Ariesta Widya: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika |
k Menghilangkan spasi sebelum tanda koma dan tanda titik dua |
||
Baris 1:
'''Ariesta Widya''' adalah seorang guru, nama aslinya adalah Agustinus Mulyono Widyatama tapi lebiih dikenal dengan nama samaran Ariesta Widya. Ariesta Widya lahir di Kandri, Cepaka, Gunung Pati, [[Kota Semarang|Semarang]] pada 12 April 1938 dari pasangan Duryat Martoprawiro dan Rumini. Ayahnya adalah pemeluk katholik taat sehingga Ariesta pun terbentuk sebagai pribadi katholik yang taat.<ref>{{Cite book|title=Ensiklopedi sastra Jawa|url=http://worldcat.org/oclc/801810329|publisher=Kementerian Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa, Balai Bahasa Yogyakarta|date=2010|isbn=9789791852357|oclc=801810329|first=Prabowo, Dhanu|last=Priyo.}}</ref> Ayahnya berprofesi sebagai guru sama sepertinya, profesi ini diawali oleh Ariesta dengan menjadi guru di sebuah SLTP di Tual (Manado) selama 3 tahun. Setelah mengikuti belajar di di IKIP Negeri Manadopada tahun 1961-1964 dengan mengambil jurusan bahasa Indonesia dan mendapat gelar sarjana muda, ia kemudian mengajar di SMP Katholik Langgur (1964-1967). Pada tahun 1967, ia kembali ke Jawa dan mengajar di SMP Negeri Ungaran hingga 1970. Pada tahun 1970-1985 ia mengajar di PPSP (Proyek Perintis Sekolah Pembangunan) di Semarang
Sementara itu, profesinya sebagai pengarang Jawa telah ia rintis sejak 1957, seangkatan dengan St. esmaniasita, T.S. Argarini, Muryalelana, Basuki Rahmat, dan Ismail (Liamsi). Tulisan pertamanya berupa cerpen berjudul "''Kasep''" yang dimuat dalam ''Kekasihku.'' Setelah karya pertama muncul, kemudian mengalir juga guritan-guritannya. Namun pada 1961-1967 ia absen karena lingkungan kerja sebagai guru di Manado idak mendukung, ia kembali menulis setelah kembali ke Ungaran. Tema-tema cerpen Ariesta Widya bervariasi mulai dari persoalan sekitar lingkungan pedesaan, pesisir, hingga persoalan di berbagai daerah yang ia kunjungi. Pengalaman selama menetap di Manado memberikan motivasi untuk menciptakan berbagai eksperimen terutama bahasa Jawa. Bahasa jawa harus berkembang terutama di era kemerdekaan, Oleh karena itu bahasa Jawa dari Yogyakarta dan Surakarta tidak boleh menjadi pedoman yang statis . Hal ini memotivasinya untuk menyatukan bahasa Jawa dengan kondisi masyarakat yang terus berubah. Menurut Muryalelana, bahasa dalam karya Ariesta sangat menarik, memiliki daya hidup, dinamis karena ia mengangkat tema atau masalah yang benar-benar ada dalam masyarakat. Ada 3 latar pokok yang diakrabi oleh Ariesta, yaitu pedesaan, pegunungan dan pesisiran, karena menurut Ariesta ketiga daerah tersebut sangat kaya dengan panorama dan permasalahan yang menarik.
|