Rumah panggung Betawi: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 1:
[[Berkas:Tampak depan Rumah si Pitung Marunda.jpg|jmpl|Tampak depan Rumah si Pitung atau sering disebut Rumah Tinggi di Kelurahan [[Marunda, Cilincing, Jakarta Utara|Marunda]] [[Kota Administrasi Jakarta Utara|Jakarta Utara]]. Merupakan rumah adat panggung khas Betawi di wilayah pesisir.|al=]]'''Rumah Panggung Betawi''' merupakan salah satu jenis struktur hunian tradisional etnik Betawi yang lantainya diangkat dari tanah menggunakan tiang-tiang kayu dengan alasan menyesuaikan kondisi lingkungan tempat rumah itu didirikan.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=50 : “. Struktur rumah Betawi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu rumah darat dan rumah panggung ..."}}{{Sfn|Mustika|(2008)|p=13-14 : “Masyarakat Betawi sebenarnya tinggal di habitat yang beragam, dari pesisir hingga pedalaman. Bahkan, saat ini tinggal di wilayah urban padat penduduk di tengah kota Jakarta. Inilah yang menyebabkan rumah panggung bukan satu-satunya sistem rumah tradisionalnya. Arsitektur rumah Betawi juga mulai mengenal rumah "darat” ..."}}{{Sfn|Sardjono|(2006)|p=24 : “Secara umum, bentuk panggung dibuat dengan mengangkat lantai rumah dari tanah ..."}}{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=43: “Di atas fondasi umpak terdapat tiang kayu sebagai sako guru. Kayu yang digunakan biasanya pohon yang ada di sekitar rumah, seperti pohon nangka, pohon kecapi, dan pohon rambutan ..."}} Pemilihan konsep rumah panggung pada masyarakat Betawi utamanya dikarenakan faktor keadaan alam setempat.{{Sfn|Suwardi|(2009)|p=14 : “. Arsitektur tidak terlepas dari keadaan masyarakat yang menciptakannya maupun keadaan lingkungan yang mempengaruhinya ..."}}{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=15 : “Sebenarnya penggunaan kolong pada rumah Betawi tidak semata-mata berdasarkan pembagian wilayah Betawi pesisir, tengah dan pinggiran semata, tetapi lebih dikarenakan keadaan alam setempat ..."}}{{Sfn|Ruchiat, dkk|(2003)|p=109 : “Yang dimaksud dengan arsitektur di sini, ialah gaya bangunan sebagai salah satu bentuk hasil kebudayaan suatu masyarakat yang dipergunakan untuk berlindung dari pengaruh cuaca atau lingkungan hidupnya ..."}}[[Berkas:Rumah Panggung Betawi di Kampung Marunda Pulo.jpg|jmpl|Rumah Panggung Betawi di Kampung Marunda Pulo [[Kota Administrasi Jakarta Utara|Jakarta Utara]], salah satu rumah di Betawi Pesisir yang masih tersisa. Tidak terawat karena ditinggalkan penghuninya.|al=]]Rumah Panggung Betawi biasanya dibangun di wilayah [[pesisir]] yang berawa dan di [[daerah aliran sungai]].{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=50 :"Berbeda dengan rumah panggung yang struktur bangunannya harus menyesuaikan dengan kondisi alam di sekitarnya yang dekat dengan air, baik laut maupun sungai ..."}} Di wilayah pesisir, panggung dibuat dengan alasan mengantisipasi air laut pasang, seperti pada Rumah si Pitung yang terletak di Marunda Pulo, [[Kota Administrasi Jakarta Utara|Jakarta Utara]].{{Sfn|Salim|(2015)|p=397 : “Di wilayah Betawi terdapat rumah tradisional yang berkolong tinggi, seperti rumah Si Pitung di Marunda. Atap berbentuk bapang, joglo, dan sebagainya ..."}}{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=15 : “Rumah Betawi Pesisir umumnya berkolong tinggi untuk menghindari air laut pasang..."}}{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=16 : “Bila berada di dekat aliran sungai, maka rumah Betawi Pinggiran akan berkolong rendah, tetapi akan tidak berkolong bila jauh dari sungai ..."}} Sedangkan pada daerah aliran sungai penggunaan konsep panggung adalah untuk menghindari air sungai yang meluap{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=26 : “Hanya saja fungsinya bukan untuk mengikat ternak, tetapi untuk menghindari air sungai yang meluap ..."}} atau sekedar melanjutkan tradisi mereka sebagai masyarakat komunitas sungai.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=15 : “Jadi fungsi kolong yang rendah tersebut hanya sekedar melestarikan sisa-sisa budaya rumah sungai tersebut ..."}} Ada juga hunian Betawi di pinggiran [[Daerah Khusus Ibukota Jakarta|Jakarta]] yang rumahnya berpanggung karena alasan keamanan untuk penghuninya, mengingat dahulu di lingkungan mereka berkeliaran binatang-binatang pengganggu.{{Sfn|Nur|(2016)|p=20 : “Alasannya, biasanya adalah faktor keamanan hutan dan lingkungan yang dahulu masih banyak dihuni oleh binatang pengganggu, membuat kearifan masyarakat tradisional mengakalinya dengan bentuk rumah panggung ..."}}
Berbagai etnis [[Nusantara]] dan bangsa datang dan menetap di [[Batavia]]. Mereka membawa pengaruh kebudayaannya, termasuk arsitektur hunian etniknya masing-masing. Para penduduk waktu itu banyak mengadopsi rumah-rumah etnik yang dibawa pada pendatang tadi. Jadilah rumah etnik Betawi sebagai rumah yang unik. Disebut unik karena rumah orang Betawi mengadopsi beragam pengaruh yang dibawa oleh etnis dan bangsa tadi. Pengaruh-pengaruh tersebut bisa dilihat dalam konstruksi, konsep panggung, tata ruang, bentuk atap, jendela, ragam hias dan lain-lain.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=17: “Lambat laun, dengan semakin banyak dan membaurnya penduduk maka secara umum arsitektur rumah yang dibangun memiliki persamaan, dengan mengadopsi ciri khas arsitektur rumah asal masing-masing. Dengan demikian rumah etnik khas Betawipun terbentuk ..."}}
== Latar belakang ==
Baris 33:
[[Berkas:Jendela berbentuk kubah.jpg|jmpl|Jendela tanpa daun menyerupai bentuk kubah masjid pada bagian belakang Rumah si Pitung. Merupakan pengaruh kebudayaan Arab|al=]]
* '''Arab.'''
[[Berkas:Besi tempa peninggalan belanda.jpg|jmpl|Konsol besi melengkung pada bagian depan Rumah si Pitung sebagai ornamen dekoratif, juga struktur penyangga atap. Diadopsi dari arsitektur Belanda]]
* '''Belanda'''. Bangsa Belanda mulai berkuasa di Batavia sejak tahun 1602 hingga 1942.{{Sfn|Majid|(1995)|p=88: “Sejak Batavia dikuasai oleh Belanda (1619) timbul perlawanan-perlawanan dari pengikut Pangeran Jayakarta Wijayakrama ..."}}{{Sfn|Saelan|(2008)|p=21: “Pada tanggal 8 Maret 1942, pemerintah Hindia Belanda yang berpusat di Batavia menyerah tanpa syarat kepada Letnan Jenderal Imamura ..."}}
=== Pengaruh lainnya ===
[[Berkas:Gigibalang2.jpg|jmpl|Motif ''gigi balang'' pada ''lipslang'' atap di salah satu toko ''furniture'' Betawi yang tersisa di wilayah Jakarta Timur]]
Pengaruh lain yang memperkaya arsitektur rumah etnik Betawi datang dari kebudayaan Melayu, Bugis, dan masih banyak lagi. Pengaruh budaya Melayu terlihat pada motif ''pucuk rebung'' yang biasanya ada pada ''lisplang''{{Efn|Lisplang merupakan bagian dari struktur bagian atap rumah yang dipasang pada bagian ujung atap. Selain agar terlihat lebih rapi, lisplang juga membuat bangunan terlindung dari sinar matahari dan air hujan yang berpotensi mempercepat terjadinya kerusakan atap. Jika rumah bertingkat, lisplang berguna sebagai penanda dan pemisah antara lantai satu dengan lantai lainnya.({{harvnb|Kania|(2019)}})}} rumah-rumah orang Melayu yang bentuknya lancip mirip tombak
Pengaruh Bugis terlihat jelas pada rumah panggung si Pitung di kawasan Betawi Pesisir, Marunda Jakarta Utara. Tidak diketahui kapan persisnya Rumah si Pitung didirikan. Diperkirakan bangunan tersebut dibangun pada abad ke-20. Rumah yang sering disebut sebagai Rumah Tinggi Marunda ini bukanlah milik [[si Pitung]], melainkan milik Haji Saipudin, {{Sfn|Anom, dkk|(1996)|p=75. :" Rumah SI Pitung sering disebut Rumah Tinggi Marunda diperkirakan dibangun pada abad ke-20. Dahulu rumah ini milik H. Syaifuddin, seorang pengusaha Sero ..."}} seorang [[Pedagang|saudagar]] kaya bandar ikan asal [[Kota Makassar|Makassar]]. Haji Saipuddin diyakini merupakan sahabat erat si Pitung. Pitung ditengarai hanya beberapa kali singgah di rumah itu (diperkirakan pada dekade 1890-an<ref>{{Cite web|url=https://megapolitan.kompas.com/read/2018/05/12/09465991/mempelajari-sejarah-rumah-si-pitung-rumah-yang-tak-pernah-dihuni-si|title=Mempelajari Sejarah Rumah Si Pitung, Rumah yang Tak Pernah Dihuni Si Pitung...|last=Ramadhan|first=Ardito|date=12 Mei 2018|website=kompasonline|access-date=15 April 2019}}</ref>). Singgahnya si Pitung terakhir kali adalah dalam rangka bersembunyi dari kejaran tentara [[Hindia Belanda|Belanda]] dengan tuduhan merampok.<ref name=":2">{{Cite web|url=https://www.merdeka.com/khas/kisah-rumah-pitung-di-marunda-mencari-sejarah-pitung-4.html|title=Kisah Rumah Pitung di Marunda|last=Silalahi|first=Laurel Benny Saron|date=14 Maret 2016|website=merdekaonline|access-date=16 April 2019}}</ref>
== Arsitektur ==
Jika dilihat dari strukturnya, rumah etnik Betawi bisa dibedakan menjadi dua jenis, yakni rumah darat dan rumah panggung.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=50 : “. Struktur rumah Betawi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu rumah darat dan rumah panggung ..."}}. Rumah darat atau rumah Depok menunjuk pada lantainya yang menempel langsung ke tanah (darat).{{Sfn|Ruchiat, dkk|(2003)|p=111 : “Rumah yang beralaskan tanah yang diberi lantai tegel atau semen (sering juga disebut rumah Depok) ..."}}
Pada umumnya arsitektur rumah masyarakat Betawi tidak memiliki bentuk bangunan yang khas. Cara membuat bangunannya pun hampir mirip dengan daerah-daerah lain di [[Nusantara|Nusantara:]] Ada yang menyerupai gaya bangunan Jawa, Sunda, Melayu bahkan bangunan [[Eropa]], tetapi dalam bentuk yang sederhana. Yang membuat rumah tradisional Betawi berbeda dengan daerah-daerah yang disebutkan tadi adalah detail dan peristilahannya.{{Sfn|Ruchiat, dkk|(2003)|p=108 : “Masyarakat Betawi pada umumnya tidak memiliki gaya bangunan yang khas ..."}}
=== Orientasi ===
[[Berkas:Bagian belakang rumah si pitung berdekatan dengan sungai.jpg|kiri|jmpl|Dapur atau bagian belakang Rumah si Pitung yang membelakangii sungai]]''<nowiki/>''
Secara umum rumah tradisional Betawi tidak memiliki peraturan yang baku dalam penentuan arah yang disepakati warga Betawi sejak dulu hingga sekarang. Tidak seperti etnis Tionghoa dengan ilmu ''[[Fengsui|feng shui]]<nowiki/>n''ya atau pada etnis [[Suku Bali|Bali]] yang memiliki konsep ''sanga mandala'' dalam tata letaknya dan berorientasi kepada arah mata angin. Orang Betawi tidak mengenal ketentuan seperti kedua etnis tadi. Yang menjadi patokan buat mereka hanyalah fungsi dari orientasi bangunan itu sendiri. Orientasi bangunan ditentukan, misal, dengan alasan kemudahan mencapai jalan atau sekedar menyesuaikannya dengan kebutuhan.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=33 : “Pola tapak rumah Betawi sangat terbuka, dalam artian masyarakat Betawi tidak mengenal ilmu feng shui dalam mendirikan rumah ..."}}{{Sfn|Moechtar, dkk|(2012)|p=141 : “Rumah tradisional Betawi dapat dikatakan tidak memiliki arah mata angin maupun orientasi tertentu dalam peletakannya ..."}}{{Sfn|Ruchiat, dkk|(2003)|p=109 : “Tata letak rumah orang Betawi tidak berorientasi terhadap arah mata angin, mereka lebih mengutamakan alasan-alasan praktis ..."}} Hunian Betawi Pesisir juga tidak mengikuti arah mata angin atau orientasi tertentu. Umumnya rumah panggung Betawi Pesisir menghadap ke darat dan membelakangi muara sungai.{{Sfn|Salim|(2015)|p=398 : “Di daerah pesisir kelompok-kelompok rumah umumnya menghadap ke darat dan membelakangi muara sungai namun tidak tampak perencanaan tertentu atau keseragaman dalam mengikuti arah mata angin atau orientasi tertentu ..."}} Pola pemukiman penduduk wilayah pesisir di [[Marunda, Cilincing, Jakarta Utara|Marunda]] berlaku seperti itu, tujuannya untuk mempermudah transportasi laut. Bagian belakang rumahnya ditempatkan dapur tidak jauh dari aliran sungai. Hal ini agar kegiatan masak yang membutuhkan air bisa berjalan efisien.{{Sfn|Mutholib, dkk|(1986/1987)|p=8: “Pola pemukiman Marunda pada umumnya terkonsentrasi dimuara sungai atau ditepian aliran sungai hal ini dilakukan untuk mempermudah transportasi laut. Penempatan denah rumah tegak lurus dengan alur sungai atau dengan kata lain membelakangi sungai ..."}}
''<nowiki/>''
''<nowiki/>''
Baris 70 ⟶ 72:
Rumah panggung Betawi Pinggir di Bekasi memiliki kesamaan seperti di daerah Pesisir Marunda. Boleh dikatakan Rumah si Pitung adalah prototipe rumah panggung Betawi Melayu (Bekasi) yang tersisa. Masyarakat Melayu Betawi merupakan masyarakat rawa sehingga konsep huniannya berpanggung. Namun, tidak semua rumah orang Betawi Melayu berpanggung. Karena mereka tinggal dan hidup di lingkungan yang beragam, dari pesisir hingga ke pedalaman. Artinya, orang Betawi Melayu juga mengenal Rumah Darat. Jadi pola arsitektur rumah Betawi Melayu bervariasi dari yang berprofesi sebagai nelayan di pesisir (berpanggung) sampai ke pedalaman yang bekerja sebagai petani (non panggung).{{Sfn|Nur|(2016)|p=17-18 : “Rumah panggung tradisional masyarakat Bekasi memiliki kesamaan seperti di daerah Marunda. tak jauh dari Cilincing, Jakarta Utara, terdapat sebuah rumah panggung yang bersejarah ..."}}
Namun, berbeda dengan Rumah di Pesisir yang berpanggung karena faktor banjir atau air pasang saja, pada Rumah Panggung di Bekasi selain menghindari banjir, konsep panggung dipilih karena faktor keamanan. Hal ini mengingat Bekasi dahulunya masih hutan dan masih banyak dihuni binatang-binatang berbahaya.{{Sfn|Nur|(2016)|p=20 : “Alasannya, biasanya adalah faktor keamanan hutan dan lingkungan yang dahulu masih banyak dihuni oleh binatang pengganggu, membuat kearifan masyarakat tradisional mengakalinya dengan bentuk rumah panggung ..."}} Pengangkatan lantai rumah pada rumah panggung Betawi dimaksud juga untuk mengaplikasikan ''Balaksuji'' (konstruksi tangga) yang memiliki nilai filosofis penting bagi orang Betawi. Konstruksi tangga jarang ditemui pada rumah-rumah Betawi yang tidak berpanggung.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=66 : “Balaksuji adalah konstruksi tangga pada rumah Betawi ..."}}
=== Atap ===
[[Berkas:Konstruksi atap.jpg|kiri|jmpl|Konstruksi atap rumah Betawi di wilayah pesisir]]
Atap rumah Masyarakat Betawi Pesisir ada yang berbentuk atap Rumah Bapang (atau Kebaya), Joglo, dan lain-lain.<ref name=":4">{{Cite web|url=http://encyclopedia.jakarta-tourism.go.id/post/Rumah-Betawi|title=Rumah Betawi|last=|first=|date=|website=ensiklopediajakartaonline|access-date=16 April 2019}}</ref> Hal demikian menunjukkan bahwa secara umum pilihan pola atap pada rumah Betawi tidak terlalu penting. Terdapat tiga jenis pola atap rumah Betawi. Walaupun bentuknya berbeda-beda, tetapi secara umum ketiganya mempunyai kesamaan dalam hal bahan berasal dari [[Nangka|kayu nangka]] sebagai konstruksi utama kuda-kudanya.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=52: “Walaupun memiliki bentuk atap yang berbeda-beda, tetapi secara umum ketiganya memiliki kesamaan, yaitu menggunakan bahan yang berasal dari kayu nangka sebagai konstruksi utama kuda-kuda ..."
Ruchiat, dkk}}
* '''Atap Rumah Gudang'''. Pada rumah Gudang bentuk atapnya ada yang berbentuk [[Atap pelana|pelana]] dan ada yang berupa perisai{{Efn|Atap limas dikenal juga dengan istilah atap perisai. Atap model ini merupakan penyempurnaan dari bentuk atap pelana yang terdiri dari dua bidang miring berbentuk trapesium. ({{harvnb|Kania|(2018)}})}}, yang tersusun dari kerangka kuda-kuda dari depan ke belakang. Di bagian depan diberi tambahan penahan berupa kayu atau besi. Hal ini agar teras depan terlindungi dari panas dan tampias air hujan. Struktur kuda-kuda tadi kemudian saling bertemu pada sebuah batang tegak yang oleh orang Betawi lazim disebut ''wider''. Sistem ''wider'' jarang ditemukan pada rumah etnik Indonesia lain. Yang pertama kali mengenalkan sistem ini adalah arsitek-arsitek Belanda yang membangun gedung dan rumah di Batavia.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=39: “Atap rumah gudang berbentuk pelana atau perisai. Struktur atap tersusun dari kerangka kuda-kuda penuh dari depan ke belakang ..."}}
* '''Atap Rumah Bapang (Atau Rumah Kebaya)'''. Atapnya berbentuk pelana. Namun, konstruksinya berbeda dengan atap rumah Gudang. Atap Bapang tidak merupakan pelana yang penuh sampai ke tepi. Sebagian atap rumah Bapang terbentuk oleh atap pelana yang ditekuk (biasa disebut ''sorondoy)'', sedangkan atap pelananya berada ditengah-tengah ruang. Ada juga rumah Kebaya yang bentuk atapnya perisai landai yang diteruskan dengan atap pelana yang lebih landai lagi terutama di bagian teras. Variasi lainnya, atap berbentuk pelana, tapi limpasan air berada di bagian samping.{{Sfn|Ruchiat, dkk|(2003)|p=111 : “Pada dasarnya atap rumah potongan Bapang adalah berbentuk pelana ..."}}.
* '''Atap Rumah Joglo'''. Pada rumah Joglo atapnya menjorok ke atas dan tumpul seperti rumah Joglo [[Jawa]]. Umumnya rumah Joglo dimiliki oleh golongan bangsawan atau [[Priayi|priyayi]]. Tetapi terdapat perbedaan dalam sistem konstruksi atapnya. Jika Rumah Joglo di Jawa menggunakan konstruksi tiang penopang (''soko guru'') untuk atap, maka Rumah Joglo di Betawi menggunakan struktur kuda kuda biasa.<ref name=":4" />{{Sfn|Fenny Leo, dkk|(2019)|p=11. :" Pada rumah Joglo dari atap disusun oleh sistem struktur kuda-kuda..."}}
Baris 84 ⟶ 86:
=== Pondasi ===
[[Berkas:Tiang pondasi Rumah Tinggi Marunda.jpg|jmpl|Pondasi umpak untuk menyokong tiang-tiang panggung pada Rumah si Pitung di Marunda]]
Rumah Betawi yang menggunakan konsep panggung struktur pondasinya menggunakan umpak, yaitu batu berbentuk persegi berukuran sekitar 20 cm x 25 cm. Di wilayah pesisir, umpak terbuat dari bahan-bahan seperti semen, pecahan karang, dan kerikil, mengingat mudah ditemukan di sekitar pantai. Umpak digunakan sebagai landasan tiang kayu sebagai ''soko guru'' yang berfungsi sebagai penahan beban struktur rumah dan penghuninya atau mengangkat lantai dari tanah. Fungsi umpak itu sendiri adalah untuk agar tiang-tiang tadi tidak mudah terperosok ke dalam tanah. Fungsi lainnya, untuk melindungi kayu dari serangan [[serangga]]. Rumah Si Pitung di Marunda menggunakan umpak pada pondasinya.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=46-47: “Rumah Betawi yang berbentuk panggung struktur fondasinya menggunakan umpak, yaitu batu berbentuk persegi berukuran sekitar 20 cm x 25 cm x 25 cm ..."}} Tiang-tiang pada rumah Betawi Panggung terbuat dari kayu. Kayu yang digunakan biasanya berasal dari pohon yang tumbuh di sekitaran rumah. Kayu yang dipilih adalah kayu [[Nangka|pohon nangka]], [[Kecapi (buah)|pohon kecapi]], dan kayu [[Rambutan|pohon rambutan]].{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=43: “Kayu yang digunakan biasanya pohon yang ada di sekitar rumah, seperti pohon nangka, pohon kecapi, dan pohon rambutan ..."}}
=== Tata ruang ===
[[Berkas:Teras rumah si pitung.jpg|jmpl|Beranda Rumah panggung di Marunda dengan jendela ''krapyak'' di sebelah kiri. Meja dan kursi (bisa juga diganti dengan ''tapang)'']]
Walaupun bervariasi, pada umumnya tipologi rumah Betawi memiliki kesamaan baik dalam hal material, struktur bangunan, maupun pengorganisasian tata ruangnya. Jika dilihat dari struktur organisasi ruangannya, rumah-rumah Betawi secara umum terdiri dari teras (beranda) yang luas dan dilengkapi ''paseban'', ruang dalam, kamar tidur dan dapur.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=45: “Walaupun rumah Betawi sangat variatif, secara umum tipologi rumah Betawi memiliki kesamaan dalam hal material, struktur bangunan, serta organisasi ruangnya ..."}} Masing-masing ruangan terkadang merupakan satu bagian bangunan yang memiliki pola atap sendiri-sendiri, jika si pemilik rumah dari kalangan orang berada. Akan menggunakan satu pola atap untuk menaungi ketiga ruang jika berasal dari kalangan biasa saja.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=34: “Masing-masing zona terkadang merupakan satu bagian bangunan dengan pola atap tersendiri. Namun, ada juga yang menggunakan satu pola atap untuk menaungi ketiga zona ..."}}
Pembagian ruang rumah etnik Betawi, khususnya yang berpanggung, dipengaruhi oleh budaya Sunda dan Jawa. Hanya saja berbeda dalam hirarkinya. Ruang-ruang pada rumah adat Sunda dan Jawa melambangkan hirarki antara laki-laki dan perempuan. Pada rumah Betawi hirarki jenis kelamin tersebut tidak diberlakukan. Hal demikian bisa dilihat dari kamar tidur anak perempuan pada rumah Betawi yang posisinya berada di depan.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=23 : “Selain itu, pembagian rumah dibagi menjadi tiga kelompok ruang, yaitu ruang balakang, tengah, dan depan. Hal itu melambangkan hirarki antara laki-laki dan perempuan yang terdapat dalam budaya Sunda dan Jawa yang kemudian diadaptasi oleh sebagian rumah etnik Betawi, meskipun tidak terlalu mutlak ..."}}
Baris 95 ⟶ 97:
Beranda yang luas menggambarkan sifat orang Betawi yang kekeluargaan, keterbukaan, keramahan, serta selalu menjaga keharmonisan dengan tetangga.{{Sfn|Tanjung|(2018)|p=11. :" di bagian teras ini suku Betawi menerima tamu sekaligus bersantai ..."}} Dahulu biasanya keluarga Betawi memiliki banyak anak dan memiliki kecenderungan tinggal saling berdekatan dengan saudara mereka. Teras yang luas dibutuhkan untuk tempat berkumpul (biasanya pada sore hari) atau bisa juga sebagai tempat untuk arisan keluarga.{{Sfn|Adi|(2010)|p=31 : “Terasnya juga sudah tidak ada lagi yang lebar, padahal teras orang Betawi tempo dulu lebar-lebar ..."}}
Dari beranda masuk ke bagian tengah atau ruang inti rumah Betawi. Di dalamnya terdapat ruang tamu dan kamar-kamar yang sifatnya ''privat''. Kamar tidur ada yang berbentuk kamar tertutup dan ada pula yang terbuka tanpa dinding pembatas, sehingga bercampur fungsinya menjadi ruang makan.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=33: “Bagian tengah adalah bangunan inti. Di dalamnya terdapat ruang tamu dan kamar-kamar yang sifatnya privat ..."}} Bagian belakang merupakan dapur dan ''padasan''. Dapur atau yang biasanya disebut ''serondoyan'' adalah tempat memasak serta berfungsi sebagai tempat penyimpanan alat-alat pertanian serta kayu bakar. Sementara ''padasan'' merupakan tempat diletakkannya sumur timba, tempat mencuci pakaian kotor dan mengambil air wudhu.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=34: “Yang terakhir adalah bagian belakang, yang terdiri dari dapur dan padasan ..."}}
=== ''Balaksuji'' ===
Baris 106 ⟶ 108:
=== Material ===
[[Berkas:Lantai rumah si pitung.jpg|kiri|jmpl|Lantai kayu jati Rumah si Pitung]]
Material rumah etnik Betawi tempo dulu biasanya berasal dari bahan-bahan yang tumbuh di lingkungan sekitar mereka, seperti kayu sawo. kayu nangka, bambu, kayu kecapi, kayu cempaka, juk, dan [[rumbia]].{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=34: “Bahan-bahan material bangunan etnik Betawi tempo dulu adalah bahan alami yang terdapat di alam sekitar, seperti kayu sawo. kayu nangka, bambu, kayu kecapi, cempaka, juk, dan rumbia ..."}}
Rangka rumah Betawi Pesisir memakai kayu jati atau [[Shorea|kayu meranti]]. [[Durian|Kayu duren]] dipakai untuk membuat lantai rumah, sedangkan [[Rasamala|kayu rasamala]] dan [[Kecapi (buah)|kayu kecapi]] dipasang untuk tiang-tiang panggung. Untuk bangunan utama dipakailah kayu, sedangkan bangunan tambahan memakai bambu. Bambu juga digunakan untuk membuat langit-langit rumah. Sedangkan genteng merah disusun atau dipasang sebagai atap rumah.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=73 : “Sebenarnya struktur dan kekuatan kayu yang berasal dari pohon nangka hampir sebanding dengan pohon jati sehingga pohon nangka kerap dijadikan pilihan utama sebagai material pembuatan rumah ..."}}
|