Tari Topeng Cirebon (Gaya Palimanan): Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k namun (di tengah kalimat) → tetapi |
k Perubahan kosmetik tanda baca |
||
Baris 1:
[[Berkas:Reynan-ade-irfan-gubyak-.jpg|jmpl|ka|''Ki'' dalang Ade Irfan menggayakan gerakan ''gebyak'' (gibas) pada [[Tari Topeng Cirebon]] gaya Palimanan<br><br> (Foto
'''Tari Topeng Cirebon gaya Palimanan''' tersebar disekitar [[Palimanan, Cirebon|kecamatan Palimanan]], sebelum tahun 1500-an, Palimanan dan wilayah pegunungan Kromong disekitarnya masuk dalam wilayah kerajaan Rajagaluh (kini lebih dari setengah wilayahnya yang berada di sisi barat pegunungan Kromong masuk kedalam wilayah [[kabupaten Majalengka]], yang khas dari gaya Palimanan jika dibandingkan dengan gaya-gaya lainnya yang mengelilinginya seperti gaya Kalianyar, gaya Gegesik dan gaya Slangit adalah pada sikap kuda-kuda yang disusun oleh ''Ki'' Wentar (maestro tari Topeng Cirebon gaya Palimanan) yang menekankan bahwa kuda-kuda harus mengikuti postur dan kecakapan penari atau dalangnya, sehingga pada setiap penari atau dalang topeng Cirebon gaya Palimanan sangat mudah ditemukan kuda-kuda yang berbeda menurut kepantasan dan kecocokan postur pada setiap penarinya.
== Sejarah gaya Palimanan ==
[[Berkas:Reynan-Al_Azhar_23.jpg|jmpl|ka|Para penari Topeng Cirebon dari SMA Al Azhar 5 Cirebon asuhan ''Ki'' Dalang Waryo (keluarga ''Ki'' Dalang Koncar) yakni Desi Restianti, Amelda Eka Prastia, Indriani Kusumaningsih, Elvira Nasria Yuniar membawakan tari Topeng Cirebon gaya Palimanan pada acara milad Al Azhar ke 23 tanggal 28 April 2018 di kompleks Al Azhar 5 Cirebon, Pilang Setrayasa, Cirebon, [[Jawa Barat]]<br><br>foto
Cerita mengenai tari Topeng Cirebon gaya Palimanan pernah dinarasikan oleh Theodore G Th Pigeaud dalam bukunya ''Javaanse volksvertoningen. Bijdrage tot de beschrijving van land en volk'' yang terbit pada 1938, Pigeaud menjelaskan bahwa tari Topeng Cirebon gaya Palimanan memiliki kedekatan yang harmonis secara budaya dengan wilayah-wilayah di Priyangan seperti Sumedang, Ciamis, Garut, Tasikmalaya dan Bandung sejak awal tahun 1900-an, tidak hanya tari Topeng Cirebon gaya Palimanan, wayang orang Cirebon juga memasuki wilayah ini<ref>Th Pigeaud, Theodore G. 1938. Javaanse volksvertoningen. Bijdrage tot de beschrijving van land en volk.</ref> Kesenian-kesenian Cirebon yang ditampilkan mampu menarik minat masyarakatm terbukti dengan berjejalnya masyarakat untuk menyaksikan kesenian yang dibawakan<ref name=iyus1>Rusliana,Iyus. 2008. Wayang Wong Priangan
[[Berkas:Reynan-Al_Azhar_23_a.jpg|jmpl|ka|Para penari topeng Cirebon dari SMA Al-Azhar 5 Cirebon membawakan babak ''Kelana'' pada pegelaran tari Topeng Cirebon gaya Palimanan<br><br>foto : Sukron Makmum]]
Nama asli dari ''Ki'' Wentar adalah ''Ki'' Kudung, julukan ''Wentar'' sebenarnya baru diberikan oleh bupati Bandung pada saat itu, yakni Pangeran Adipati Aria Martanegara (1893-1918) yang diambil dari kosakata ''Kawentar'' yang berarti terkenal, tetapi dalam keterangan lain, ''Ki'' dalang Sukarta yang merupakan keluarga dari ''Ki'' Wentar meyakini bahwa julukan tersebut (Wentar) sebenarnya diberikan oleh [[kesultanan Kasepuhan]]. ''Ki'' Wentar mahir berbahasa Sunda, pada masa Wentar bahasa Sunda baru saja mengalami apa yang dinamakan dengan modernisasi aksara, aksara Romawi diperkenalkan oleh Karel Frederik Holle seorang pengusaha perintis di bidang perkebunan teh yang hidup pada tahun 1822-1896<ref>Moriyama, Mikihiro. 2005. Sundanese Print Culture and Modernity in 19th-century West Java.[[Singapura]]
[[Berkas:Reynan-al_azhar_23_w_Waryo.jpg|jmpl|ka|
Baris 23:
Bupati Sumedang, Pangeran Arya Soerjakoesoemahadinata (1882-1919) sangat mengagumi dengan hasil karya seni ''Ki'' Wentar dan ''Ki'' Koncar yang merupakan penyusun geraknya (kolaborator tari) di dalam kesenian wayang Orang, keduanya kemudian diminta oleh Pangeran Aria Soerjakoesoemahadinata untuk melatih para penari keraton Sumedang Larang<ref name=iyus1/>.
[[Rancaekek, Bandung|Ranca Ekek]] di [[kabupaten Bandung]] diketahui sebagai salah satu tempat yang dilintasi oleh ''Ki'' Wentar dan rombongannya ketika ''bebarangan'', di wilayah [[Rancaekek, Bandung|Ranca Ekek]] ''Ki'' Wentar dan rombongannya mengunjungi rumah ''Ki Lurah'' [[Rancaekek, Bandung|Ranca Ekek]] sekaligus anak dari ''Wedana'' [[Tanjungsari, Sumedang|Tanjung Sari]] yaitu Raden Sambas Wirakukusuma (1887-1962) yang menjabat sebagai ''Ki Lurah'' selama dua periode yakni dari tahun 1920-1931 dan dilanjutkan periode tahun 1935-1942, sebagaimana diketahui bahwa selain mengajarkan kesenian kepada keturunannya, ''Ki'' Wentar juga mengajarkan kesenian kepada orang lain diluar keturunannya, salah satu kelompok masyarakat yang berminat pada bidang kesenian dan banyak menjadi murid dari ''Ki'' Wentar pada masa itu adalah kelompok para Aristokrat (negarawan) seperti ''Ki Lurah'' Wirakukusuma <ref name=laurie>Ross, Laurie Margot. 2016. The Encoded Cirebon Mask: Materiality, Flow, and Meaning along Java's Islamic Northwest Coast. [[Leiden]]
Pada masa kemudian, ''Ki'' Wentar dan ''Ki'' Koncar berkolaborasi dengan Raden Sambas Wirakukusuma (''Ki Lurah'' Ranca Ekek) untuk mendesain sebuah tarian baru yang menggabungkan gerakan tari Topeng Cirebon dengan Tayub (kesenian tari yang biasa digelar di acara m di kesultanan-kesultanan di Cirebon), tarian baru tersebut kemudian dikenal dengan nama tari Kursus, sebuah tarian yang dipentaskan tanpa memakai topeng. nama tari Kursus ini kemudian sering diasosiasikan kepada kelompok tari milik Raden Sambas Wirakukusuma yakni kelompok tari Wiramahsari, nama tari Kursus yang merupakan perpaduan gerakan tari Topeng Cirebon gaya Palimanan dengan Tayub ini kemudian diperkenalkan secara luas melalui artikel di dalam jurnal Djawa yang diproduksi oleh Belanda pada tahun 1930 yang berjudul ''De Soendaneesche Dans'', artikel mengenai tari Kursus tersebut ditulis oleh M Soeriadiradja dan I Adiwidjaja yang menggambarkan secara rinci gerakan-gerakan pada tari Kursus tersebut,<ref>Soeriadiradja, M . I. Adiwidjaja, 1930. De Soendaneesche Dans.
Tari Topeng Cirebon gaya Palimanan oleh budayawan Cirebon dianggap mencapai masa kejayaannya pada masa ''mimi'' ([[bahasa Indonesia]]
Setelah ''mimi'' Soedji meninggal, seniman yang masih mempertahankan gaya Palimanan antara lain adalah ''Ki'' Sukarta, ''Ki'' Waryo (putera dari ''Ki'' Empek (maestro kesenian Cirebon), ''mimi Tursini (yang merupakan anak kandung ''mimi'' Soedji) dan ''mimi'' Nani Kadmini.
Baris 33:
Mimi Tursini sebelum meninggalnya, memusatkan pelestarian dan konservasi seni tari Topeng Cirebon gaya Palimanan di sanggarnya yakni di sanggar Mekar Suji Arum<ref>[http://www.pikiran-rakyat.com/node/213550 Hy, Retno. 2012. Kepiawaian Mimi Rusini Menari Topeng Klasik Gaya Palimanan. [[Bandung]]: Pikiran Rakyat]</ref>, ''mimi'' Tursini pernah menuturkan tentang pola=pola pengajaran tari yang diberikan oleh orang tuanya dahulu, yakni dengan cara ''bebarangan'' (mementaskan tari topeng dari desa ke desa). Pada sekitar tahun 1950-an ketika usinya menginjak 12 tahun, ibundanya yakni ''mimi'' Soedji (maestro tari Topeng Cirebon gaya Palimanan) mengajaknya untuk ''bebarangan'' bagi seorang anak ataupun murid tari Topeng Cirebon, ''bebarangan'' adalah momentum untuk mempelajari tari Topeng Cirebon lebih dalam, mengasah diri untuk mematangkan kepiawaian menari di depan banyak orang, masa ''bebarangan'' ini juga oleh ''mimi'' Tursini disebut sebagai ''babakdeng'' dimana tarian satu babaknya hanya dibayar dengan ''segedeng'' (seikat) padi.<ref name=sumbadi1/>
menurut Novi yang merupakan cucu dari ''mimi'' Tursini sekaligus sebagai penari tari Topeng Cirebon gaya Palimanan, semasa hidupnya ''mimi'' Tursini berusaha sepenuh hati dalam melestarikan gaya Palimanan, beliau tidak pernah meminta bayaran ketika mengajarkan gaya Palimanan, semua diajarkan secara gratis demi melestarikan gaya Palimanan yang sudah turun temurun diajarkan oleh leluhur dan keluarganya, guna membeli atau membuat perlengkapan tari Topeng Cirebon, ''mimi'' Tursini mencari biayanya dengan cara lain (dikarenakan beliau tidak memungut iuran pada muridnya), diantaranya adalah menjadi pemandi jenazah dan pemijat, uang yang diperolehnya kemudian dipergunakan untuk membeli perengkapan tarinya diantaranya topeng, bahan pembuat ''sobra'' (hiasan kepala penari Topeng Cirebon serta pakaiannya, menurut pengakuan Novi, terkadang ''mimi'' Tursini sampai tidak memikirkan kebutuhan untuk makanannya sehari-hari hal tersebut dikarenakan usaha yang dilakukan oleh ''mimi'' Tursini kurang mendapatkan perhatian dari pihak berwenang.<ref name=sumbadi1>[http://www.kompasiana.com/sumbadisastraalam/topeng-palimanan-cerbon-dari-babakdeng-sampai-babakbelur_5512868a813311e257bc5fc2 Sastra Alam, Sumbadi. 2015. Topeng Palimanan Cerbon; Dari Babakdeng Sampai Babakbelur. [[Jakarta]]
''Mimi Nani Kadmini'' selain mendirikan sanggar tari Wulan Sari di [[Kedungbunder, Gempol, Cirebon|desa Kedung Bunder]], [[Gempol, Cirebon|kecamatan Gempol]], [[kabupaten Cirebon]] yang mengajarkan anak-anak setempat tentang gaya Palimanan, ''mimi'' Nani juga sempat mengajar di beberapa sekolah di kota Cirebon sebagai guru tari, hal tersebut dilakukan untuk melestarikan tari Topeng Cirebon gaya Palimanan, dalam usaha melestarikan gaya Palimanan pada masa modern, kesulitan yang ditemui salah satunya adalah masalah ekonomi, banyak dari anak-anak didiknya yang lama tidak datang untuk latihan walau tidak diwajibkan membayar iuran latihan tari semata-mata karena kondisi ekonomi orang tuanya membuat anak didik tersebut harus membantu mencukupi ekonomi keluarganya dengan bekerja.<ref name=alam1/>
Kondisi yang sama juga terjadi dengan para ''Wiyaga'' ([[bahasa Cirebon]]
Selain dari kondisi para dalang yang mulai berkurang dan para ''wiyaga'' yang sudah tua, kondisi barang-barang bersejarah yang berkait erat dengan gaya Palimanan juga terbilang memprihatinkan, untuk topengnya, menurut ''mimi'' Nani Kadmini yang masih disimpan di wilayah adat Palimanan adalah topeng Klana yang berusia sekitar 100 tahun yang kondisinya kini sudah agak retak.<ref name=alam1/>
Baris 47:
* Kembang sungsang, merupakan ''tetaluan'' (tabuhan gamelan) yang dimainkan saat pagelaan tari Topeng Cirebon gaya Palimanan ''babak'' Panji
* Gaya-gaya, merupakan ''tetaluan'' (tabuhan gamelan) yang dimainkan saat pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Palimanan ''babak'' Samba, kata Gaya-gaya diambil dari gerakan watak Samba yang lincah dan banyak tingkah.
* Malang totog, merupakan ''tetaluan'' (tabuhan gamelan) yang dimainkan saat pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Palimanan ''babak'' Tumenggung. kata ''Malang totog'' berarti ''Belalang yang sedang menotog'' yang diambil dari ekspresi dalam gerakan dalang Topeng yang sedang meniru gerakan ''Malang'' (bahasa Indonesia
* Bendrong, merupakan ''tetaluan'' (tabuhan gamelan) yang dimainkan saat pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Palimanan ''babak'' Jingga Anom dan ''babak'' akhir yaitu ''Klana Udeng''
* Gonjing, merupakan ''tetaluan'' (tabuhan gamelan) yang dimainkan saat pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Palimanan ''babak'' Klana
Baris 59:
''Babak'' tarian yang dibawakan pada gaya Palimanan hampir serupa dengan yang ada pada gaya Beber dan Randegan namun dengan penambahan ''babak'' ''Klana Udeng'' sebagai akhir dari pagelarannya.
* Panji, gerakannya sangat menghayati diam namun penuh arti, ''sunyi ing raga, ngaji diri'' (bahasa Indonesia
* Samba, gerakannya sangat lincah merefleksikan anak balita yang sangat lincah dan senang bermain.
* Tumenggung, menggambarkan jiwa yang mulai dewasa dengan ditandai tumbuh kumis tipis pada topeng tumenggung yang merefleksikan sudah dimilikinya tanggung jawab dalam kehidupan.
* Jingga anom, ''babak'' pementasan seperti teater yang menceritakan tokoh Jingga Anom.
* Klana, merefleksikan sekumpulan puncak jiwa amarah murka dari topeng Panji, Samba, Tumenggung, Jingga Anom yang menjelma jadi satu menjadi angkra murka
* Rumyang, ''babak'' Rumyang ini menandai sudah terlepasnya hawa nafsu duniawi, dipentaskan saat terbitnya matahari, saat sinar sudah terlihat samar-samar ([[bahasa Cirebon]]
* Klana udeng, gerak tarinya perpaduan semua gerak tari lima wanda (''babak'' Topeng) namun dengan menambahkan gerakan yang belum sempat ditarikan di topeng lima wanda tersebut, ''babak Klana Udeng'' dipentaskan dengan tidak menggunakan ''sobra'' namun dengan menggunakan ''Udeng'' (bahasa Indonesia
Selain lima babak yang ada biasa ditampilkan, menurut ''Ki'' Waryo (maestro tari Topeng Cirebon gaya Palimanan) pada masa lalu di dalam gaya Palimanan juga dipentaskan tarian Ratu Kencana Wungu yang dibuktikan dengan keberadaan topeng ini yang tersimpan pada dalang tari Topeng Cirebon gaya Palimanan
|