Panglima Laôt: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Perubahan kosmetika
LaninBot (bicara | kontrib)
k Perubahan kosmetik tanda baca
Baris 4:
Hukôm Adat Laôt mulai dikenal pada masa pemerintahan [[Sultan Iskandar Muda]] ([[1607]]-[[1637]]) dari [[Kesultanan Aceh Darussalam]] (Abdullah, Adli. 2006:7; Kurien, John. 2008:2).. Pada masa lalu, Panglima Laôt merupakan perpanjangan kedaulatan Sultan atas wilayah maritim di Aceh. Dalam mengambil keputusan, Panglima Laôt berkoordinasi dengan ''uleebalang'', yang menjadi penguasa wilayah administratif. Struktur kelembagaan Panglima Laôt bertahan selama masa penjajahan [[Belanda]] (1904-1942), pendudukan [[Jepang]] (1942-1945) hingga sekarang. Struktur ini mulanya dijabat secara turun temurun, meski ada juga yang dipilih dengan pertimbangan senioritas dan pengalaman dalam bidang kemaritiman.
 
Menurut M. Adli Abdullah dkk (2006 : 7) panglima laot pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda memiliki 2 tugas yaitu memobilisasi peperangan dalam rangka melawan penjajahan dan memungut cukai (pajak) dari kapal-kapal yang singgah pada tiap-tiap pelabuhan di Aceh. Dalam perjalanan selama 400 tahun itu, panglima laot yang merupakan warisan ''endatu'' masih selalu hidup dalam pergaulan masyarakat nelayan di Aceh, tetapi seiring dengan perubahan peta perpolitikan pada masa penjajahan, kemerdekaan, pasca kemerdekaan dan pasca MoU [[Helsinki]] telah terjadi pergeseran peran, fungsi dan tugas, wewenang panglima laot. Karena faktor itu, maka setelah kemerdekaan [[Republik Indonesia]], tugas dan wewenang panglima laot mulai bergeser menjadi, pertama sebagai pengatur tata cara penangkapan ikan di laut atau dalam istilah hukum adat laut di sebut ''meupayang'' dan menyelesaikan sengketa yang terjadi antar nelayan di laut. Kenyataan demikian, membuat panglima laot masih tetap mempertahankan statusnya sebagai penegak hukum adat laot dan masih sangat dihargai oleh masyarakat nelayan di Aceh.
 
John Kurien (2008 : 9) seorang profesor antropologi dan fisheries advisor di [[FAO]] Banda Aceh dalam survei terhadap panglima laot pada tahun [[2007]] mengindikasikan bahwa penghormatan terhadap panglima laot dari nelayan masih sangat tinggi. Setidaknya dalam periode 10 tahun terakhir belum ada sengketa hukum adat antar nelayan yang terjadi dilaut yang dilaporkan kepada panglima laot maupun pihak berwajib. Ini menunjukkan betapa hukum adat laot masih sangat dihargai dan dihormati oleh masyarakat nelayan di Aceh.
 
Pasca kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 di mana kerajaan sudah dileburkan kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, tugas panglima laot mulai bergeser menjadi mengatur tata cara penangkapan ikan di laut, bagi hasil dan tata cara penyelesaian sengketa jika terjadi pelanggaran dilaut. Tetapi dari masa itu sampai dengan tahun 1982, panglima laot masih berdiri secara sendiri-sendiri sesuai dengan wilayah masing-masing, baik di desa, mukim ataupun kecamatan atau dikenal dengan Panglima Laot Lhok/kuala/dermaga tempat boat di tambat. Saat itu panglima laot belum begitu dikenal oleh orang banyak.
Baris 22:
Struktur organisasi vertikal Panglima Laôt mulai ditata pada Musyawarah Panglima Laôt se Aceh di Banda Aceh pada Juni [[2002]]. Panglima Laôt di tingkat lhôk, disingkat Panglima Lhôk, bertanggung jawab menyelesaikan perselisihan dan persengkataan nelayan di tingkat lhôk. Bila perselisihan tidak selesai di tingkat lhôk, maka diajukan ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu Panglima Laôt Kabupaten, yang disebut Panglima Laôt Chik atau Chik Laôt. Selanjutnya bila perselisihan mencakup antar kabupaten, provinsi atau bahkan internasional, akan diselesaikan di tingkat provinsi oleh [http://www.panglimalaotaceh.org Panglima Laôt Provinsi].
 
Tahun [[1982]], di Kota [[Langsa]], Aceh, di gelar suatu pertemuan antar :anglima Laot Lhok se Aceh. Pertemuan ini kemudian menyetujui pembentukan Panglima Laot kabupaten. Panglima Laot kabupaten diberi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa nelayan yang terjadi antar 2 Panglima Laot Lhok yang tidak dapat diselesaikan oleh panglima laot lhok tetapi bukan sifatnya banding seperti pengadilan biasanya.
 
Pada tahun [[2000]], di Banda Aceh dan [[Sabang]] dilaksanakan pertemuan serupa. Pertemuan-pertemuan itu menyepakati ada satu Panglima Laot lagi di tingkat provinsi. Maka dibentuklah Panglima Laot Aceh. Sejak dibentuk, panglima laot Aceh diberi tugas untuk mengkoordinasikan hukum adat laot, menjembatani kepentingan nelayan dengan pemerintah dan mengadvokasi kebijakan kelautan dan perikanan termasuk advokasi hukum dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat nelayan Aceh, termasuk bagi nelayan yang terdampar.