Kesultanan Ternate: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
k namun (di tengah kalimat) → tetapi |
||
Baris 177:
Sultan Bayanullah wafat meninggalkan pewaris-pewaris yang masih sangat belia. Janda sultan, permaisuri Nukila dan Pangeran Taruwese, adik almarhum sultan bertindak sebagai wali. Permaisuri Nukila yang asal Tidore bermaksud menyatukan Ternate dan Tidore dibawah satu mahkota yakni salah satu dari kedua puteranya, Pangeran Hidayat (kelak [[Sultan Dayalu]]) dan pangeran Abu Hayat (kelak [[Sultan Abu Hayat II]]). Sementara pangeran Tarruwese menginginkan tahta bagi dirinya sendiri.
Portugal memanfaatkan kesempatan ini dan mengadu domba keduanya hingga pecah perang saudara. Kubu permaisuri Nukila didukung Tidore sedangkan pangeran Taruwese didukung Portugal. Setelah meraih kemenangan pangeran Taruwese justru dikhianati dan dibunuh Portugal. Gubernur Portugal bertindak sebagai penasihat kerajaan dan dengan pengaruh yang dimiliki berhasil membujuk dewan kerajaan untuk mengangkat pangeran Tabariji sebagai sultan. Tetapi ketika [[Sultan Tabariji]] mulai menunjukkan sikap bermusuhan, ia difitnah dan dibuang ke [[Goa]], [[India]]. Di sana ia dipaksa Portugal untuk menandatangani perjanjian menjadikan Ternate sebagai kerajaan [[Kristen]] dan [[vasal]] kerajaan Portugal,
== Pengusiran Portugal ==
Baris 202:
* Tahun 1635, demi memudahkan pengawasan dan mengatrol harga rempah yang merosot Belanda memutuskan melakukan penebangan besar–besaran pohon [[cengkih]] dan [[pala]] di seluruh Maluku atau yang lebih dikenal sebagai [[Hongi Tochten]] yang menyebabkan rakyat mengobarkan perlawanan. Pada tahun 1641, dipimpin oleh raja muda Ambon, Salahakan Luhu, puluhan ribu pasukan gabungan Ternate, [[Hitu]] dan [[Makassar]] menggempur berbagai kedudukan Belanda di Maluku Tengah. Salahakan Luhu kemudian berhasil ditangkap dan dieksekusi mati bersama seluruh keluarganya pada tanggal 16 Juni 1643. Perjuangan lalu dilanjutkan oleh saudara ipar Luhu, Kapita Hitu Kakiali dan Tolukabessi hingga 1646.
* Tahun 1650, para bangsawan Ternate mengobarkan perlawanan di Ternate dan Ambon, pemberontakan ini dipicu sikap [[Sultan Mandarsyah]] (1648-1650,1655-1675) yang terlampau akrab dan dianggap cenderung menuruti kemauan Belanda. Para bangsawan berkomplot untuk menurunkan sultan. Tiga di antara pemberontak yang utama adalah trio pangeran Saidi, Majira dan [[Kaicil Kalamata|Kalamata]]. Pangeran Saidi adalah seorang kapita laut atau panglima tertinggi pasukan Ternate, Pangeran Majira adalah raja muda Ambon sementara Pangeran Kalamata adalah adik sultan Mandarsyah. Saidi dan Majira memimpin pemberontakan di Maluku Tengah sementara Pangeran Kalamata bergabung dengan raja [[Kesultanan Gowa]], [[Sultan Hasanuddin]]. Mereka bahkan sempat berhasil menurunkan Sultan Mandarsyah dari tahta dan mengangkat Sultan Manilha (1650–1655),
* Sultan Muhammad Nurul Islam atau yang lebih dikenal dengan nama [[Sultan Sibori]] (1675 – 1691) merasa gerah dengan tindak–tanduk Belanda yang semena-mena. Ia kemudian menjalin persekutuan dengan Datuk Abdulrahman penguasa [[Mindanao]],
Meski telah kehilangan kekuasaan mereka, beberapa sultan Ternate berikutnya tetap berjuang mengeluarkan Ternate dari cengkeraman Belanda. Dengan kemampuan yang terbatas karena selalu diawasi mereka hanya mampu menyokong perjuangan rakyatnya secara diam–diam. Yang terakhir tahun 1914 Sultan Haji Muhammad Usman Syah (1896-1927) menggerakkan perlawanan rakyat di wilayah–wilayah kekuasaannya, bermula di wilayah [[Banggai]] dibawah pimpinan Hairuddin Tomagola namun gagal.
|