Gerakan Jogja Independent: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika
LaninBot (bicara | kontrib)
k walikota → wali kota
Baris 4:
Joint awal mula didirikan oleh tujuh orang yang hampir seluruhnya adalah seniman. Ke-7 orang tersebut adalah Edi Purjanto dan Ong Hariwahyu yang merupakan seniman dan penggerak masyarakat kebudayaan, Grek Wuryanto yang merupakan pengajar di [[Universitas Kristen Duta Wacana]], Rifki Fauzi dan Arif Budiman yang merupakan aktivis di bidang ''advertising'', Herman Dody yang merupakan seorang [[motivator]] dan konsultan di bidang [[komunikasi]], serta [[Yustina Neni Nugraheni|Yustina Neni]] yang juga merupakan seorang seniman. Persoalan strategis yang menjadi awal mula munculnya Gerakan Joint adalah mulai menjamurnya bangunan-bangunan hotel baru di [[Yogyakarta]] yang diirngi oleh dampak lanjutan seperti macet akibat semakin banyaknya jumlah kendaraan yang berlalu lalang. Selain itu, munculnya Gerakan Joint juga dilatarbelakangi oleh makin menjamurnya bangunan pasar-pasar modern seperti ''mall'' dan pusat perbelanjaan lain di [[Yogyakarta]]. Hal itu dinilai sebagai bentuk ketidakberpihakan pemerintah kepada rakyat kecil. Para penguasa dan pemangku kepentingan dianggap banyak melayani partai politik pengusung dan pendukungnya, ketimbang melayani masyarakat. Hal itu membuat Gerakan Joint lahir sebagai bentuk “perlawanan” dalam pemilihan kepala daerah. Secara khusus, Gerakan Joint muncul bersamaan dengan Pemilihan Wali [[Kota Yogyakarta]] pada tahun 2012. Sebagaimana namanya “Jogja Independent”, gerakan ini adalah non-partisan dan tidak mengenal istilah kontrak [[politik]] sebagaimana “percaturan” [[politik]] yang umum dikenal oleh masyarakat.<ref name=":2">JOINT. 2016. Kandidat: Kulonuwun Warga Jogja. Diakses melalui www.jogjaindependent2017.com</ref>
 
Gerakan Joint mengandalkan nilai-nilai seperti moral, edukasi, dan [[politik]] yang mertabat. Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, Gerakan Joint berupaya untuk mengusung calon kepala daerah (walikotawali kota dan wakil walikotawali kota) melalui jalur independen. Hal itu dilakukan untuk meminimalisir kontrak politik antara calon kepala daerah. Mereka berusaha untuk mengurangi dominasi elit yang banyak berpihak pada partai [[politik]] pengusung akibat adanya kontrak [[politik]] itu. Tanpa ada kontrak politik alias independen, keberpihakan kepala daerah yang terpilih akan lebih banyak berpihak pada masyarakat umum.<ref>JOINT. 2016. Bakal Calon Walikota Joint. Diakses melalui www.jogjaindependent2017.com</ref>
 
Dalam perkembangannya, ke-7 insiator Gerakan Joint berupaya untuk mengajak sebanyak mungkin pihak untuk ikut bergabung dalam Joint. Mereka bersama-sama ingin mengusung calon walikotawali kota tanpa melalui jalur [[partai politik]]. Setelah beberapa waktu, terdapat 30 orang pertama yang dinyakatan sebagai punggawa Gerakan Joint. Mereka mendeklarasikan dirinya sebagai bagian dari gerakan itu di Code, Jetis, [[Yogyakarta]]. Meskipun demikian, terdapat pihak-pihak lain yang turut mendukung Gerakan Joint, namun tidak mendaftarkan dirinya secara formal sebagaimana ke-30 orang tersebut. Mereka yang berada di luar gerakan berkontribusi dengan memberikan dukungan finansial kepada Gerakan Joint.<ref name=":2" />
 
== Gambaran Umum ==
Baris 21:
Selain merumuskan visi dan misi tersebut, Gerakan Joint juga merumuskan beberapa prinsip kepemimpinan dan agenda kerja kepemimpinan yang harus dimiliki oleh calon yang hendak diusung, baik sebelum maupun setelah berhasil terpilih sebagai pemangku kepentingan di [[Yogyakarta]]. Prinsip kepemimpinan Gerakan Joint adalah berani visioner, berani jujur dan terbuka, berani melawan korupsi, berani memihak kepentingan rakyat, berani kreatif dan berbudaya. Sementara itu, agenda kerja kepemimpinan Joint meliputi kepemimpinan etis, tata ruang dan [[lingkungan]], [[perempuan]] dan [[kesehatan masyarakat]], keuangan publik dan perbaikan birokrasi, [[pendidikan]] yang membebaskan, antikorupsi dan penegakkan [[hukum]], seni dan [[politik]] seni, serta hubungan luar negeri dan politik perkotaan.
 
Prinsip dan agenda kepemimpinan yang dirumuskan oleh Gerakan Joint akan menjadi pedoman dan pegangan bagi mereka untuk menyeleksi calon yang hendak disaring. Selain itu, mereka juga telah membentuk tim konvensi sendiri untuk bertugas menyeleksi nama-nama yang layak untuk dijadikan kandidat calon walikotawali kota yang akan diusung oleh Joint. Tim komite konvensi tersebut terdiri dari lima orang yang memiliki latar belakang profesi berbeda-beda, mulai dari [[Busyro Muqoddas]] yang merupakan seorang praktisi hukum, Bambang Eka Cahya Widodo yang merupakan akademisi sekaligus ahli pemilu, [[Herry Zudianto]] yang merupakan mantan Walikota [[Yogyakarta]], Yustina Neni yang merupakan seorang [[seniman]], serta Suparman Marzuki yang merupakan praktisi hukum sebagaimana Busyro Muqoddas. Tim komite konvensi tersebut kemudian mencari anggota tim lainnya yang dapat bergabung secara sukarela untuk menjadi tim seleksi. Mereka yang bergabung akan bertugas untuk menganalisis karakter kepemimpinan beserta visi dan misi para kandidat. Terbentuklah ke-9 tim seleksi yang seluruhnya juga berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Mereka adalah [[Busyro Muqoddas]] sebagai ketua tim, Suparman Marzuki seorang spesialis di bidang [[hukum]], [[Zainal Arifin Mochtar]] seorang spesialis bidang [[korupsi]], Bobi Setiawan seorang spesialis bidang tata ruang dan lingkungan, Budi Wahyuni seornag spesialis bidang perempuan dan kesehatan, Achmad Nurmandi dan Herry Zudianto seorang pakar bidang anggaran publik dan perbaikan birokrasi, ST Sunardi seorang pakar bidang hubungan luar negeri, politik perkotaan, seni dan politik seni, Robby Kusumahara seorang pakar bidang usaha, dan Edi Suadi Hamis seorang pakar bidang [[ekonomi]].<ref name=":2" />
 
Sebelum maju ke tahap seleksi yang dilakukan oleh ke-9 tim penyeleksi tersebut, para calon kandidat harus mendaftarkan diri terlebih dahulu dengan menyerahkan syarat [[administrasi]] sesuai ketentuan [[Komisi Pemilihan Umum]], seperti ''curriculum vitae'', visi dan misi, [[Kartu Tanda Penduduk]], dan kesediaan untuk mengikuti proses kandidasi dalam Gerakan Joint. Gerakan ini tidak hanya membuka diri pada seluruh lapisan masyarakat untuk mencalonkan diri menjadi calon walikotawali kota, melainka juga kepada masyarakat yang bersedia untuk mendukung calon-calon Gerakan Joint melalui perekrutan terbuka.
 
Dalam rangka menyukseskan gerakannya, Joint mengoptimalkan fungsi media sosial untuk menjaring dukungan publik. Beberapa kalangan bahkan ikut mendukung Joint secara finansial melalu pemberian donasi dan lain sebagainya. Hal itu menjadi penting karena Gerakan Joint memiliki mekanisme pendanaan yang berbeda dengan [[partai politik]]. Di dalam gerakannya, Joint tidak memberlakukan iuran bulanan ataupun cara-cara transaksional lain. Hal itu rupanya cukup ampuh untuk menarik minat masyarakat untuk bergabung dengan Gerakan Joint. Kelemahannya, mekanisme seperti itu menjadikan gerakan ini kurang berkelanjutan karena tidaka da timbal balik yang jelas yang bisa diberikan kepada masyarakat, selain harapan akan perbaikan di berbagai lini setelah calon walikotawali kota usungan Joint terpilih.<ref name=":2" />
 
Lebih jauh lagi, apabila digambarkan dengan jelas, di dalam struktur Gerakan Joint terdapat berbagai aktor yang menjalankan fungsinya masing-masing. Aktor-aktor tersebut terdiri dari tim inisiator yang merupakan 7 orang pertama penggagas Gerakan Joint; tim seleksi yang terdiri dari 5 orang komite konvensi dan 9 anggota tim seleksi; serta kandidat atau calon [[Wali kota]] dan para relawan yang merupakan tim sukses serta masyarakat umum. Dari kelompok aktor-aktor tersebut, dapat diklasifisikan bahwa tim inisiator dan tim seleksi adalah sekelompok orang yang dipilih melalui perekrutan tertutup atau ''close recruitment''. Mereka terpilih karena hasil diskusi atau ''rembug'' mengenai keresahan yang sama-sama mereka alami serta kapasitas dan kualitas mereka menyoal bidang-bidang terkait. Sementara itu, aktor yang tergolong dalam kandidat dan relawan terpilih melalui proses perekrutan terbuka atau ''open recruitment''. Gerakan Joint sangat terbuka dengan berbagai lapisan masyarakat untuk bergabung ke dalam kelompok tersebut.<ref name=":3" />
Baris 43:
Dalam perkembangannya, proses pengumpulan KTP untuk Gerakan Joint juga mengalami beberapa permasalahan. Permasalahan utamanya adalah berkaitan dengan penurunan jumlah relawan mereka. Kebanyakan relawan Joint merupakan [[mahasiswa]] aktif. Lambat laun, aktivitas mereka dalam mendukung Joint menjadi menurun karena beberapa faktor, seperti banyaknya tugas kuliah, [[Kuliah Kerja Nyata]] (KKN), ujian semester, dan lain sebagainya. Pada saat itu, terdapat pula calon kandidat Joint yang berasal dari dunia kemahasiswaan, yaitu Emmy Yuniarti Rusadi dari Fakultas Teknik [[Universitas Gadjah Mada]]. Sebelum proses pencalonan, banyak kalangan mahasiswa yang mendukung dia dan secara tidak langsung turut mendukung Gerakan Joint. Namun demikian, setelah ia dinyatakan tidak lolos dan dikalahkan oleh pasangan [[Garin Nugroho]] dan Rommy Haryanto, seketika dukungan dari kelompok mahasiswa terhadap Gerakan Joint menjadi sangat berkurang.<ref name=":1" />
 
Di tengah pasang surut dukungan tersebut, Gerakan Joint masih terus berjuang untuk mewujudkan visi dan misi yang telah mereka rancang. Meskipun demikian, pada akhir periode pengumpulan KTP, Gerakan Joint hanya mampu mengumpulkan 4.027 KTP yang membuatnya tidak mampu mengusung calonnya, yaitu [[Garin Nugroho]] dan Rommy Haryanto, maju dalam Pemilihan Walikota [[Yogyakarta]] 2017. Kemudian, kandidat calon walikotawali kota [[Yogyakarta]] yang bertarung hanya ada dua pasang, yang keduanya berasal dari partai [[politik]]. Hal itu menunjukkan bahwa Gerakan Joint belum berhasil merealisasikan visi dan misinya. Bahkan calon pasangan walikotawali kota yang melaju pun keduanya berasal dari partai politik.<ref>{{Cite news|url=http://jogja.tribunnews.com/2016/07/21/braeking-news-joint-akhirnya-tamat-sebelum-berperang-di-pilkada-yogyakarta|title=BREAKING NEWS: Joint Akhirnya Tamat Sebelum 'Berperang' di Pilkada Yogyakarta - Tribun Jogja|newspaper=Tribun Jogja|language=id-ID|access-date=2017-12-15}}</ref>
 
Menurut penelitian Rizka (2017), kegagalan Joint dalam pemilihan walikotawali kota menunjukan beberapa sebab. Sebab tersebut yang menjadi asal muasal tidak tercukupinya jumlah [[KTP]] minimal yang harus dikumpulkan oleh Joint. Pertama, jumlah relawan Joint masih kurang, bahkan cenderung dianggap terlalu sedikit. Pendanaan yang dimiliki juga jauh dari kata cukup.<ref name=":1">Rizka, Desiana. 2017. Persepsi Pemuda tentang Gerakan Jogja Independent (Joint) dalam Pelaksanaan Pilwalkot Kota Yogyakarta Tahun 2017 dan Implikasinya terhadap Ketahanan Politik Pemuda. Tesis. Program Studi Ketahanan Nasional Universitas Gadjah Mada: Tidak Dipublikasikan</ref> Sebagaimana diketahui, Joint harus mengumpulkan [[KTP]] lebih dari 26.000 untuk memastikan calonnya, yaitu Garin dan Rommy, dapat mengikuti ajang pemilihan walikotawali kota. Sementara itu, Gerakan Joint hanya memiliki 15 orang relawan dengan target atau beban kerja yang cukup berat. Hal itu diakui menjadi penyebab semakin sedikitnya jumlah relawan yang bekerja dengan Gerakan Joint. Para relawan tersebut tidak memperoleh tunjangan [[transportasi]] dan [[akomodasi]]. Penyebabnya tentu saja faktor pendanaan mereka yang tidak berkelanjutan. Menurut penelitian yang sama juga disebutkan bahwa tim inisiator dan tim penyeleksi di Gerakan Joint juga kurang melibatkan para relawan dalam pengambilan keputusan. Mereka kerap kali mengambil keputusan sendiri dan terkesan memisahkan antara relawan dan tim. Hal ini menimbulkan kurangnya ikatan emosional di antara mereka.<ref name=":1" />
 
Selain itu, penelitian Rizka (2017) juga menyebutkan bahwa faktor masyarakat yang kurang memiliki edukasi politik yang baik juga dinilai menjadi penyebabnya. Masyarakat masih menganggap bahwa [[politik]] tidaklah jauh dari uang.<ref name=":1" /> Masyarakat terlihat berani meminta uang secara terang-terangan kepada relawan Gerakan Joint yang sedang turun lapangan. Bahkan, ada juga masyarakat yang tidak mau tatap muka secara langsung dengan tim. Beberapa dari anggota masyarakat bahkan secara terang-terangan menutup pintunya ketika relawan atau tim Joint ingin mendatangi rumahnya. Selain kurangnya [[edukasi]] politik masyarakat, hal itu juga dapat dinikmati sebagai bentuk ketidakdekatan masyarakat dengan Joint serta kandidat yang hendak diusung oleh mereka. Bahkan, ketika Gerakan Joint melakukan peresmian posko, masyarakat sekitar juga tidak dilibatkan. Hal itu merupakan indikator bahwa Gerakan Joint belum cukup dekat dengan masyarakat.