Galela, Halmahera Utara: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
LaninBot (bicara | kontrib)
k ibukota → ibu kota
LaninBot (bicara | kontrib)
k Perubahan kosmetik tanda baca
Baris 25:
 
== Geografi ==
Luas wilayah Galela adalah 720 km² yang membawahi 23 desa, yang dibagi kedalam dua bagian yaitu 11 desa berada di pesisir pantai dan 12 desa berada di pedalaman. Pada tahun 2006 atas tuntutan masyarakat, Galela dibagi dalam 4 kecamatan, yaitu 2 Kecamatan berada di pesisir pantai yakni Kecamatan Galela dan Kecamatan Galela Utara, sedangkan 2 kecamatan lagi berada di pedalaman yaitu kecamatan Galela Selatan dan Kecamatan Galela Barat dan dengan dimekarkankannya kecamatan diikuti dengan pemekaran desadesa yang jumlah penduduknya diatas 1000-5000 jiwa, seperti Soasio dimekarkan menjadi 3 desa(Galela), dan Togawa dimekarkan menjadi 2 desa(Galela Selatan), Bale dimekarkan menjadi 2 desa(Galela Selatan), Soatobaru dimekarkan menjadi 2 Desa, Dokulamo Dimekarkan Menjadi 2 Desa(Galela Barat) dan Saluta dimekarkan Menjadi 2 Desa(Galela Utara). Maka jumalah desa di 4 Kecamatan tersebut adalah 39 Desa dengan perinciannya adalah :
- Kecamatan Galela membawahi 7 Desa
- Kecamatan Galela Barat membawahi 9 Desa
Baris 55:
Baru pada tahun 1855, nama Tobelo kembali muncul, saat penduduk "kampong Tobelo" menolak untuk menyerahkan seorang bajak laut bernama Laba kepada komandan kapal perang "Vesuvius". Sang komandan kemudian memerintahkan untuk memborbardir kampung tersebut. Di lokasi tersebut, dikenal sebagai "''Berera Ma Nguku''" (‘kampung terbakar’ dalam bahasa Tobelo) yang saat ini letaknya di desa ''Gamhoku'' (‘kampung terbakar’ dalam bahasa Ternate). Setelah penghancuran, penduduknya dipindahkan ke lokasi yang berhadapan dengan pulau Kumo, dimana Gubernur Belanda untuk Maluku memerintahkan membangun permukiman baru. Kampung ini dikenal sebagai "Berera Ma Hungi" (‘kampung baru’ dari bahasa Tobelo) dan sekarang dikenal dengan nama dari bahasa Ternate yaitu Gamsungi, dengan arti yang sama (kampung baru).
 
Pada saat itu, permukiman orang Tobelo sudah menyebar di sepanjang pantai daerah Tobelo sekarang dan beberapa bagian pulau Morotai. Tahun 1856, penduduk Tobelo dikabarkan hidup di sembilan domain (negeri atau ''hoana'') yang mana empat di antaranya dihuni yaitu Liena (Lina), Liebatto (Huboto), Laboewah-lamo (Hibua Lamo) dan Nomo (Momulati). Negeri-negeri yang lain ditambahkan pada ke-empat negeri ini dan "tidak lagi menyandang nama negeri". Pengurangan dari sembilan ke empat negeri ini kemudian dihubungkan dengan administrasi pemerintah Belanda. Campen melaporkan pada tahun 1883 bahwa kesembilan negeri (hoana) ini adalah Katana, Mawea, Patja, Jaro, Saboea Lamo, Lina, Sibotto, Momulati dan Mede tetapi "pemerintahan kita (Belanda) membuat pembagian yang sewenang-wenang ke dalam tujuh bagian (hoana), kemudian menjadi lima, dan sekarang...... pembagian ke dalam empat negeri dikembangkan". Keempat negeri , yaitu Momulati, Lina, Sibotto, dan Saboea Lamo yang bersama-sama membentuk ibu kota (hoofplast) Tobello. Sebagai tambahan, Campen menyusun daftar dua puluh empat permukiman Tobelo, hampir semuanya dinamai sesuai dengan nama sungai, atau bentukan pantai (tanjung, teluk, atau pulau) di mana mereka tinggal. Dan satu abad kemudian, pada awal 1980-an, permukiman ini adalah bentuk yang mana orang Tobelo mengidentifikasi wilayahnya: dua puluh dua permukiman, yang semuanya terletak di pinggir pantai dan dinamai sesuai dengan sungai atau teluk di mana mereka tinggal, dikelompokkan ke dalam empat (atau lima) wilayah domain (ma hoana) yaitu Lina, Huboto, Momulati, dan Hibua Lamo (hoana Hibua Lamo berasal dari hoana Gura dan kemudian menggantikan hoana tersebut). Bersama-sama, keempat hoana ini membentuk O Tobelohoka manga ngi, "wilayah Tobelo".
 
=== Orang Moro di Bumi Halmahera ===
Ketika Portugis tiba di maluku pada pertengahan abad ke-16, mereka menemukan bahwa pantai timur Halmahera, yang disebut Morotia, dan pulau Morotai dihuni oleh orang-orang yang dikenal sebagai "Orang Moro".Di wilayah -yang sekarang ini dihuni oleh orang Tobelo dan Galela- orang Moro banyak membangun perkampungan di pesisir pantai. Pada tahun 1556, ada 46 atau 47 perkampungan Moro, yang masing-masing kampung berpenduduk sekitar 700 sampai 800 penduduk. Di jazirah utara,perkampungan Moro ditemukan dari Tanjung Bisoa di utara sampai Cawa di selatan - dekat kota Tobelo sekarang ini. Pulau Morotai dan pulau Rau yang lebih kecil dihuni secara eksklusif oleh orang Moro. Pada tahun 1588 ada sekitar 29 permukiman di sana. Jumlah yang sama dilaporkan pada pada tahun 1608.
 
Populasi orang Moro sangat besar dibandingkan dengan suku-suku di dekatnya, bahkan jika kita mambaca perhitungan dari misionaris Portugis dengan kritis. Pertengahan abad ke 16 , menurut perkiraan yang paling konservatif orang Moro berjumlah sekurang-kurangnya 20.000 orang. Jumlah populasi yang signifikan ini adalah bukti dari kenyataan bahwa, setelah orang Moro menhilang pada pertengahan abad ke-17, jumlah populasi penduduk yang tersisa di Halmahera berkurang sangat drastis.
 
Permukiman orang Moro terletak jauh dari suku tetangga mereka seperti Tobelo, Galela dan Tobaru di satu pihak. Permukiman dari ketiga suku ini terletak jauh di pedalaman dan tidak masuk dalam dalam empat permukiman utama (Tolo, Sugala, Mamuya di Morotia dan Cawo di Morotai) yang merupakan wilayah orang Moro pada tahun 1536, dan permukiman Tobelo, Galela, dan Tobaru juga tidak dimasukkan dalam pembagian delapan distrik yang dilakukan tahun 1588 (Sugala, Sakita, Mamuya, Tolo, Cawa, Sopi, Mira dan Cawo). Sangaji yang di tunjuk untuk distrik-distrik Moro ini tidak memiliki otoritas terhadap Tobelo, Galela dan Tobaru.
Baris 186:
 
Artikel di IIAS Newsletter edisi 36 Maret 2005
Didasarkan pada disertasi Phd Esther Velthoen di Murdoch University tahun 2002 dengan judul "Contested Coastlines : Diaspora,Trade and Colonial Expansion in Eastern Sulawesi 1680-1905"
 
=== Canga-Canga III ===
Baris 212:
Belanda kemudian menyadari bahwa menekan para perompak memerlukan kerja sama dengan sekutu mereka. Tahun 1853 sultan Ternate mengeluarkan dekret yang menyerukan orang Tobelo untuk pulang ke Ternate dalam waktu satu tahun atau jika tidak akan diperlakukan sebagai bajak laut oleh Belanda. Banyak orang Tobelo yang mengalir ke Sulawesi Timur untuk melapor ke wakil Ternate tetapi dicegat oleh kapal perang Belanda dan langsung di angkut dan dipulangkan ke Ternate. Pada tahun 1870-an dan 1880-an, ekspedisi anti-bajak laut tidak lagi dilakukan dengan kapal-kapal Eropa tetapi dengan menggunakan perahu kora-kora yang bisa memasuki perairan dangkal dan mampu bermanuver untuk mengejar kapal-kapal kecil. Para penguasa lokal dan para bangsawan dikenakan denda yang berat jika diketahui menjalin hubungan dengan bajak laut Tobelo dan perompak lainnya. Perompak Tobelo terakhirdi angkut dari timur Sulawesi pada tahun 1880-an. Sebagai dampak langsungnya, terjadi permukiman kembali di pesisir pantai Sulawesi, kebangkitan perdagangan lokal, dan booming dalam produksi kopra. Perairan timur Sulawesi akhirnya ditenangkan bagi penguasa kolonial.
 
<ref>Artikel di IIAS Newsletter edisi 36 Maret 2005, Didasarkan pada disertasi Phd Esther Velthoen di Murdoch University tahun 2002 dengan judul "Contested Coastlines : Diaspora,Trade and Colonial Expansion in Eastern Sulawesi 1680-1905". Terjemahan Edward Djawa.</ref>
 
== Fasilitas ==