Sejarah Gereja Katolik di Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 18:
Perubahan politik di Belanda, khususnya kenaikan tahta Raja Lodewijk, seorang Katolik, membawa pengaruh yang cukup positif. Kebebasan umat beragama mulai diakui pemerintah. Pada tanggal [[8 Mei]] [[1807]], pimpinan Gereja Katolik di [[Roma]] mendapat persetujuan Raja [[Louis Napoleon]] untuk mendirikan [[Prefektur apostolik|Prefektur Apostolik]] Hindia Belanda di Batavia (lihat: [[Gereja Katedral Jakarta#Sejarah|Sejarah Gereja Katedral Jakarta]])
 
Pada tanggal 4 April 1808,2 orang Imam dari Negeri Belanda tiba di Jakarta, yaitu Pastor [[Jacobus Nelissen]], Pr dan Pastor [[Lambertus Prinsen]], Pr. Yang diangkat menjadi [[Prefektur apostolik|Prefek Apostolik]] pertama adalah Pastor J. Nelissen, Pr.
Pada tanggal 4 April 1808, badak
 
 
 
 
 
 
orang Imam dari Negeri Belanda tiba di Jakarta, yaitu Pastor [[Jacobus Nelissen]], Pr dan Pastor [[Lambertus Prinsen]], Pr. Yang diangkat menjadi [[Prefektur apostolik|Prefek Apostolik]] pertama adalah Pastor J. Nelissen, Pr.
 
Gubernur Jendral [[Daendels]] (1808-1811) berkuasa menggantikan VOC dengan pemerintah [[Hindia Belanda]]. Kebebasan beragama kemudian diberlakukan, walaupun agama Katolik saat itu agak dipersukar. Imam saat itu hanya 5 orang untuk memelihara umat sebanyak 9.000 orang yang hidup berjauhan satu sama lainnya. Akan tetapi pada tahun [[1889]], kondisi ini membaik, di mana ada 50 orang imam di Indonesia. Di daerah [[Yogyakarta]], misi Katolik dilarang sampai tahun [[1891]].