Asketisisme: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
Baris 20:
== Asketisme dalam agama ==
[[disiplin|Mendisiplinkan diri sendiri]] dan berpantang dalam bentuk dan pada taraf tertentu adalah bagian dari praktik keagamaan dalam banyak agama dan tradisi kerohanian. Gaya hidup asketis secara khusus dikaitkan dengan para [[rahib|biarawan]], [[biarawati]], dan [[fakir]] dalam [[agama Abrahamik|agama-agama Abrahamis]], serta para [[bhiksu|
=== Agama-agama Abrahamis ===
Baris 72:
Asketisme dijumpai dalam agama-agama India, baik dalam mazhab-mazhab non-teistis maupun mazhab-mazhab teistis. Laku-tirakat sudah ada sejak purbakala dan merupakan suatu warisan milik bersama bagi agama-agama besar India seperti agama Buddha, agama Hindui, dan agama Jaina. Laku tirakat ini sangat mungkin bertumbuh dari sinkretisme ajaran-ajaran [[Weda]] dan [[Sramana]].<ref>{{cite book|author1=Axel Michaels|author2=Barbara Harshav|title=Hinduism: Past and Present|url=https://books.google.com/books?id=jID3TuoiOMQC |year=2004|publisher=Princeton University Press|isbn=0-691-08952-3|page=315}}</ref>
Asketisme dalam agama-agama India meliputi suatu spektrum yang terdiri atas bermacam-macam laku-tirakat, mulai dari tindakan pendisiplinan diri yang lunak, memaksa diri untuk hidup miskin dan bersahaja yang lazim dalam [[agama Buddha]] dan [[agama Hindu]],<ref>{{cite book|author=Richard F. Gombrich|title=Theravada Buddhism: A Social History from Ancient Benares to Modern Colombo|url=https://books.google.com/books?id=KCh-AgAAQBAJ |year=2006|publisher=Routledge|isbn=978-1-134-21718-2 |pages=44, 62 }}</ref><ref name=brsmith144/> sampai dengan laku-tirakat yang jauh lebih berat dan tindakan bermati-raga yang dipraktikkan oleh para biarawan [[Jainisme|agama Jaina]] dan [[Ajiwika]] yang kini sudah punah, demi mencapai keselamatan.<ref name="Dundas2003p180">{{cite book|author=Paul Dundas |title=The Jains|url=https://books.google.com/books?id=X8iAAgAAQBAJ |edition=2nd|year=2003| publisher=Routledge |isbn=978-0415266055 |pages=27, 165–166, 180 }}</ref> Beberapa petarak hidup sebagai petapa yang menyendiri dan menggantungkan hidup pada makanan apa saja yang dapat mereka temukan di dalam hutan, serta tidur dan bersemadi di gua-gua; petarak-petarak lain berkelana dari satu tempat suci ke tempat suci lain sambil meminta-minta sedekah makanan; tetapi ada pula yang tinggal di biara-biara sebagai biarawan atau biarawati.<ref name=axelmichaels316/> Beberapa petarak menjalani hidup selaku pendeta dan juru khotbah, namun ada pula yang bersenjata dan militan,<ref name=axelmichaels316/> untuk mempertahankan diri terhadap aniaya – suatu gejala yang muncul sesudah agama Islam masuk ke India.<ref name=david>David N. Lorenzen (1978), [http://www.jstor.org/stable/600151 Warrior Ascetics in Indian History], Journal of the American Oriental Society, 98(1): 61-75</ref><ref name="pinch">William Pinch (2012), Warrior Ascetics and Indian Empires, Cambridge University Press, (ISBN 978-1107406377)</ref> Tindakan menyiksa diri sendiri adalah laku-tirakat yang relatif tidak lazim tetapi mampu menarik perhatian masyarakat. Dalam tradisi-tradisi India seperti agama Buddha dan agama Hindu, tindakan bermati-raga lazimnya dikecam.<ref name=axelmichaels316>{{cite book|author1=Axel Michaels|author2=Barbara Harshav|title=Hinduism: Past and Present|url=https://books.google.com/books?id=jID3TuoiOMQC |year=2004|publisher=Princeton University Press|isbn=0-691-08952-3|page=316}}</ref> Meskipun demikian, mitos-mitos India juga mengisahkan tentang sejumlah besar dewa maupun iblis yang menjalani tapa-brata berat selama berpuluh-puluh tahun atau selama berabad-abad demi mendapatkan kesaktian-kesaktian istimewa.<ref>{{cite book|author1=Roy C. Amore|author2=Larry D. Shinn|title=Lustful Maidens and Ascetic Kings: Buddhist and Hindu Stories of Life|url=https://books.google.com/books?id=5-7loxsf3WAC |year=1981|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0-19-536535-1 |pages=155–164 }}</ref>
==== Agama Buddha ====
Baris 80:
Menurut Hajime Nakamura dan pakar-pakar lain, beberapa naskah perdana agama Buddha menyiratkan bahwa asketisme merupakan bagian dari praktik agama Buddha pada masa-masa awal keberadaannya, dan bermati-raga merupakan suatu pilihan yang tersedia bagi seorang biarawan agama Buddha dalam olah kerohaniannya.<ref name="Nakamura1980p73">{{cite book|author=Hajime Nakamura |title=Indian Buddhism: A Survey with Bibliographical Notes |url=https://books.google.com/books?id=w0A7y4TCeVQC |year=1980|publisher=Motilal Banarsidass |isbn=978-81-208-0272-8 |pages=73 with footnote 2 }}</ref><ref name="LiuAllinson1988p99">{{cite book|author1=Shuxian Liu|author2=Robert Elliott Allinson|title=Harmony and Strife: Contemporary Perspectives, East & West|url=https://books.google.com/books?id=Je1UbD8Dyj4C |year=1988|publisher=Chinese University Press|isbn=978-962-201-412-1 |pages=99 with footnote 25 }}</ref> Selain itu, dalam hal praktik, catatan-catatan dari sekitar permulaan tarikh Masehi sampai dengan abad ke-19 M menyiratkan bahwa asketisme telah menjadi bagian dari agama Buddha, baik dalam mazhab Theravada maupun mazhab Mahayana.
=====
Bukti-bukti tertulis menyiratkan bahwa laku-tirakat telah menjadi bagian dari tradisi agama Buddha di [[Sri Lanka]] pada abad ke-3 SM, dan tradisi ini berkesinambungan selama Abad Pertengahan berdampingan dengan tradisi kebiaraan langgam ''sangha''.<ref name="Johnston2000p90">{{cite book|author=William M. Johnston |title=Encyclopedia of Monasticism: A-L |url=https://books.google.com/books?id=GfC0TDkJJNgC |year=2000|publisher=Routledge |isbn=978-1-57958-090-2 |pages=90–91 }}</ref>
Dalam mazhab Theravada di [[Thailand]], naskah-naskah Abad Pertengahan memuat warta tentang biku-biku petarak yang berkelana dan tinggal seorang diri di dalam hutan atau krematorium, menjalankan tapa-brata yang berat, dan kelak dikenal dengan sebutan ''Thudong''.<ref>{{cite book|author1=Robert E. Buswell Jr.|author2=Donald S. Lopez Jr.|title=The Princeton Dictionary of Buddhism|url=https://books.google.com/books?id=DXN2AAAAQBAJ|year=2013|publisher=Princeton University Press|isbn=978-1-4008-4805-8|pages=22, 910}}</ref><ref>{{cite book|author=K Tiyavanich|title=Forest Recollections: Wandering Monks in Twentieth-Century Thailand|url=https://books.google.com/books?id=YKwwO5oGXwcC |year=1997|publisher=University of Hawaii Press|isbn=978-0-8248-1781-7 |pages=1–2, 37 }}</ref> Para biku petarak sejak lama sampai sekarang masih dapat dijumpai di [[Myanmar]], dan seperti di Thailand, mereka diketahui menekuni ajaran agama Buddha versi mereka sendiri, dan enggan menerapkan tatanan ''sangha'' yang berhirarki.<ref>{{cite book|author=John Powers|title=The Buddhist World|url=https://books.google.com/books?id=p-uoCgAAQBAJ |year=2015|publisher=Routledge|isbn=978-1-317-42017-0 |pages=83 }}</ref>
=====
Dalam mazhab Mahayana, asketisme bernuansa esoteris dan mistis telah menjadi suatu praktik yang berterima, seperti dalam mazhab Tendai dan Shingon di Jepang.<ref name="Johnston2000p90"/> Laku-tirakat Jepang ini meliputi silih, irit, bersuci di bawah air terjun, These Japanese practices included penancedan upacara-upacara pemurnian diri.<ref name="Johnston2000p90"/> Catatan-catatan Jepang dari abad ke-12 memuat kisah-kisah tentang biku-biku yang menjalankan asketisme berat, sementara catatan-catatan dari abad ke-19 menyiratkan bahwa para biku [[agama Buddha Nichiren|Nichiren]] bangun setiap hari pada tengah malam atau pada pukul 2:00 pagi, dan melaksanakan upacara-upacara memurnikan diri dengan air di bawah curahan air terjun yang dingin.<ref name="Johnston2000p90"/> Praktik-praktik lain mencakup tindakan membatasi diri untuk hanya memakan daun, damar, dan biji [[Tusam]] dalam rangka memumifikasi diri sendiri hidup-hidup, atau ''[[Sokushinbutsu]]'' (''miira'') di Jepang.<ref>Ichiro Hori (1962), [http://www.jstor.org/stable/1062053 Self-Mummified Buddhas in Japan. An Aspect of the Shugen-Dô ("Mountain Asceticism") Sect], History of Religions, Vol. 1, No. 2 (Winter, 1962), pages 222-242</ref><ref>{{cite book|author1=Adriana Boscaro |author2=Franco Gatti |author3=Massimo Raveri |title=Rethinking Japan: Social sciences, ideology & thought |url= https://books.google.com/books?id=kO0tUpCViA8C&pg=PA250 |year=1990 |publisher=Routledge |isbn=978-0-904404-79-1 |page=250}}</ref><ref name="Lobetti2013p130">{{cite book|author=Tullio Federico Lobetti|title=Ascetic Practices in Japanese Religion|url=https://books.google.com/books?id=3W2_AAAAQBAJ |year=2013|publisher=Routledge |isbn=978-1-134-47273-4 |pages=130–136 }}</ref>
Baris 124:
|[[Baudhayana sutra|Baudhayana]] Dharmasūtra| II.10.18.1-10<ref name=mmbd2>[[Max Muller]] (Penerjemah), [https://archive.org/stream/pt2sacredlawsof14bhuoft#page/278/mode/2up Baudhayana Dharmasūtra Prasna II, Adhyaya 10, Kandika 18], [[Sacred Books of the East]], Vol. XIV, Oxford University Press, pages 279-281</ref>}}
Menurut [[Patrick Olivelle]], hal senada juga terdapat dalam [[Nirwana Upanisad]] yang menegaskan bahwa petarak Hindu harus berpendirian bahwa "angkasa adalah keyakinannya, kemutlakan adalah pengetahuannya, kemanunggalan adalah masuk perdananya, welas asih belaka adalah kegemarannya, kebahagiaan adalah kalung bunganya, gua sunyi adalah kawannya", dan seterusnya, sambil melanjutkan usahanya untuk mencapai pengenalan diri sendiri (atau pengenalan jiwa) dan hubungannya dengan konsep metafisika Hindu tentang [[Brahman]].<ref>{{cite book|first=Patrick| last=Olivelle|year=1992|title= The Samnyasa Upanisads|publisher= Oxford University Press|isbn= 978-0195070453|url=https://books.google.com/books?id=fB8uneM7q1cC&pg=PA230|pages =227–235}}</ref> Ciri-ciri perilaku ''Sangnyasi'' lainnya meliputi: [[ahimsa]] (antikekerasan), [[akroda]] (tidak marah sekalipun dijahati orang),<ref>P. 134 ''The rule of Saint Benedict and the ascetic traditions from Asia to the West'' By Mayeul de Dreuille</ref> tidak bersenjata, tidak bersetubuh, tidak menikah, awyati (tidak berhasrat), amati (hidup miskin), mengekang diri, jujur, sarwabutahita (bersikap baik pada segala makhluk), [[asteya]] (tidak mencuri), [[aparigraha]] (tidak tamak), dan [[sauca]] (menjaga kemurnian badan, tutur kata, dan pikiran).<ref name="mdh">Mariasusai Dhavamony (2002), Hindu-Christian Dialogue: Theological Soundings and Perspectives, (ISBN 978-9042015104), page 96-97, 111-114</ref><ref>Barbara Powell (2010), Windows Into the Infinite: A Guide to the Hindu Scriptures, Asian Humanities Press, (ISBN 978-0875730714), pages 292-297</ref>
Naskah abad ke-11, ''Yatidharmasamuccaya'' adalah sebuah naskah Waisnawa yang merangkum segala macam laku-tirakat mazhab Waisnawa dalam agama Hindu.<ref>{{cite book|author1=Yādavaprakāśa|author2=Patrick Olivelle (Translator)|title=Rules and Regulations of Brahmanical Asceticism: Yatidharmasamuccaya of Yādava Prakāśa|url=https://books.google.com/books?id=u43i4TKAIZ4C|year=1995|publisher=State University of New York Press|isbn=978-0-7914-2283-0}}</ref> Dalam agama Hindu, seperti dalam agama-agama India lainnya, baik laki-laki maupun perempuan pernah melibatkan diri dalam bermacam-macam laku-tirakat sepanjang sejarah.<ref name="Leslie1992p212"/>
|