Katedral Jakarta: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
*drew (bicara | kontrib)
k format
Ciko (bicara | kontrib)
sejarah
Baris 1:
'''Katedral''' berasal dari kata ''cathedra'' yang berarti 'tempat duduk' atau 'takhta' [[uskup]]. Sebuah gedung gereja disebut 'katedral' karena di situlah duduk uskup dari sebuah gereja.
 
Nama resmi Katedral [[Jakarta]] adalah ''"Santa Maria Pelindung Diangkat Ke Surga" (''De Kerk van Onze Lieve Vrowe ten Hemelopneming''). Gedung gereja yang kita kenal sekarang diresmikan pada 1901 dan dibangun dengan arsitektur [[neo-gotik]] dari Eropa, yakni arsitektur yang sangat lazim digunakan untuk membangun gedung gereja beberapa abad yang lalu.
 
Gereja yang sekarang ini dirancang dan dimulai oleh Pastor Antonius Dijkmans dan peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Provicaris Carolus Wenneker. Pekerjaan ini kemudian dilanjutkan oleh Cuypers-Hulswit ketika Dijkmans tidak bisa melanjutkannya, dan kemudian diresmikan dan diberkati pada [[21 April]] [[1901]] oleh Mgr. Edmundus Sybradus Luypen, SJ, Vikaris Apostolik Jakarta.
 
Katedral yang kita kenal sekarang sesungguhnya bukanlah gedung gereja yang asli di tempat itu, karena Katedral yang asli diresmikan pada Februari 1810, namun pada [[27 Juli]] [[1826]] gedung Gereja itu terbakar bersama 180 rumah penduduk di sekitarnya. Lalu pada tanggal [[31 Mei]] [[1890]] dalam cuaca yang cerah, Gereja itu pun sempat roboh.
 
Pada malam natal, [[24 Desember]] [[2000]], Gereja ini menjadi salah satu lokasi yang terkena [[Bom malam Natal 2000|serangan ledakan bom]].
 
==Sejarah==
===1807 - 1826===
Dengan adanya perubahan politik di Belanda khususnya kenaikan tahta Raja Lodewijk, seorang Katolik, membawa pengaruh yang cukup positif. Kebebasan umat beragama mulai diakui pemerintah. Pada tanggal [[8 Mei]] [[1807]] pimpinan gereja Katolik di Roma mendapat persetujuan [[Raja Louis Napoleon]] untuk mendirikan [[Prefektur Apostolik]] [[Hindia Belanda]]. Prefektur Apostolik adalah suatu wilayah Gereja Katolik yang bernaung langsung di bawah pimpinan Gereja Katolik di Roma, yang dipimpin bukan oleh seorang Uskup, melainkan oleh seorang Imam biasa yang ditunjuk oleh Paus, yang disebut Prefek Apostolik.
 
Pada tanggal 4 April 1808, dua orang Imam dari Negeri Belanda tiba di Jakarta, yaitu Pastor Jacobus Nelissen, Pr dan Pastor Lambertus Prisen, Pr. Yang diangkat menjadi Prefek Apostolik pertama adalah Pastor J. Nelissen, Pr.
 
Setelah sekitar dua abad perayaan ekaristi dilarang di Hindia Belanda, pada tanggal 10 April 1808, untuk pertama kalinya diselenggarakan [[misa]] secara terbuka di [[Batavia]] di rumah Doktor F.C.H Assmuss, kepala Dinas Kesehatan waktu itu. Tuan dokter bersama dengan beberapa kawan berhasil mengumpulkan sejumlah orang dan sebagian besar adalah tentara. Upacara Misa berlangsung sederhana dengan tempat yang kurang memadahi. Kedua Pastor tersebut untuk sementara tinggal di rumah Tuan Assmuss.
 
Pada bulan Mei, kedua Pastor itu sempat pindah ke rumah bambu yang dipinjamkan pemerintah untuk digunakan sebagai pusat sementara kegiatan-kegiatan katolik. Letaknya di asrama tentara di pojok barat daya ''Buffelsveld'' atau [[Lapangan Banteng]] (sekarang kira-kira di antara jalan Perwira dan Jalan Pejambon, diatas tanah yang saat ini ditempati oleh Departemen Agama).
Mulai [[15 Mei]] [[1808]], perayaan Misa Kudus mulai diselenggarakan disini, sehingga rumah ini tidak saja menjadi pastoran tapi juga merupakan gereja darurat pertama untuk umat Katolik di Jakarta. Pada waktu itu juga telah dibentuk Badan Pengurus Gereja dan Dana Papa, yang terdiri atas Prefek Apostolik J. Nelissen sebagai ketua, dengan anggota-anggota Chevreux Le Grevisse, Fils, Bauer dan Liesart.
 
Selama tahun 1808, mereka membaptis 14 orang, yaitu seorang dewasa keturunan Eropa Timur, delapan anak hasil hubungan gelap, diantaranya ada empat yang ibunya masih berstatus budak, dan hanya lima anak dari pasangan orang-orang tua yang sah status perkawinannya.
 
Karena dirasa perlu adanya sebuah rumah ibadah yang dapat digunakan untuk mengumpulkan umat, pada [[2 Februari]] [[1810]], Pastor J. Nelissen, Pr mendapat sumbangan sebuah kapel dari [[Gubernur Jenderal]] [[Meester]] [[Herman Daendels]], yaitu sebuah kapel sederhana yang terletak di pinggir jalan Kenanga, di daerah [[Senen]], menuju [[Istana Weltevreden]] (sekarang RSPAD Gatot Subroto). Kapel ini dibangun oleh Cornelis Chasteleijn (+ 1714) dan sebelumnya dipakai oleh jemaat [[Protestan]] yang berbahasa Melayu dan pada hari biasa dipakai sebagai sekolah. Kapel ini merupakan milik Gubernemen yang dihadiahkan berikut semua isinya, termasuk 26 kursi dan sebuah organ yang sudah tidak dapat digunakan. Karena kondisi bangunan yang kurang layak, Pastor Nelissen segera mengerahkan sejumlah orang untuk merenovasi. Semua pekerjaan ini dipercayakan kepada pengusaha Tuan Tjung Sun dibawah pengawasan Tuan Jongkind, arsitek, atas nama Dewan Gereja. Kapel inilah yang menjadi Gereja Katolik I di Batavia. Dalam bulan yang sama, Gereja Katolik pertama di Batavia ini diberkati dan sebagai pelindungnya dipilih [[Santo Ludovikus]]. Gedung itu memang tidak bagus namun dirasa cukup kuat karena terbuat dari batu dan dapat menampung 200 umat. Di dekat gedung gereja itu dibangun sebuah Pastoran sederhana yang terbuat dari bambu.
 
Pada tanggal [[10 Mei]] [[1812]] [[Sir Thomas Stamford Raffles]], gubernur Pulau Jawa, beserta istrinya Olivia, hadir di Gereja Santo Ludovikus sebagai bapa-ibu serani bagi seorang bayi yang dipermandikan.
 
Pada tanggal [[6 Desember]] [[1817]], jenasah Prefektur Apostolik pertama, Mgr Jacobus Nellisen, yang meninggal karena sakit TBC disemayamkan dalam gereja itu. Digantikan Pastor Prinsen, Pr yang sejak tahun 1808 bertugas di Semarang. Meskipun Pastor Prinsen, Pr telah menjadi Prefek Apostolik Jakarta yang ke dua, beliau lebih sering berada di Semarang
 
Pada tanggal [[27 Juli]] [[1826]], terjadi kebakaran di segitiga Senen. Pastoran turut lebur menjadi abu bersama dengan 180 rumah lainnya, sementara itu gedung gereja selamat namun gedungnya sudah rapuh juga dan tidak dapat digunakan lagi.
 
===1827 - 1890===
Pada waktu itu yang menjabat sebagai Komisaris Jenderal adalah Leonardus Petrus Josephus Burggraaf Du Bus de Ghisignies, seorang ningrat yang juga beragama Katolik, berasal dari daerah [[Vlaanderen]] di [[Belgia]]. Beliau memiliki wewenang penuh di Batavia, serta lebih tinggi kekuasaannya dari seorang Gubernur Jenderal. Selama jabatan Tuan Du Bus De Ghisignies, 1825-1830, Gereja Katolik Indonesia bisa bernafas lega. Beliau beragama Katolik dan sangat memperhatikan kebutuhan umat. Beliau juga sangat berjasa dalam menciptakan kebebasan kehidupan beragama di Batavia waktu itu. Salah satu jasanya adalah ''Regeringsreglement'' yang dibuatnya, pada pasal 97 diletakkan: "Pelaksanaan semua agama mendapat perlindungan pemerintah". Beliau juga mendesak Pastor Prinsen untuk segera menetap di Jakarta.
 
Melihat kebutuhan umat yang mendesak akan adanya gereja untuk tempat ibadah, Tuan Ghisignies mengusahakan tempat untuk mendirikan Gereja baru. Beliau memberi kesempatan kepada Dewan Gereja Katedral untuk membeli persil bekas istana Gubernur Jenderal di pojok barat/utara Lapangan Banteng (dulu ''Waterlooplein'') yang waktu itu dipakai sebagai kantor oleh Departemen Pertahanan. Pada waktu itu, diatas tanah tersebut berdiri bangunan bekas kediaman panglima tentara Jenderal de Kock. Umat Katolik saat itu diberi kesempatan untuk membeli rumah besar tersebut dengan harga 20.000 gulden. Pengurus gereja mendapat pengurangan harga 10.000 gulden dan pinjaman dari pemerintah sebesar 8.000 gulden yang harus dilunasi selama 1 tahun tanpa bunga.
 
Pada tahun [[1826]] Tuan Ghisignies memerintahkan Ir. Tromp untuk menyelesaikan "Gedung Putih" yang dimulai oleh [[Daendels]] (1809) dan kini dipakai Departemen Keuangan di Lapangan Banteng. Ir. Tromp diminta juga membangun kediaman resmi untuk komandan Angkatan Bersenjata (1830) dan sekarang dikenal sebagai Gedung Pancasila di Jl. Pejambon. Order ketiga pada Ir. Tromp adalah merancang Gereja Katolik pertama di Batavia. Tempatnya adalah yang sekarang dipakai Gereja Katedral.
 
Atas desakan Komisaris-Jenderal Du Bus De Ghisignies, Ir. Tromp merancang gereja baru berbentuk salib sepanjang 33 x 17 meter. Ruang altar dibuat setengah lingkaran, sedang dalam ruang utama yang panjang dipasang 6 tiang. Gaya bangunan ini bercorak [[barok]]-[[gotik]]-[[klasisisme]]; jendela bercorak [[neogotik]], tampak muka bergaya barok, pilaster dan dua gedung kanan kiri bercorak klasisistis. Menara tampak agak pendek dan dihias dengan kubah kecil atasnya. Maka, gaya bangungan itu disebut [[eklektisistis]]. Ditambah lagi dua gedung untuk pastoran yang mengapit gereja di kanan kiri serta deretan kamar-kamar dibelakangnya. Rupanya rancangan Ir. Tromp ini membutuhkan dana yang cukup besar dan melampaui kemampuan finansial gereja waktu itu. Maka rancangan ini tidak pernah terlaksana.
 
Oleh karena itu, gedung yang diperoleh umat Katolik tersebut, atas usul Ir. Tromp dirombak sedemikian rupa sehingga dapat digunakan untuk gereja. Bangunan ini sebenarnya adalah gedung dengan sebuah ruangan luas di antara dua baris pilar. Di kedua sisi panjangnya dilengkapi dengan gang. Di tengah atap dibangun sebuah menara kecil enam persegi. Di sebelah timur sebagian dari rumah asli tetap dipertahankan untuk kediaman pastor dan di sebelah barat untuk koster. Altar Agungnya merupakan hadiah dari Komisaris Jenderal du Bus Ghisignies. Gereja yang panjangnya 35 meter dan lebarnya 17 meter ini pada tanggal [[6 November]] [[1829]] diberkati oleh Monseigneur Prinsen dan diberi nama '''Santa Maria Diangkat ke Surga'''.
 
Gereja itu cukup membantu para imam dalam menjalankan misi pelayanannya di Batavia. Umat yang mengikuti misa semakin banyak. Untuk pertama kalinya, pada tanggal [[8 Mei]] [[1834]], empat orang pribumi suku Jawa dibaptis di gereja ini.
 
Seiring dengan berjalannya waktu, gereja tersebut mengalami banyak kerusakan. Perbaikan yang dilakukan hanya bersifat tambal sulam saja. Kemudian pada tahun [[1859]] diadakan renovasi yang cukup besar. Menurut pengamatan seorang ahli bangunan, menara yang ada di tengah atap merupakan penyebab terjadinya kerusakan dan kebocoran. Menara tersebut terlalu berat bagi struktur atap gereja, sehingga menekan tembok dan menimbulkan kebocoran dimana-mana. Oleh karena itu diusulkan untuk membongkar menara kecil tersebut dan menggantinya dengan sebuah menara baru yang terletak di atas pintu masuk, di sebelah barat. Akhirnya pada tanggal [[31 Mei]] [[1880]] gereja ini mulai difungsikan lagi setelah selesai direnovasi.
 
Hampir sepuluh tahun kemudian, [[9 April]] [[1890]], ditemukan bagian-bagian gereja yang mulai rusak, Setumpuk kapur dan pasir berserakan dekat sebuah pilar. Keadaan ini cukup mencemaskan para imam, terutama Pater Kortenhorst yang pagi itu sempat menginjak setumpuk kapur dan pasir tersebut. Pada hari yang sama sekitar pk. 09.00 pagi, Pastor Kortenhorst dan Pastor Luypen memeriksa situasi gereja. Salah satu pilar nampak mengkhawatirkan. Pada pk.10.30 keadaan pilar tampak lebih buruk dan semakin memprihatinkan. Banyak kapur mulai terlepas lagi. Tidak lama kemudian, ketika para pastor memasuki sakristi, bangunan gereja ambruk disertai suara gemuruh yang mengerikan. Seluruh pekarangan ditutupi debu sehingga orang tidak dapat melihat lebih dari lima langkah. Jam saat itu menunjukkan pukul 10.45 pagi. Hari itu tepat 3 hari sesudah perayaan Paskah.
 
Ketika debu sudah mulai turun, kehancuran gereja mulai nampak jelas. Atapnya menganga. Sebelum peristiwa ini, masih ada 68 bangku terbuat dari kayu jati dan kini tinggal 10, sisanya rusak berat. Selain itu, yang masih berdiri utuh adalah altar, pelataran imam dan ruang sakristi serta menara.
 
Kondisi gereja saat itu sangat parah dan tidak memungkinkan untuk penyelenggaraan misa. Untuk sementara waktu misa diselenggarakan di dalam garasi kereta kuda yang disesuaikan fungsinya untuk gereja darurat.
 
===1891 - 1901===
Para imam dan umat mulai mengupayakan dibangunnya gereja yang baru. Tanggal [[1 November]] [[1890]] ditandatangani sebuah kontrak antara Monseigneur Claessens dan pengusaha Leykam tentang pembelian tiga juta batu bata. Ukurannya harus sesuai dengan contoh yang dilampirkan dan harganya ditetapkan 2,2 dan 2,5 sen sebuah. Mulai tanggal [[1 Desember]] [[1890]], setiap bulannya harus diserahkan 70.000 buah batu bata dari perusahaan pembakaran. Jumlah batu bata yang retak dan pecah tidak boleh melebihi 10%. Dari kondisi ini jelaslah bahwa pembangunan gereja dilakukan secara lebih professional.
 
Orang yang ditunjuk dan dipercaya untuk menjadi perencana dan arsitek pembangunan gereja ini adalah Pastor Antonius Dijkmans, SJ seorang ahli bangunan yang pernah mengikuti kursus arsitektur gerejani di [[Violet-le-Duc]] di [[Paris]] Perancis serta [[Cuypers]] di [[Nederland]]. Pastor Antonius Dijkmans SJ yang sudah tiba di Jakarta dua tahun sebelum gereja runtuh, sebelumnya sudah membangun dua gereja di Belanda. Beliau juga merancang dan membangun kapel Susteran Jl. Pos 2, pada tahun 1891.
 
Pada pertengahan tahun [[1891]] mulai dilakukan peletakan batu pertama untuk memulai pembangunan gereja tersebut. Setelah kurang lebih setahun berjalan pembangunan terpaksa dihentikan karena kurangnya biaya. Selain itu, pada tahun [[1894]] Pastor Antonius Dijkmans, SJ harus pulang ke Belanda karena sakit dan akhirnya meninggal dunia pada tahun 1922. Pekerjaan pembangunan macet dan misa tetap dilaksanakan di garasi Pastoran.
 
Uskup baru, Mgr E.S. Luypen SJ (1898-1923) mengumpulkan dana di Belanda dan Insinyur M.J. Hulswit memulai pembangunan lagi. Batu "pertama" diletakkan dan diberkati pada tanggal [[16 Januari]] [[1899]], sebagai tanda dimulainya lagi pembangunan gereja ini. Pada bulan November balok-balok atap di pasang.
 
Untuk mendukung dana pembangunan gereja, umat tidak tinggal diam saja. Badan Pengurus Gereja bersama umat dua kali mengadakan undian (loterai), satu kali sebelum pelatakan fondamen, kemudian sebelum pembangunan atas dimulai. Karena subsidi dari pemerintah tetap ditolak, maka menutup kekurangan itu dikeluarkan obligasi sebesar Fl 50.000,- dan pengumpulan derma di kalangan umat Katolik maupun diluarnya ditingkatkan.
 
Selain arsitek baru, ada juga seorang kontraktor bernama van Schaik. Sedangkan Ir. van Es mewakili Badan Pengurus Gereja sebagai ''bouwheer''. Konstruksi besi kedua menara digambar dan dikerjakan oleh Ir. van Es sendiri.
 
11 tahun sesudah keputusan Badan Pengurus Gereja, 10 tahun sesudah peletakan batu pertama, gereja selesai. Perlu diingat bahwa selama 7 tahun pembangunan gereja terhenti karena kehabisan dana, sehingga pembangunan sebenarnya hanya berlangsung 3 tahun.
 
"'''De Kerk van Onze Lieve Vrowe ten Hemelopneming - Gereja Santa Maria Diangkat Ke Surga'''" diresmikan dan diberkati oleh Mgr. Edmundus Sybradus Luypen, SJ, seorang Vikaris Apostolik Jakarta pada tanggal [[21 April]] [[1901]]. Dalam upacara peresmian tersebut banyak dihadiri para pejabat dan umat. Mgr Luypen berdoa sejenak di hadapan patung Maria yang terdapat diantara dua pintu utama, lalu tepat pada pukul 08.00 pagi, Mgr. Luypen mulai mengelilingi seluruh gereja dan memerciki dengan air suci sambil diiringi [[paduan suara Santa Sesilia]], yang pada tanggal [[22 November]] [[1865]] didirikan oleh Tuan C.G.F. can Arcken. Prosesi terdiri dari pembawa salib, [[putra altar]], para imam dan akhirnya sang Vikaris Apostolik. Di muka altar semua berlutut dan menyanyikan [[litani]] Segala Orang Kudus. Misa [[Pontifikal]] dengan liturginya yang kuno nan luhur diselenggarakan oleh Bapa Uskup, didampingi lima imam. Paduan Suara Santa Sesilia dengan pimpinan bapak Toebosch dan dengan iringan organ menyanyikan Misa karangan Benoit.
 
Mulai sejak itu gereja utama di Jakarta itu layak disebut '''Katedral''', karena didalamnya terdapat ''cathedra'', yakni Tahta Uskup.
 
===1901 - sekarang===
Berbagai peristiwa mewarnai lebih dari 100 tahun berdirinya Gereja Katedral ini. Pada tahun [[1924]] untuk pertama kalinya seorang Uskup ditahbiskan dalam Gereja Katedral, yaitu Mgr A. Van Velsen SJ dan tahun berikutnya sidang pertama [[Majelis Wali-wali Gereja Indonesia]] diadakan dalam Pastoran Katedral.
 
Kardinal Agaginian, seorang [[Armenia]], mengunjungi Jakarta pada tahun [[1959]] dan diterima dengan meriah oleh Gereja dan pimpinan Negara RI.
Pembicaraannya dengan para waligereja dan pembesar ordo yang berkarya di seluruh Indonesia penting bagi masa depan. Hasilnya diumumkan pada tahun [[1961]] : Gereja di Indonesia bukan daerah misi lagi, melainkan Gereja Bagian yang berdiri sendiri.
 
Vikaris Apostolik Jakarta, Mgr. [[Adrianus Djajasepoetra]], yang ditahbiskan di Katedral Jakarta oleh Duta Besar Vatikan pada tanggal [[23 April]] [[1953]], sepuluh tahun tahun kemudian diangkat menjadi Uskup Agung. Pada saat itu ,[[1962]], Keuskupan Agung Jakarta mencakup 14 Paroki dengan jumlah umat 32.599 orang. Propinsi Gerejani Jakarta mencakup juga keuskupan lain yaitu Bogor dan Bandung.
 
Pada tahun 1963/1965 para Uskup Indonesia ikut serta dalam [[konsili Vatikan II]], yang membawa banyak perubahan dalam pastoral dan liturgi Gereja. Waktu para Uskup masih berada di Roma, di Jakarta pecah G30S PKI, sehingga Katedral perlu dijaga oleh para [[Pemuda Katolik]] dan tentara.
 
Peristiwa lainnya yang menggembirakan bagi umat Jakarta adalah Kunjungan [[Paus Paulus VI]] (1970) dan [[Paus Johanes Paulus II]] (1989) ke Indonesia yang disambut oleh Mgr [[Leo Soekoto]]. Ibadat dirayakan dengan meriah oleh Paus Paulus VI bersama banyak Uskup di Katedral. Pada waktu kunjungan Paus Yohanes Paulus II di Keuskupan Agung Jakarta sedang berlangsung Sinode Pertama.
 
Seiring dengan masa 100 tahun ini, pada tahun [[1988]] dilakukan pemugaran untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan dan membersihkan lumut serta pengecatan ulang. Disamping itu juga dibangun gedung Pastoran dan gedung pertemuan yang baru dibagian belakang gereja.
Pada [[13 Agustus]] [[1988]], purnakarya pemugaran gereja Katedral diresmikan oleh Bapak [[Soepardjo Roestam]] yang pada saat itu beliau menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat R.I, hadir mewakili Presiden Soeharto. Acara dimeriahkan dengan konser orgel oleh bapak Hub Wolfs, organis dari [[basilica Santo Servatius]] di kota [[Maastrich]] dan oleh Pastor Alfons Kurris Pr, dosen di ''konservatorium'' di kota yang sama. Mgr Leo Soekoto memberkati [[orgel]] pipa yang baru dan megah itu, sebuah orgel yang mempunyai 15 register dan diperlengkapi dengan 1000 buah pipa. Berselang-seling kedua organis yang professional itu memperdengarkan karya-karya klasik, yang oleh komponis-komponis seperti Vivaldi, Bach dan Cesar Frank diciptakan khusus untuk instrumen rajawi itu.
 
Pada tahun [[2002]] juga sempat dilakukan pembersihan dan pengecatan ulang pada dinding luar gedung gereja Katedral karena lumut banyak tumbuh merambat di dinding.
 
Ketika gedung ini pertama kali dibangun dulu, para pejabat genie (pasukan zeni) waktu itu menilai gedung gereja yang menghabiskan biaya 628.000 gulden rancangan P.A Dijkmans tersebut sebagai "gedung yang terlampau kuat" mengingat struktur gedung dan material yang digunakan sungguh-sungguh pilihan yang terbaik. Maka sampai sekarang - 100 tahun sesudahnya - gereja Katolik utama di Jakarta tetap berdiri tegak.
==Pastor Kepala==
* 1808 - 1810 : J. Nelissen, Pr
* 1810 - 1825 : P. Wedding, Pr
* 1826 - 1827 : A. Thijssen, Pr
* 1827 - 1828 : C. Mouriks, Pr
* 1828 - 1830 : L. Prinsen, Pr
* 1830 - 1842 : J. Scholten, Pr
* 1842 - 1845 : H. Cartenstat, Pr
* 1845 - 1846 : J. Grooff, Pr
* 1847 - 1848 : H. van der Grinten, Pr
* 1848 - 1854 : P. Vrancken, Pr
* 1854 - 1864 : H. Van der Grinten, Pr
* 1864 - 1874 : A. Claessens, Pr
* 1874 - 1877 : J. Lijnen, Pr
* 1877 - 1882 : J. De Vries, SJ
* 1882 - 1894 : P. Van Santen, SJ
* 1894 - 1904 : C. Wenneker, SJ
* 1904 - 1911 : W. Hellings, SJ
* 1911 - 1918 : L. Sondaal, SJ
* 1919 - 1925 : A. Van Hoof, SJ
* 1925 - 1932 : J. Wubbe, SJ
* 1932 - 1933 : L. Schlattmann, SJ
* 1933 - 1935 : J. Wubbe, SJ
* 1935 - 1938 : L. Schlattmann, SJ
* 1938 - 1942 : C. Ruygrok, SJ
* 1942 - 1946 : L. Zwaans, SJ
* 1946 - 1951 : C. Doumen, SJ
* 1951 - 1954 : J. Awick, SJ
* 1954 - 1960 : L. Zwaans, SJ
* 1960 - 1963 : S. Hardaparmaka, SJ
* 1963 - 1966 : T. Wignjasoepadma, SJ
* 1967 - 1968 : T. Harsawidjaja, SJ
* 1968 - 1973 : FX. Gunawan, SJ
* 1973 - 1976 : H. Van Opzeeland, SJ
* 1976 - 1980 : C. Van Ierssel, SVD
* 1981 - 1985 : W. Heffernann, M.M
* 1985 - 1993 : R. Kurris, SJ
* 1993 - 1996 : M. Soenarwidjaja, SJ
* 1996 - ? : RM. Wisnumurti, SJ
 
==Lihat pula==