks kesejarahaannya. Sehingga, hermeneutika menurut Dilthey bertujuan untuk memahami teks sebagai ekspresi sejarah, bukan ekspresi mental penggagas. Karena itu, yang perlu direkosntruksi dari teks menurut Dilthey, adalah makna dari peristiwa sejarah yang mendorong lahirnya teks. Karena itu, berbeda dengan Schleiemacher, untuk merekonstruksi makna teks, menurut Dilthey tidak harus menyelam ke dalam pengalaman penggagas. Sebab pengalaman itu dimediasi oleh karya-karya para tokoh sejarah yang menghayati realitas pada masanya. Hal itu bisa ditemukan dengan pemahaman terhadap makna budaya yang diproduknya. Di sinilah sikap empati pembaca terhadap teks menemukan tempatnya.
E. Betti termasuk tokoh hermeneut yang menganut hermeneutika teoritis yang mencoba memadukan antara teori Schleiemacher dan Wilhelm Dilthey. Sebagaimana pendahulunya, hermeneutika menurut Betti bertujuan untuk menemukan makna obyektif. Betti menawarkan empat momen gerakan alam menemukan makna obyektif: pertama, penafsir melakukan investigasi fenomena linguistik teks, kedua, penafsir harus mengosongkan dirinya dari segala bentuk kepentingan, tiga, penafsir harus menempatkan dirinya dalam posisi seorang penggagas melalui kerja imajinasi dan wawasan, empat, melakukan rekonstruksi untuk memasukkan situasi dan kondisi untuk memperoleh hasil yang ingin dicapai dari ungkapan teks.
Kedua, hermeneutika filosofis. Problem utama hermeneutika ini bukanlah bagaimana memahami teks dengan benar dan obyektif sebagaimana hermeneutika teoritis. Problem utamannya adalah bagaimana "tindakan memahami" itu sendiri. Sebagai penggagas hermeneutika filosofis, hermeneutika, menurut Gadamer, berbicara tentang watak interpretasi, bukan teori interpretasi. Karena itu, dengan mengambil konsep fenomenologis Heidegger tentang Dasein (ke-Ada-annya di dunia), Gadamer menganggap hermeneutikanya sebagai risalah ontologi, bukan metodologi.
Dalam rumusan hermeneutikanya, Gadamer menolak anggapan hermeneutika teoritis yang menggagap hermeneutika bertujuan menemukan makna obyektif. Gadamer menganggap tidak mungkin diperoleh pemahaman yang obyektif atau definitif sebuah teks sebagaimana digagas para penggagas hermeneutika teoritis, karena dua alasan: pertama, orang tidak bisa berharap menempatkan dirinya dalam posisi pengarang asli teks untuk mengetahui makna aslinya. Kedua, memahami bukanlah komuni misterius jiwa-jiwa dimana penafsir menggenggam makna teks yang subyektif. Memahami menurutnya adalah sebuah fusi horizon-horizon: horizon penafsir dan horizon teks.
Sebagai tawarannya, Gadamer merumuskan hermeneutika filosofisnya dengan bertolak pada empat kunci heremeneutis:
Pertama, kesadaran terhadap "situasi hermeneutik". Pembaca perlu menyadari bahwa situasi ini membatasi kemampuan melihat seseorang dalam membaca teks. Kedua, situasi hermeneutika ini kemudian membentuk "pra-pemahaman" pada diri pembaca yang tentu mempengaruhi pembaca dalam mendialogkkan teks dengan konteks. Kendati ini merupakan syarat dalam membaca teks, menurut Gadamer, pembaca harus selalu merevisinya agar pembacaannya terhindar dari kesalahan. Ketiga, setelah itu pembaca harus menggabungkan antara dua horizon, horizon pembaca dan horizon teks. Keduanya harus dikomonikasikan agar ketegangan antara dua horizon yang mungkin berbeda bisa diatasi. Pembaca harus terbuka pada horizon teks dan membiarkan teks memasuki horizon pembaca. Sebab, teks dengan horizonnya pasti mempunyai sesuatu yang akan dikatakan pada pembaca. Interaksi antara dua horizon inilah yang oleh Gadamer disebut "lingkaran hermeneutik". keempat, langkah selanjutnya adalah menerapkan "makna yang berarti" dari teks, bukan makna obyektif teks.
Bertolak pada asumsi bahwa manusia tidak bisa lepas dari tradisi dimana dia hidup, maka setiap pembaca menurutnya tentu tidak bisa menghilangkan tradisinya begitu saja ketika hendak membaca sebuah teks. Dalam kegiatan penafsiran, hermeneutika filosofis mengandaikan seorang penafsir atau pembaca didahului oleh horizon pembaca yang kemudian membentuk pra pemahaman. Namun penting digaris bawahi bahwa Gadamer tidak bermaksud memberikan kebebasan mutlak bagi penafsir. Gadamer tetap memberikan rambu-rambu, yakni agar penafsir bersikap terbuka pada teks. Penafsir sejatinya membiarkan teks menghadiri penafsir untuk kemudian diadakan dialog antara keduanya untuk menghilangkan ketegangan. Sebab, sebagaimana pembaca, teks juga mempunyai sejarahnya sendiri yang disebut horizon teks.
Dengan prinsip makna tidak ditemukan di dalam teks, Gadamer berpendapat bahwa "memahami" adalah tindakan sirkuler antara teks dengan pembaca yang disebut the fusion of horison, yakni mempertemukan pra pemahaman pembaca dengan cakrawala atau horizon teks. Dalam negosiasi itulah, makna yang dicari bersemayam. Penekanan Gadamer pada fusi horizon dalam menemukan makna didasarkan pada argumen bahwa seseorang tidak mungkin bisa melepaskan diri dari tradisi dan prasangkanya dan apalagi memasuki tradisi dan prasangka orang lain. Menurut Gadamer, keduanya pasti hadir dalam setiap tindakan menafsir, lantaran keduanya merefleksikan keterkondisian historis umat manusia.
Berbeda dengan hermeneutika teoritis yang hendak "merekonstruksi makna", tujuan utama hermeneutika filosofis adalah "memproduksi makna teks", melalui fusi horison pembaca dan horizon teks. Begitu makna produktif ditemukan, langkah selanjutnya adalah menerapkannya ke dalam konteks di mana pembaca berada. Tentu makna yang diterapkan bukanlah makna obyektif sebagaimana dimaksudkan hermeneutika toritis, melainkan "makna yang berarti" bagi pembaca. Makna itu mempunyai nilai bagi kehidupan pembaca, bukan bagi kehidupan penggagas.
Ketiga, hermeneutika kritis. Hermeneutika ini bertujuan untuk mengungkap kepentingan di balik teks, dengan tokohnya Habermas. Kendati memberikan penilaian positif atas gagasan Gadamer yang mempertahankan dimensi sejarah hidup pembaca, Habermas sebagai penggagas hermeneutika kritis menempatkan sesuatu yang berada di luar teks sebagai problem hermeneutiknya yang oleh dua model hermeneutika sebelumnya justru diabaikan. Sesuatu dimaksud adalah dimensi ideologis penafsir dan teks, sehingga dia mengandaikan teks bukan sebagai medium pemahaman sebagaimana dipahami dua model hermeneutika sebelumnya, melainkan sebagai medium dominasi dan kekuasaan. Di dalam teks tersimpan kepentingan pengguna teks. Karena itu, selain horizon penafsir, teks harus ditempatkan dalam ranah yang harus dicurigai.
 
�LANGKAH-LANGKAH ANALISIS HERMENEUTIKA
 
 
A. Sejarah lahirnya hermeneutika?
B. Hermeneutika Teoritis: menawarkan gagasan hermeneutika yang bertujuan menemukan makna obyektif. Teori hermeneutika teoritis menyarankan pembaca mengosongkan dirinya dari sejarah hidupnya sendiri dan memasuki sejarah hidup penggagas.
Makna obyektif dimaksud ada tiga:
1. Makna yang dimaksud penggagas dengan tokohnya Scleimecher: pendekatan linguistik dan psikologis. Pembaca harus menyamai posisi penggagas.
2. Makna yang dimaksud teks dengan tokohnya Dilthey: menganalisis sejarah lahirya teks. Dilthey membagi disiplin agama menjadi dua: alam dan humaniora. Ilmu alam menggunakan Eklaren (penjelasan); sedang humaniora menggunakan vestehen (memahami).
3. Makna obyektif yang memadukan antara linguistik dan sejarah dengan tokohnya Betti: Analisis psikologis, sejarah dan teks
 
C. Hermeneutika Filosfis: Menurut Gadamer hermeneutika tidak semata-mata bagaimana menafsiri dengan benar, melainkan fenomena menafsiri itu sendiri. Interpretation of interpretation. Menurutnya, hermeneutika teoritis yang menyarankan pengkosongan pembaca dalam menemukan makna obyektif adalah mustahil. Mustahil manusia bisa megosongkan sejarah hidupnya yang dia sebut horizon. Yang mungkin adalah menjadikan horizon pembaca sebagai pijakan dialektika dalam memahami teks. Empat kunci hermeneutika Gadamer:
Pertama, kesadaran terhadap "situasi hermeneutik". Pembaca perlu menyadari bahwa situasi ini membatasi kemampuan seseorang dalam membaca teks. Karena itu, pembaca harus bisa mengatasi subyektifitasya sendiri dalam membaca teks dan bersikap toleran terhadap pembaca lain. Kedua, situasi hermeneutika ini kemudian membentuk "pra-pemahaman" pada diri pembaca yang tentu mempengaruhi pembaca dalam mendialogkkan teks dengan konteks. Kendati ini merupakan syarat dalam membaca teks, menurut Gadamer, pembaca harus selalu merevisinya agar pembacaannya terhindar dari kesalahan. Ketiga, pembaca harus menkomuikasian dua horizon, horizon pembaca dan horizon teks, agar ketegangan antara dua horizon yang mungkin berbeda bisa diatasi. Pembaca harus terbuka pada horizon teks dan membiarkan teks memasuki horizon pembaca. Sebab, teks dengan horizonnya pasti mempunyai sesuatu yang akan dikatakan pada pembaca. Interaksi antara dua horizon inilah yang oleh Gadamer disebut "lingkaran hermeneutik". Keempat, langkah selanjutnya adalah menerapkan "makna yang berarti" dari teks, bukan makna obyektif teks.
 
D. Hermeneutika Kritis: Mengkritik Gadamer, Habermas menyatakan kendati hermeneutika yang digagas Gadamer benar di satu sisi, namun menurutnya Gadamer belum mampu melacak kepentingan ideologis di balik horizon pembaca dan teks. Menurut Habermas, teks bukanlah media netral, melainkan media dominasi. Karena itu, ia harus selalu dicurigai.
1. Rasio instruental: melahirkan teknologi: melahirkan penindasan
2. Rasio komunikatif: akal sebagai media komunikasi: melahirkan emansipasi dan liberasi.