Hak asasi manusia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 301:
Di Asia, salah satu kritik partikularisme yang paling terkenal berasal dari tulisan-tulisan para tokoh yang tergolong ke dalam "mazhab Singapura". Pemikiran-pemikiran mazhab ini dirintis oleh [[Perdana Menteri Singapura]] [[Lee Kuan Yew]] dan kemudian dikembangkan oleh beberapa pejabat tinggi di [[Kementerian Luar Negeri Singapura]], seperti [[Tommy Koh]], [[Bilahari Kausikan]], dan [[Kishore Mahbubani]].{{sfn|Brems|2001|p=36}} Mazhab ini sama sekali tidak menolak keberadaan hak asasi manusia sebagai hak "universal", tetapi mereka mengkritik kekentalan pengaruh Barat dalam sistemnya, dan mereka juga berkeyakinan bahwa konsep "hak asasi manusia universal" merupakan ciptaan Barat. Mereka menegaskan bahwa "hak asasi manusia" dan "demokrasi" merupakan nilai-nilai yang dibentuk oleh sejarah dan pengalaman suatu bangsa, sehingga bagi mereka, standar Barat dari akhir abad ke-20 tidak dapat dianggap sebagai standar universal.{{sfn|Brems|2001|p=36-37}} Selain itu, salah satu ciri khas dari mazhab Singapura adalah klaim yang berkaitan dengan "nilai-nilai Asia". Menurut mereka, masyarakat Asia lebih [[komunitarianisme|mengutamakan komunitas]] daripada [[individualisme|individu]].{{sfn|Brems|2001|p=41}} Dalam kata lain, orang-orang Asia dianggap lebih mengutamakan kewajiban kepada keluarga, tetangga, atau bangsa.{{sfn|Brems|2001|p=42}} Dengan menggunakan dalil-dalil ini, para penulis dari mazhab Singapura menyatakan bahwa hak yang universal hanyalah hak-hak inti, contohnya adalah hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam ICCPR, sementara Koh semakin mempersempit cakupan hak-hak inti ini menjadi pelarangan penyiksaan, perbudakan, pembunuhan, dan genosida. Mereka tidak menolak keberadaan hak yang lain, tetapi dari sudut pandang mereka, perbedaan dalam upaya untuk menafsirkan hak-hak tersebut tidak dapat dihindari.{{sfn|Brems|2001|p=43}}
 
Di tingkat internasional, [[Deklarasi Bangkok 1993]] dinilai sebagai ancaman terhadap universalisme. Walaupun negara-negara Asia yang mengeluarkan deklarasi tersebut mengakui bahwa hak asasi manusia bersifat universal, menurut mereka penafsirannya harus mempertimbangkan "kekhususan" nasional dan regional serta berbagai latar belakang sejarah, budaya, dan agama.{{sfn|Brems|2001|p=58}} Kalimat semacam ini kemudian juga dapat ditemui dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia Perbara 2012.{{sfn|Wu|2016|p=277}} [[Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam]] yang ditetapkan pada tahun 1990 oleh [[Organisasi Konferensi Islam]] juga dianggap sebagai salah satu bentuk partikularisme.{{sfn|Brems|2001|p=259}} Di dalamnya tercantum konsep-konsep Islami yang tidak dapat ditemui dalam instrumen-instrumen HAM internasional, seperti Pasal 1(b) tentang amal saleh dan ketakwaan sebagai hal yang dapat membuat seseorang lebih unggul daripada yang lain, Pasal 4 tentang perlindungan jasad dan pemakaman, atau Pasal 22(b) tentang hak untuk membelamelakukan yang[[amar benarmakruf dan memperingatkan yangnahi mungkar]]. Deklarasi ini juga sangat sering mengacu kepada hukum syariah, dan Pasal 1(a) memiliki kekhususan tersendiri karena mengumandangkan bahwa semua manusia disatukan oleh ketundukan kepada Allah dan merupakan keturunan [[Adam]]. Selain itu, beberapa hak yang diakui di tingkat internasional dan regional sama sekali tidak disebutkan dalam deklarasi ini, seperti kebebasan beragama, kebebasan berkumpul dan berserikat, serta pernyataan kesetujuan dari kedua mempelai sebagai syarat perkawinan.{{sfn|Brems|2001|p=260}}
 
Pendekatan partikularisme yang dilandaskan pada perbedaan budaya sendiri telah dikritik karena mengasumsikan bahwa budaya itu bersifat statis dan tidak pernah berubah. Selain itu, pandangan ini seolah memberikan ruang bagi praktik-praktik budaya yang tidak bisa diterima secara etika.{{sfn|Dembour|2010b|p=75-76}} Walaupun begitu, pakar hak asasi manusia asal Belgia, Marie-Bénédicte Dembour, berpendapat bahwa perdebatan antara universalisme dan partikularisme akan selalu muncul setiap kali ada upaya untuk menetapkan suatu standar bersama.{{sfn|Dembour|2010b|p=77}} Dalam yurisdiksi pengadilan HAM Eropa sendiri terdapat sebuah doktrin hukum yang dianggap dapat merukunkan kedua pandangan ini, yaitu doktrin margin apresiasi. Dengan diterapkannya doktrin ini, standar yang sama dapat memiliki penerapan yang berbeda-beda di setiap negara anggota Majelis Eropa. Contohnya adalah dalam kasus [[penistaan agama]]. Pengadilan HAM Eropa memberikan margin apresiasi yang luas kepada negara-negara anggota untuk menentukan cakupan pembatasan terhadap pendapat yang dapat menyinggung agama dalam perkara ''Wingrove v. the United Kingdom'', karena menurut mereka tidak ada satu standar yang seragam di Eropa terkait dengan "perlindungan hak-hak orang lain" sebagai salah satu alasan yang dapat digunakan untuk membatasi hak atas kebebasan berpendapat. Akibatnya, walaupun negara-negara anggota Majelis Eropa secara hukum melindungi kebebasan berpendapat, penerapannya dalam kasus penistaan agama berbeda-beda di setiap negara;{{sfn|Brems|2008|p=66-67}} berbagai negara di Eropa (seperti [[Belanda]] dan [[Britania Raya]]) memperbolehkan pendapat yang secara terang-terangan menghina suatu agama, sementara beberapa negara yang lain diizinkan membatasi pendapat semacam itu dengan menggunakan [[hukum pidana]] (contohnya adalah [[Austria]] dan [[Yunani]]).{{sfn|Gatti|2015|p=49-51}}