Kerajaan Caruban Larang: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika
LaninBot (bicara | kontrib)
k Perubahan kosmetik tanda baca
Baris 16:
Selain diperintahkan untuk membuka lahan baru, pada tahun 1448 M, setelah selesai membangun tempat pemukiman baru yang semakin maju, Raden Walangsungsang pergi ke Tanah Suci Mekkah bersama adiknya, Nyai Larasantang. Tetapi istrinya Walangsungsang yang bernama Nyai Indang Geulis tidak diikut sertakan karena sedang mengandung.
 
Usai menunaikan ibadah haji, Walangsungsang sangat berbahagia karena Indang Geulis (istrinya) telah melahirkan seorang puteri yang kemudian diberi nama Nyai Pakungwati. Sedangkan anak dari pernikahannya dengan Nyi Rasa Jati antara lain :
* Nyi Lara Konda
* Nyi Lara Sejati
Baris 25:
Setelah Ki Danusela wafat, Walangsungsang akhirnya diangkat menjadi kuwu Cirebon Larang yang ke-2. Selanjutnya, untuk mengislamkan keluarga Ki Danusela, Walangsungsang menikah lagi dengan puteri dari Ki Danusela yang bernama Retna Riris (kemudian berganti nama menjadi Kancana Larang). Dari pernikahannya kali ini, Walangsungsang dikaruniai seorang putra yang bernama Pangeran Cerbon. (kemudian setelah dewasa menjadi kuwu di Cirebon Girang).
 
Pada saat menjabat sebagai kuwu, Raden Walangsungsang menunjukkan kecakapannya. Ia mampu memajukan wilayah itu, Cirebon Larang semakin berkembang melebihi ukuran sebuah desa. Saat itu wilayahnya banyak didatangi oleh para pendatang dari berbagai suku bangsa. Semakin banyak juga penduduk Cirebon yang beralih agama dari Hindu (pengaruh Pajajaran di pantai utara Jawa khususnya di [[Kota Cirebon|Cirebon]] dan sekitarnya) ke agama Islam. Untuk lebih menggiatkan penyebaran Islam kemudian Walangsungsang mendirikan Masjid Jalagrahan (masjid tertua di Cirebon) pada tahun [[1456]] M.<ref>Adeng. 1998. Kota dagang Cirebon sebagai bandar jalur sutra. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI</ref>
 
Cirebon Larang beberapa tahun kemudian, sepak terjang yang dilakukan oleh Raden Walangsungsang mengenai penyebaran Islam diketahui oleh sang ayah yaitu Prabu Jayadewata (yang telah menjabat sebagai raja Pajajaran dengan gelar [[Sri Baduga Maharaja]]). Namun, tindakan penyebaran Islam itu tidak dipermasalahkan oleh Prabu Jayadewata.
Baris 43:
Syarif Hidayatullah aktif mengajar Islam di dukuh Babadan. Disana ia bertemu dengan Nyai Babadan (puteri Ki Gedeng Babadan) yang kemudian dinikahinya. Dengan semakin gencarnya Syarif Hidayatullah berdakwah mengajarkan agama Islam di tatar Pasundan (menggantikan peran Syekh Datuk Kahfi yang telah wafat), maka beliau kemudian dikenal sebagai Syekh Maulana Jati atau Syekh Jati.
 
Setelah Nyai Babadan meninggal, Syarif Hidayatullah kemudian menikah lagi dengan Nyimas Pakungwati (puteri Raden Walangsungsang) dan Nyai Lara Baghdad (puteri sahabat Syekh Datuk Kahfi). Dari pernikahannya dengan Nyai Lara Baghdad, beliau dikaruniai 2 orang putra yaitu :
* Pangeran Bratakelana atau Pangeran Gung Anom (kemudian menikah dengan Ratu Nyawa, putri dari [[Raden Patah]], [[Kesultanan Demak|Sultan Demak]]).
* Pangeran Jayakelana (kemudian menikah dengan Nyi Ratu Pembaya, putri dari [[Raden Patah]]).
Baris 52:
Raden Walangsungsang mengharapkan Syarif Hidayatullah bisa menyerap ilmu pengetahuan dari Raden Patah bila kemungkinan Cirebon bisa menjadi kerajaan yang mandiri. Di Demak, selain belajar ilmu pemerintahan dari Sultan Agung, Syarif Hidayatullah juga berguru pada Sunan Ampel.
 
Selain belajar ilmu pemerintahan, di sana Syarif Hidayatullah menikah lagi dengan Nyi Tepasari (putri dari Ki Ageng Tepasan yaitu pembesar [[Majapahit]] yang pro Raden Patah). Dari pernikahannya kali ini, beliau dikaruniai dua orang anak yaitu :
* Nyi Mas Ratu Ayu (kemudian menikah dengan Pangeran Sabrang Lor atau Sultan Demak ke-2),
* Pangeran Mohamad Arifin (kemudian dikenal sebagai Pangeran Pasarean).