Tanjung Merah, Matuari, Bitung: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
k Perubahan kosmetik tanda baca |
||
Baris 36:
Pada saat di tempat itu kian banyak orang dan situasi dirasa aman, maka pemukiman penduduk dipindahkan agak ke tepi pantai, dan sejak itu dinamakan Tana Rundang karena didekat pemukiman itu terdapat sebuah tumbuna (tanjung) yang tebingnya berwarna kemerah-merahan. Pada tahun 1827 Tana’ Rundang disahkan sebagai banua (negeri) melalui suatu upacara adat yang dipimpin Dimia um Banua, yakni Opo Nusa, Opo Simedeman dan Opo Tindadas dari Laikit. Pada upacara itu sekaligus juga mengukuhkan Wadian Tewu Tanod selaku Tunduan Teterusan (pemimpin kampung panutan).
Setahun kemudian, yakni pada tahun 1828 orang Mangindano datang dalam jumlah besar dan menyerang negeri baru itu. Menurut tutur cerita, para te’dong itu datang dengan menggunakan 4 pakata (sejenis perahu) yang masing-masing membuat sekitar 150 orang. Maka terjadilah pertempuran yang mengakibatkan banyak korban di kedua pihak. Daratan Tumbuna dan air laut disekitarnya bersimbah darah sehingga disebut juga Tana’ Da’ (Tanah Darah). Pertempuran itu merupakan “arena perang” paling mengerikan sepanjang sejarah Negeri Tanjung Merah. Itulah sebabnya sekalipun berhasil dimenangkan oleh orang Tana’ Rundang namun telah menimbulkan ketakutan berkepanjangan dikalangan penduduk, bahkan ada beberapa keluarga yang langsung pulang ke negeri asal mereka dan tidak pernah kembali ke Tana’ Rundang. Trauma ini telah melahirkan ungkapan sindiran (satire), khususnya di wilayah Minawerot, yaitu
Pada tahun 1845 Negeri Tana’ Rundang secara administratif disahkan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai desa dan dimasukkan dalam wilayah kepolisian distrik Tonsea, Tewu Arnold Tanod tetap terpilih sebagai Hukum Tua atau Ukung Tua (kepala keluarga yang dituakan) tambahan nama Arnold adalah nama baptis dia seiring masuknya agama Kristen di negeri itu (dikupas khusus pada sejarah GMIM Eben Haezer, Tanjung Merah), dan Ibrahim Bugis Lengkong dipercayakan sebagai Juru Tulis. Nama Tana’ Rundang diganti menjadi Tanjung Merah, walaupun dalam pergaulan sehari-hari orang Tonsea, tetap disebut Tana’ Rundang sampai sekitar tahun 1950an.
|