Gunting Syafruddin: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Zaini Suherly (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
 
Zaini Suherly (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 2:
 
 
Situasi ekonomi [[Indonesia]] saat ini mirip menjelang tahun [[1950]]-an. Hutang menumpuk, angka inflasi dan harga-harga barang melambung tinggi. Untuk mengatasi semua itu, [[SjafruddinSyafruddin Prawiranegara]], yang dipercaya menjadi Menteri Keuangan pada Kabinet [[Hatta]] (Kabinet RIS[[Republik Indonesia Serikat]]) membuat kebijaksanaan radikal, yang kemudian terkenal dengan sebutan ''"Gunting Sjafruddin"''.
 
Gunting Sjafruddin adalah keputusan untuk memotong dua dengan gunting ''"uang merah"'' dan uang [[De Javasche Bank]] dari pecahan Rp 5 ke atas. Pecahan Rp 2,50 dan yang lebih kecil tidak mengalami pengguntingan. Juga uang ''ORI'' ([[Oeang Republik Indonesia]]) tidak digunting.
 
Dengan kebijaksanaan yang kontroversial itu Sjafruddin bermaksud sekali pukul menembak beberapa sasaran: penggantian mata uang yang bermacam-macam dengan mata uang baru, mengurangi jumlah uang yang beredar untuk menekan inflasi dan dengan demikian menurunkan harga barang, dan mengisi kas pemerintah dengan pinjaman wajib yang besarnya diperkirakan akan mencapai Rp 1,5 milyar.
 
Sejak pukul 8 malam 10 Maret l950, uang kertas pecahan Rp 5 ke atas digunting jadi dua. Bagian kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula, tapi mulai 22 Maret sampai 16 April bagian kiri itu harus ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan tempat-tempat yang telah ditunjuk. Lebih dari tanggal tersebut, maka bagian kiri itu tidak berlaku lagi. Sedangkan bagian kanan dari uang itu dinyatakan tidak berlaku, tapi dapat ditukar dengan surat obligasi pemerintah sebesar setengah dari nilai semula. "Gunting Sjafruddin" itu juga berlaku bagi simpanan di [[bank]].
 
Satu minggu sebelumnya Sjafruddin juga mengeluarkan kebijakan kontroversial, yang disebut dengan ''Sertifikat Devisa'' (SD). Kebijaksanaan ini bermaksud mendorong [[ekspor]] dan sebaliknya menekan [[impor]].
 
Berdasar kebijaksanaan tersebut, setiap eksportir selain mendapatkan uang sebanyak harga barangnya, juga memperoleh SD sebesar 50% dari harga ekspornya. Sebaliknya orang yang hendak impor, harus membeli SD senilai harga barang yang hendak diimpor. Jadi, setiap importir, selain menyediakan uang senilai harga barang yang akan dibeli, ia mesti membeli SD dengan kurs yang ditetapkan pemerintah.
 
Sebagai permulaan pemerintah menetapkan kursnya 200 persen. Artinya, kalau orang akan membeli SD sebesar Rp 10.000, dia harus membayar Rp 20.000. Kurs itu akan naik turun sesuai dengan perkembangan pasar. Dengan demikian, tanpa mengubah kurs resmi, maka kurs efektif bagi penghasil devisa adalah 200 persen dari kurs resmi, sedangkan bagi para pemakai devisa adalah 300% dari kurs resmi. Selisih yang terdapat di antaranya, masuk ke dalam kas pemerintah.
 
Sudah tentu dua kebijaksanaan yang radikal itu menyulut pro kontra. Sjafruddin pun mengakui, kebijaksanaannya itu memberatkan para importir. Namun ia tidak mau mengabaikan kepentingan para petani yang menghasilkan sebagian besar barang ekspor. Hasilnya ternyata mujarab. Kedudukan rupiah menguat, harga-harga barang, terutama kebutuhan pokok tidak naik dan pemasukan pemerintah naik berlipat-lipat, dari Rp 1,871 milyar menjadi Rp 6,990 milyar.·