Perjanjian Salatiga: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 4:
Dengan berat hati [[Hamengku Buwono I]] dan [[Paku Buwono III]] melepaskan beberapa wilayahnya untuk [[Raden Mas Said]] (Pangeran Sambernyawa). [[Ngawen]] di wilayah Yogyakarta dan sebagian Surakarta menjadi kekuasaan Pangeran Sambernyawa.
 
Perjanjian ini ditandatangani oleh [[Raden Mas Said]], Sunan [[Paku Buwono III]], [[VOC]], dan Sultan [[Hamengku Buwono I]] di sebuah gedung VOCbernama Gedung Pakuwon yang sekarangterletak digunakandi sebagaiJalan kantorBrigjen WaliSudiarto.<ref>{{Cite kotaweb|url=https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjateng/rumah-tinggal-jl-brigjen-sudiarto-penanda-tempat-perjanjian-salatiga/|title=Rumah [[KotaTinggal Jalan Brigjen Sudiarto, Penanda Tempat Perjanjian Salatiga|Salatiga]]{{citationlast=Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah|first=|date=5 April 2018|website=Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia|access-date=17 Agustus needed2019}}.</ref>
 
== Menuju Perjanjian ==
Baris 29:
7 Oktober 1790 [[Yan greeve]] mengintimidasi Sultan [[Hamengku Buwono I]] untuk memberikan 4.000 cacah tetapi Sultan menolak. Awal November 1790 tuntutan 4.000 cacah diganti dengan upeti Belanda kepada [[Mangkunegaran]] sebesar 4.000 real.
 
== Mangkunegaran Penyambungpenyambung Rohroh Mataram ==
 
Perjanjian Salatiga secara hakikat menandai berdirinya praja atau negeri Mangkunegaran dengan Raden Mas Said sebagai Pangeran otonom yang menguasai sebuah wilayah yang otonom pula. Mangkunegaran yang didirikan oleh Pangeran Sambernyawa adalah penyambung dari Mataram yang telah hilang akibat perjanjian Giyanti 1755. Mataram yang telah bubar dengan traktat Giyanti di bangun kembali melalui Negeri Mangkunegaran. Politik dan kebudayaan Mataram serta unsur unsur keprajuritan dipertahankan dan dihidupkan dari generasi ke generasi.