Hak menentukan nasib sendiri: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Penggantian teks otomatis (-Perancis +Prancis)
LaninBot (bicara | kontrib)
k namun (di tengah kalimat) → tetapi
Baris 6:
 
== Varian interpretasi ==
Di dalam konteks masyarakat internasional yang semakin berkembang, beberapa masalah timbul dari prinsip menentukan nasib sendiri. Salah satu manifestasi menentukan nasib sendiri yakni menentukan nasib sendiri nasional, yang merupakan solusi terkait masalah teritorial yang kronis dalam [[hubungan internasional]], namuntetapi di lain pihak merupakan sumber ancaman bagi stabilitas teritorial.<ref name=":3" /> Mendekati abad ke-20, prinsip ini dapat berarti:<ref name=":1" />
# hak orang-orang dalam wilayah perbatasan tertentu untuk memilih bentuk pemerintahan mereka sendiri, atau mendapatkan kemerdekaan mereka dari tangan [[kolonial]].
# hak suatu kelompok etnis, bahasa, atau agama untuk mendefinisikan ulang batas-batas wilayah mereka agar memperoleh kedaulatan nasional yang terpisah, atau lebih sederhananya mendapatkan derajat [[otonomi]] dan bahasa atau identitas agama yang lebih besar, di dalam sebuah negara yang berdaulat.
Baris 26:
====== Praktik diskriminasi ======
[[Berkas:Čuvajte Jugoslaviju.jpg|jmpl|"Jaga/Lindungi Yugoslavia" (''Čuvajte Jugoslaviju''), variasi kalimat yang dianggap sebagai kalimat terakhir Raja Aleksander, dalam sebuah ilustrasi orang-orang [[Yugoslavia]] menarikan tarian bernama [[kolo]].]]
[[Kerajaan Serbia, Kroasia dan Slovenia]] (Kerajaan Yugoslavia) merupakan kasus yang menjadi simbol untuk praktik diskriminasi etnis. Terbentuk sehari sebelum Konferensi Perdamaian Paris, dan secara resmi dibentuk berdasarkan persamaan orang-orang yang berada di dalamnya, negara berbentuk kerajaan tersebut diakui oleh [[Entente Powers|''Entente Powers'']] (aliansi informal) beberapa bulan kemudian dengan penandatanganan [[Perjanjian Saint-Germain-en-Laye (1919)|Perjanjian Saint-Germain]]. Serupa dengan perjanjian lain yang mengakui negara-negara baru antara tahun 1919 dan 1923, dokumen dalam perjanjian Saint-Germain secara simultan mengatur perlakuan terhadap minoritas di dalam Kerajaan.<ref>Djokic, Dejan. Pasic & Trumbic : The Kingdom of Serbs, Croats and Slovenes. London: Haus, 2010.</ref> Penandatanganan perjanjian sebagai persyaratan pengakuan internasional terhadap Kerajaan bersifat kondisional, yakni apabila otoritas nasional kerajaan dapat menjamin bahwa persamaan individu dalam pemerintahan, dan pengakuan kelompok etnis yang berbeda dapat dihormati. Namun demikian, sementara delegasi nasional mendeklarasikan bahwa kerajaan tersebut seperti halnya terdiri dari satu orang, namuntetapi dengan tiga nama- [[Serbia]], [[Kroasia]], dan [[Slovenia]]- sensus terakhir yang dilakukan [[Austro-Hongaria]] pada tahun 1910 mengindikasikan bahwa di daerah yang termasuk wilayah negara baru tersebut, sekurangnya terdapat sembilan kelompok etnis berbeda yang hidup berdampingan disana.<ref name=":7" /> Setelah perpanjangan diskusi dalam konferensi perdamaian tersebut, pada akhirnya diputuskan bahwa empat minoritas diakui secara internasional, yaitu: orang-orang [[Bulgaria]], orang-orang [[Austria]], orang-orang [[Hongaria]], dan “orang-orang [[Muslim]],” meski tetap tidak ada kejelasan mengenai bagaimana hasil seleksi itu dibuat.<ref name=":7" /> Hasil langsung pengakuan politik yang tidak seimbang itu berdampak pada sering dikecualikannya pihak minoritas yang tidak diakui secara internasional, dari keikutsertaan penuh mereka dalam komunitas politik nasional.<ref name=":7" /> Konferensi Perdamaian Paris hanya menciptakan lebih banyak subkelompok yang tidak diberikan negara mereka sendiri, dan secara formal hanya diberikan jaminan untuk menjaga budaya mereka. Pemenang Perang Dunia I mensyaratkan negara-negara baru di Eropa Tengah dan Eropa Timur menerima kondisi tersebut agar dapat diakui, tetapi menolak untuk menerima kewajiban tersebut untuk diri mereka sendiri.<ref name=":4" /> Terobsesi oleh ide keseragaman nasional, negara-negara yang terbentuk setelah pemecahan kekaisaran itu mendirikan administrasi pemerintahan terpusat, dan melakukan [[denasionalisasi]] atau penghilangan hak kebangsaan terhadap orang-orang [[minoritas]].<ref>Claude, Inis. National Minorities an International Problem,. Cambridge: Harvard University Press, 1955.</ref> Selain itu, sebagaimana sejumlah [[petisi]] diterima oleh [[Liga Bangsa-Bangsa]] sejak tahun 1920an, praktik denasionalisasi tersebut seringkali disertai dengan penggunaan [[kekerasan]] oleh [[negara]] dan [[otoritas lokal]] sebagai bentuk [[intimidasi]]. Praktik-praktik diskriminasi telah dijadikan instrumen oleh pihak otoritas negara, dengan mengatasnamakan menentukan nasib sendiri dan hak minoritas.<ref name=":7" />
 
=== Periode ke-dua ===
Baris 32:
Periode ke-dua konsep menentukan nasib sendiri ditandai dengan berdirinya ''United Nation'' – UN ([[Perserikatan Bangsa-Bangsa]] – PBB) pada tahun 1945.<ref name=":6" /> Menentukan nasib sendiri [[kelompok etnis]], seperti yang didefinisikan dalam [[Konferensi Perdamaian Paris 1919|Konferensi Perdamaian Paris]], yang muncul dari [[Perang Dunia II]] ini relatif lebih lemah daripada akibat yang ditimbulkan oleh Perang Dunia I sebelumnya. Penerapan menentukan nasib sendiri yang dilakukan secara sistematik justru berakibat pada bencana yang terjadi secara tidak parallel.<ref name=":7" /> Para penganut [[nazisme]] dan [[fasisme]] telah menggunakan konsep menentukan nasib sendiri untuk menghilangkan kelompok minoritas dan merasionalkan [[pembunuhan]].<ref>Mazower, Mark. Dark Continent : Europe’s Twentieth Century. New York: A.A. Knopf : Distributed by Random House, 1999.</ref> Semakin meluasnya pandangan mengenai menentukan nasib sendiri muncul setelah beberapa dekade akibat sejumlah alasan tertentu, antara lain:<ref name=":4" />
# adanya ketegangan ekonomi dan politik yang menurunkan keinginan [[kekuatan Eropa]] untuk mempertahankan koloni/wilayah jajahan mereka.
# pertempuran [[perang dingin]] yang mengekspos [[kontradiksi]] klaim barat dalam membela kebebasan, namuntetapi pada saat yang sama mempertahankan kekuasaan di wilayah jajahan mereka.
# bahaya [[perang nuklir]] dan kepentingan yang saling menguntungkan di antara negara-[[negara adidaya]] dalam menopang supremasi mereka, menempatkan sebuah batas ketat pada derajat masing-masing negara [[Dunia Ketiga|dunia ketiga]] untuk meraih apa yang disebut sebagai prinsip ‘menentukan nasib sendiri’.<ref name=":3" />
# kegiatan para aktivis dalam memperjuangkan [[hak asasi manusia]] yang mendapat perhatian luas internasional.
Baris 47:
 
====== Dekolonialisasi ======
Transformasi besar terjadi pada tahun 1950an ketika delegasi dari negara dunia ketiga yang telah independen menggunakan PBB sebagai arena politik untuk menegakkan perkara menentukan nasib sendiri untuk orang-orang yang masih berada di bawah pemerintahan kolonial.<ref name=":7" /> Perang dingin turut memberikan dampak pula dengan batas tertentu terhadap proses dekolonialisasi.<ref name=":3" /> Dengan berakhirnya perang dingin, semakin banyak negara yang menagih hak untuk menentukan nasib sendiri, yang berarti mereka menginginkan negara bangsa mereka sendiri, atau beberapa tingkat otonomi di dalam negara bangsa lainnya.<ref name=":4" /> Pergerakan tersebut mengimbangi keinginan negara induk koloni, namuntetapi tetap memerlukan hingga sepenuh dekade, atau selama keseluruhan periode negosiasi ''UN Covenants on human rights'' (perjanjian PBB mengenai hak asasi manusia) untuk dapat mewujudkannya. Selama dekade tersebut, negara-negara pascakolonial berusaha mencangkok “hak menentukan nasib sendiri” menjadi norma hak asasi manusia.<ref name=":7" /><ref>Reus-Smit, Christian. Individual Rights and the Making of the International System, Cambridge: Cambridge University Press 2013.</ref>
 
Pada gilirannya, kelompok elit pribumi di dalam koloni mengatur untuk menangkap bahasa [[hak asasi manusia]] dalam menjustifikasi klaim mereka mengenai menentukan nasib sendiri dan persamaan. Pencapaian ini termaktub dalam ''1960 General Assembly’s Resolution 1514'' (resolusi 1514 majelis umum 1960), yang meminta penghentian kolonialisme. Selain permintaan menentukan nasib sendiri dan hak asasi manusia, Resolusi 1514 juga bermuara pada pembentukan serangkaian negara baru di [[Asia]] dan [[Afrika]].<ref name=":7" /> Naskah terkemuka pertama pada era [[Pascakolonialisme (hubungan internasional)|pascakolonialisasi]],<ref name=":5" /> sekaligus dokumen yang paling penting dalam mempromosikan hak untuk menentukan nasib sendiri, dan juga salah satu dokumen yang memberikan indikasi jelas mengenai makna menentukan nasib sendiri selama periode ke-dua ialah ''Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples'' (deklarasi pengabulan kemerdekaan terhadap negara jajahan dan orang-orang di dalamnya) oleh [[Majelis Umum PBB]] pada tahun 1960.<ref name=":6" /> Kriteria yang mendasari hak tersebut tidak termasuk pemilikan etnis, bahasa, atau budaya yang berbeda, namuntetapi menentukan nasib sendiri dalam dokumen tersebut merupakan istilah yang digunakan untuk dekolonialisasi. Pada kenyataannya terdapat empat prinsip yang menandai gagasan menentukan nasib sendiri selama periode dua ini, yaitu:<ref name=":6" />
# menentukan nasib sendiri hanya merujuk pada dekolonialisasi, dengan kolonialisme merupakan satu-satunya bentuk interferensi yang dapat menjamin pengaplikasian prinsip menentukan nasib sendiri.<ref name=":3" />
# tidak diterapkan pada orang-orang, tetapi pada wilayah.
Baris 114:
|}
[[Berkas:Burnt down house in northern Rakhine State (Moe Zaw-VOA).jpg|jmpl|Sebuah rumah yang dibakar di desa Rohingya di bagian utara [[Rakhine]] akibat adanya konflik sektarian pada Agustus 2017]]
Penerimaan menentukan nasib sendiri yang terlalu bermurah hati dapat berakibat pada fragmentasi dan meningkatnya intoleransi karena tidak diperlukan lagi adanya hidup berdampingan dengan damai.<ref name=":4" /> Sementara itu, tantangan utama pendefinisian menentukan nasib sendiri dengan mengeluarkan pemisahan diri dari dalam definisi, dapat digambarkan dengan situasi di [[Kosovo]] yang diatur oleh kekuatan/pihak berwenang PBB sejak berakhirnya kampanye pengeboman oleh [[NATO]] pada tahun 1999 sampai deklarasi kemerdekaan [[unilateral]] Kosovo pada Februari 2008.<ref name=":5" /> Kemerdekaan Kosovo diakui oleh hampir seratus negara hingga pertengahan tahun 2010, namuntetapi tidak oleh Serbia yang menetapkan Kosovo tetap merupakan bagian integral Serbia. Sebagian karena alasan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Kosovo antara tahun 1989 dan 1999 dan selama kampanye NATO, para pengamat Barat memberikan simpati terhadap klaim kemerdekaan yang dibuat Kosovo. Misalnya 22 negara anggota [[Uni Eropa]], Amerika Serikat, [[Australia]], dan Kanada di antara negara-negara lainnya mengakui kemerdekaan negara baru tersebut. Namun demikian, tidak ada yang menghubungkan keinginan pemisahan diri Kosovo secara spesifik dengan tingginya tingkat pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi disana, dan deklarasi kemerdekaan Kosovo itu sendiri teramati sebagai kasus khusus dari pemisahan non-konsensual Yugoslavia yang tidak dapat dijadikan pedoman untuk situasi lainnya.<ref name=":5" /> Kelompok tersebut berbagi [[suku]], [[bahasa]], serta karakteristik yang sama lainnya, namuntetapi hak menentukan nasib sendiri dalam hukum internasional, sebagaimana bertentangan dengan beberapa keterangan dan anjuran yang bersifat tidak mengikat, tidak memberikan hak khusus kepada kelompok-kelompok demikian yang terjadi di Kosovo.<ref name=":5" /> Di masa sekarang, keadaan yang kurang lebih serupa terjadi pada warga [[Rohingya]] di [[Myanmar]]. Selain anggapan bahwa warga Rohingya adalah pendatang di Myanmar, faktor yang menimbulkan konflik berkepanjangan ialah penghapusan Rohingya dari konstitusi (''Constitution of the Republic of the Union of Myanmar 2008''). Secara resmi otoritas Myanmar hanya mengakui 135 kelompok etnis berbeda, yang dikelompokan dalam delapan ras etnis nasional utama, yaitu [[Kachin]], [[Kayah]], [[Kayin]], [[Chin]], [[Mon]], [[Bamar]], [[Rakhine]], dan [[Shan]]. Dewan HAM PBB yang telah menyetujui resolusi untuk meluncurkan penyelidikan terhadap pemerintah Myanmar yang diduga kuat melakukan pelanggaran HAM dan pembersihan terhadap etnis Rohingya mendapat kecaman dan penolakan dari otoritas Myanmar yang menilai bahwa pembentukan misi pencari fakta internasional, bukan menyelesaikan masalah, namuntetapi justru akan semakin membakar konflik. Tantangan secara politik, teknis, dan proses yang ditunjukkan dalam situasi tersebut merupakan cerminan relatif sulit dipenuhinya pemenuhan hak untuk menentukan nasib sendiri.<ref name=":12" /> Terlepas dari problematika yang melingkupinya, klaim atas hak menentukan nasib sendiri tidak menjadi berkurang, dan diperlukan pengembangan yang lebih baik oleh komunitas internasional dalam menghadapi permintaan tersebut agar dapat menghindari tindakan kekerasan dan konflik yang merusak.<ref name=":4" /> Sampai definisi hak ini menjadi jelas, hak menentukan nasib sendiri tetap menjadi alat retorika yang dipergunakan kelompok-kelompok di dalam negara yang menginginkan kemerdekaan, otonomi, atau menginginkan kendali atas permasalahan yang secara langsung berhubungan dengan kepentingan mereka.<ref name=":5" />
 
== Lihat pula ==