Daftar Raja Pagaruyung: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Menolak 2 perubahan teks terakhir (oleh Komanokopoii) dan mengembalikan revisi 14918142 oleh OrophinBot
LaninBot (bicara | kontrib)
k namun (di tengah kalimat) → tetapi
Baris 12:
| ended = 12 Februari 1849
}}
'''Raja-raja [[Kerajaan Pagaruyung|Pagaruyung]]''', berdasarkan cerita adat Minangkabau dan beberapa prasasti yang ditemukan, adalah keturunan dari [[Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa]], raja [[Kerajaan Dharmasraya]]. Di antara keturunan Tribhuwanaraja adalah [[Adityawarman]], sang pendiri kerajaan Pagaruyung dan senapati [[Majapahit]], dan ibunya [[Dara Jingga]]. Kerajaan Pagaruyung pernah diperintah oleh beberapa dinasti, namuntetapi mengenai nama-nama rajanya banyak yang kebenarannya tidak dapat dibuktikan karena hanya berdasarkan legenda ([[bahasa Minang]]: ''tambo'') adat Minangkabau.<ref name="Kozok"/><ref name="Dt"/> Kekuasaan raja-raja ini dimulai dengan berdirinya kerajaan ini pada tahun 1347,<Ref>{{cite book|last=Navis|first=Ali Akbar|authorlink=|coauthors=|title=Alam terkembang jadi guru: adat dan kebudayaan Minangkabau|url=http://books.google.co.id/books/about/Alam_terkembang_jadi_guru.html?hl=id&id=x6AiAAAAMAAJ|year=1984|publisher=Grafiti Pers|location=|id= }}</ref> namun dari [[Prasasti Suruaso]] diketahui ada nama lain yang menjadi raja sebelumnya, dan kemudian dalam selang 300 tahun berikutnya, siapa yang menjadi raja di Pagaruyung seperti hilang ditelan angin, dan baru muncul kembali pada awal abad ke-17, dan kemudian berakhir dimasa [[Perang Padri]].
 
== Menurut Tambo ==
Baris 68:
== ''Regent'' Tanah Datar ==
 
Pada tanggal [[10 Februari]] [[1821]], Sultan Bagagarsyah bersama 19 orang pemuka adat lainnya ikut menandatangani perjanjian dengan Belanda untuk bekerjasama dalam [[Perang Padri|melawan kaum Padri]].<ref name="Stuers">{{cite book|last=Stuers|first=Hubert Joseph Jean Lambert||coauthors=Pieter Johannes Veth|title=De vestiging en uitbreiding der Nederlanders ter westkust van Sumatra|volume=2|publisher=P.N. van Kampen|year=1850|quote = }}</ref> Beberapa sejarahwan menganggap bahwa Sultan Tangkal Alam Bagagar sebetulnya tidak berhak melakukan perjanjian dengan mengatasnamakan [[kerajaan Pagaruyung]],<ref name="Amran">{{cite book|last=Amran|first=R.|title=Sumatra Barat hingga Plakat Panjang|publisher=Penerbit Sinar Harapan|year=1981}}</ref> yang kemudian akibat dari perjanjian ini, dijadikan oleh Belanda sebagai tanda penyerahan kedaulatan Pagaruyung.<ref>Kepper, G., (1900), ''Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger; 1816-1900'', M.M. Cuvee, Den Haag.</ref> Kemudian setelah Belanda berhasil merebut Pagaruyung dari kaum Padri, Sultan Tangkal Alam Bagagar diangkat oleh pemerintah [[Hindia Belanda]] hanya sebagai ''Regent Tanah Datar'', walaupun pada sisi lain ia menganggap dirinya sebagai ''Raja Alam'', namuntetapi pemerintah Hindia Belanda dari awal telah membatasi kewenangannya atas wilayah kerajaan Pagaruyung itu sendiri.<ref name="Dobbin">Dobbin, C.E., (1992), ''Kebangkitan Islam dalam ekonomi petani yang sedang berubah: Sumatra Tengah, 1784-1847'', INIS, ISBN 979811612.</ref>
 
Pada masa awal [[Perang Padri]], setelah jatuhnya [[Pagaruyung, Tanjung Emas, Tanah Datar|Pagaruyung]] ke tangan [[Kaum Padri]], kawasan Batipuh termasuk basis terakhir [[Kaum Adat]] di [[Luhak Tanah Datar]] yang berhasil bertahan terhadap serangan Kaum Padri. Kemudian Datuk Pamuncak yang waktu itu menyandang gelar Tuan Gadang di Batipuh, bekerja sama dengan Pemerintah Hindia Belanda memerangi Kaum Padri. Setelah ditangkapnya [[Sultan Tangkal Alam Bagagar]] atas tuduhan pengkhianatan oleh [[Cornelis Pieter Jacob Elout|Kolonel Elout]], Datuk Pamuncak Tuan Gadang di Batipuh diangkat menjadi Regent oleh Belanda. Namun perubahan administrasi pemerintah Hindia Belanda di Minangkabau serta ditolaknya permintaan Tuan Gadang untuk diakui sebagai [[raja]] di Minangkabau, mendorong rakyat Batipuh bersama Tuan Gadang pada tanggal [[22 Februari]] [[1841]] melakukan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah Hindia Belanda yang dimulai dengan menyerang pos garnisun tentara Belanda yang berada di [[Padangpanjang]]. Pengaruh perlawanan rakyat Batipuh ini cepat menyebar ke kawasan lain, menebarkan huru-hara pada kawasan [[Fort de Kock]] dan [[Fort Van der Capellen]], di mana beberapa pejabat Eropa dan pribumi terbunuh. Perlawanan rakyat ini juga tidak lepas dari penerapan [[cultuurstelsel]] di Minangkabau. Walau perlawanan ini dapat cepat diredam oleh Belanda, Tuan Gadang sendiri berhasil ditawan dan diasingkan ke [[Batavia]].<ref>{{cite book|first=Christine E.|last=Dobbin|year=1992|title=Kebangkitan Islam dalam ekonomi petani yang sedang berubah: Sumatra Tengah, 1784–1847|publisher=Inis|ISBN=9798116127}}</ref>