Daftar sosiolog Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Anasluthfi (bicara | kontrib)
Sajogyo, Pembangun Studi Agraria Indonesia
Borgx (bicara | kontrib)
k Suntingan Anasluthfi (bicara) dikembalikan ke versi terakhir oleh 125.160.100.181
Baris 22:
# [[Robert M.Z. Lawang]]
# [[Sajogyo]]
Sajogyo,
Pembangun Studi Agraria Indonesia
 
Sebagai bentuk apresiasi bagi Prof. Dr. Ir. Sajogyo, “Seorang Empu Pemerhati Desa” yang kini berusia 82 tahun, Tempo edisi 30 Juni-06 Juli 2008 menurunkan memoar beliau. Demikian juga yang dilakukan oleh Kompas dengan menganugerahi beliau sebagai Cendekiawan Berkomitmen, bersama 4 cendekiawan lain. Penganugerahan diberikan pada 28 Juni 2008. Di tengah keriuhan berbagai isu yang menerpa bangsa Indonesia, Prof. Sajogyo tetap konsisten dengan perhatiannya pada pertanian dan pedesaan, persoalan yang telah lama diingkari oleh negara agraris ini.
 
Dua Tipe Studi Agraria
Ada dua cara ilmuwan sosial Indonesia dalam memperlakukan ilmu sosial dan realitas pedesaan-pertanian Indonesia. Pertama, menerapkan ilmu ekonomi/sosial/humaniora Barat, kerangka analitik, konstruk, bahkan kategorisasinya dalam menjelas-sederhanakan rumitnya realitas pedesaan-pertanian yang menyejarah di aneka ragam geografis kepulauan Indonesia. Ini kita sebut sebagai studi agraria di/tentang Indonesia (agrarian studies in/on Indonesia). Kedua, berupa cara melihat realitas Indonesia, menghasilkan rumusan teoritis baru dengan memperhadapkan pada rumusan teoritis ilmu sosial Barat, kemudian mengorientasikannya menjadi kebijakan pemerintah, dan juga peningkatan kesadaran masyarakat akan perlunya perubahan. Ini kita sebut studi agraria Indonesia (Indonesian agrarian studies).
Awalnya studi agraria dilakukan terhadap kondisi pedesaan-pertanian di negara jajahan (konteks kolonial). Ilmu ekonomi, sosial dan humaniora merupakan seperangkat bekal yang harus dimiliki para amtenar sebelum mereka ditugaskan mengisi jabatan guna memerintah kaum pribumi terjajah, ataupun untuk mengelola sumber daya negeri jajahan. Ilmu yang mempelajari wilayah dan rakyat di Hindia dinamakan Indologi. Semua calon pejabat kolonial Hindia Belanda wajib mendapat pendidikan Indologi di berbagai universitas Belanda. Buku Kenang-kenangan Pangrehpraja Belanda 1920-1942 (van der Wal, 2001) merupakan sumber yang baik untuk memahami andil tiga universitas besar Belanda, yakni Akademi Kerajaan di Delft, Universitas Leiden, dan Universitas Utrecht dalam mengembangkan Indologi. Para lulusannya banyak menjadi pegawai pangrehpraja di Hindia Belanda.
Dominasi Indologi sebagai suatu aliran ilmu sosial dan humaniora telah ditantang oleh sebagian kecil pembangkangnya. Kita mengenal Multatuli yang mengarang Max Havelaar. Nama aslinya adalah Eduard Douwes Dekker. Ia pernah menjabat sebagai asisten residen Lebak tahun 1856. Melalui novelnya, Multatuli mendokumentasikan realitas eksploitatif oleh bangsa Indonesia sendiri (terutama bupati Karta Nata Negara) dan kolonial di tanah-tanah partikelir.
Realitas penindasan sistematis dan terstruktur itu tidak dapat “dibaca” dan “diterangkan” oleh indologi sebab berada di luar paradigma yang dianut. Indologi yang mempelajari bahasa, hukum adat, antropologi, dan sejarah, mempunyai tujuan utama “bagaimana cara memerintah; ke situlah pendidikan harus diarahkan” (Ibid).
Demikian juga seorang jaksa tinggi di Hindia Belanda bernama Rhemrev. Laporan resminya menceritakan skandal kuli di perkebunan Sumatera Timur (tahun 1900). Hasil penyelidikan Rhemrev berbeda jauh dari tradisi historiografi kolonial yang bergaya “kesuksesan dan jiwa penyelamat kulit putih”.
Sikap kritis dan membangkang juga dialami pemuda Soekarno ketika mendapat pendidikan Indologi di Technische Hoge School (THS), Bandung. Ketika rektor memanggil agar ia tidak aktif di gerakan politik, Soekarno menolaknya. Gerakan politik yang dilakukannya adalah sebuah perlawanan terhadap imperialisme. Dalam pledoi berjudul Indonesia Menggugat (1930) ia menulis bahwa praktek-praktek perusahan partikelir kolonial adalah bagian perilaku dari imperialisme modern yang terdapat empat macam shaktii-nya: Indonesia menjadi negeri diambilnya bekal hidup bangsa Belanda; untuk pabrik-pabrik Eropa; sebagai pasar bermacam industri asing; sekaligus lapangan usaha bagi modal yang ratusan-ribuan-jutaan rupiah jumlahnya.
Pada tahun 1927 Iwa Kusuma Sumantri menulis The Peasant’s Movement in Indonesia. Bukunya berisi tentang perjuangan dan konflik petani melawan perusahaan agribisnis Eropa, beratnya beban pajak, pemilikan tanah yang luas dan para “raja-raja” lokal, aktifitas jahat lintah darat Cina dan para Haji, serta petani tak berpendidikan yang tidak mengetahui hak-hak politiknya.
Prof. Benjamin White dari ISS Belanda mentahbiskan Soekarno dan Iwa Kusuma Sumantri sebagai pelopor studi-studi agraria Indonesia yang berbeda dengan studi-studi agraria di/tentang Indonesia (2006). Studi-studi agraria yang kritis ini bersemi dalam universitas-universitas di Indonesia pasca kemerdekaan dengan sejumlah guru besar yang bersimpati pada cara bagaimana elite terdidik mengisi kemerdekaan. Prof. W.F. Wertheim adalah salah satunya.
 
Sajogyo dan Studi Agraria Indonesia
Sajogyo adalah asisten dan murid Wertheim. Dalam sebuah wawancara, Wertheim menyatakan, “Di mana-mana bersama mahasiswa dan asisten saya, Kampto Oetomo yang sekarang terkenal sebagai Prof. Dr. Ir. Sajogyo, kami melakukan penyelidikan di daerah-daerah pedesaan”. Hasil penelitian itu memberi kesadaran, “Indonesia mempunyai situasi yang sangat banyak perbedaannya antara Jawa dan pulau-pulau luar Jawa, maka menurut saya inisiatif harus ditumbuhkan dari bawah”.
Sajogyo tumbuh, meniti dan menjadi pemimpin studi agraria Indonesia, dimulai dari kampus IPB (Pertanian UI di Bogor). Beliau belajar dari Prof. Teko Sumodiwiryo (ahli penyuluhan yang memajukan koperasi tahun 1930-an), Burger (ahli birokrasi Hindia Belanda/politik), Terra (ahli pekarangan), Bloembergen (ahli botani), dan Timmer (Insinyur Pertanian Wageningen) yang menulis “agronomi sosial”, serta Wertheim (ahli hukum dan sosiologi). Dibesarkan dalam tradisi itu, Sajogyo menyoal ekologi, iklim, biologi yang kesemuanya berada dalam konteks agri-culture (pembudidayaan), serta relasi antara natura dan humana.
Beliau berperan dalam pendirian lembaga Survei Agro Ekonomi yang lahir untuk mengimbangi data makro BPS. Penelitiannya membidik data mikro, melihat lapis paling bawah masyarakat pedesaan: petani gurem. Melihat realitas terbawah tampak gambaran pesismisme: kemiskinan dan diferensiasi sosial yang tajam. Ia terlibat dalam kegiatan Usaha Perbaikan Gizi Keluarga sejak tahun 1963, posyandu, dan taman gizi. Begitu juga rumusan “garis kemiskinan ala Sajogyo” yang didasarkan pada pendapatan “setara beras” (untuk penduduk desa 240 kg/tahun dan 369 kg yang di kota).
Naskahnya berjudul Modernization without Development in Rural Java (1973) adalah kritik program Revolusi Hijau yang alih-alih memeratakan kesejahteraan hingga petani lapis bawah, program itu makin memperkuat polarisasi antara yang miskin dan kaya. Melalui pengantar buku karya Singarimbun dan Penny (1976), beliau memunculkan kembali isu landreform. Ben White menulis “ketika ditanya mengapa memperkenalkan kembali isu landreform, ia menjelaskan kepada penulis bahwa itu dimaksudkan sebagai proefballon, sebuah percobaan” (White: 2002). Lontarannya tidak bersambut di kalangan ilmuwan sosial kala itu.
 
Metodologi Sajogyo
Yang memungkinkan Sajogyo menjadi pelopor studi agraria Indonesia adalah metodologinya. Pertama, pengukuhan otoritas dalam disiplin akademis itu hanya mungkin bila mengkombinasikan beragam disiplin ilmu, mengingat kompleksitas realitas sosial yang tak dapat dibaca bila hanya dengan satu disiplin ilmu. Jawabannya tidaklah semata-mata dapat diatasi dengan sikap eklektik, tapi lebih dari itu adalah suatu kemampuan komprehensif, dalam arti keterkaitan antara satu aspek dengan lainnya. Dengan tegas ia menyatakan “Jika Anda ingin mengerti perekonomian negeri kami, kajilah kebudayaan dan sistem politik kami; jika ingin memahami kebudayaan dan sistem politik kami, kajilah perekonomian kami”.
Kedua, mengotak-kotakkan pemikiran Sajogyo ke dalam slot-slot paradigma sosiologi klasik dan kontemporer bisa jadi keliru. Sebab ia tidak berangkat dari perspektif ilmu Barat, lebih dari itu adalah menjadikan ilmu relevan dan sedekat mungkin pada realitas. Pada titik ini, yang diperlukan bukan sofistikasi teori akan tetapi pada imajinasi yang berfungsi sebagai busur mengarahkan kemana anak panah dibidikkan. Ini disebut Wertheim dalam Elite Perceptions and the Masses (1984) sebagai imajinasi sosiologis, penting artinya untuk menentukan apakah realitas tertentu menjadi terlihat atau tak terlihat (ignorance).
Ketiga, rangkaian akumulatif dari empiri-studi-policy. Karya-karya Prof. Sajogyo berpijak pada kekuatan empiris. Ia lebih sering melakukan falsifikasi teori dengan mengajukan data-data empiris daripada memverifikasinya. Tidak berhenti pada academic exercise, karya-karya beliau selalu memberi semangat kesadaran (dengan demikian perubahan). Pertanyaan khas sampaimana mencerminkan hal itu. Dalam menguji tesis maupun disertasi di IPB, salah satu pertanyaan wajib adalah apa pemikiran peneliti guna memecahkan persoalan (preskriptif) setelah didapatkan uraian-uraiannya (deskriptif).
Keempat, dalam konteks perubahan sosial, kebijakan yang hendak diorientasikan memerlukan kerjasama antar institusi, baik sektor publik, kesukarelawanan, dan privat, sebagaimana uraian Norman Uphoff, Local Institution Development. Bukan dimaksudkan pengetahuan diletakkan secara subordinatif di bawah kepentingan kebijakan (negara dan swasta), justru dengan pengetahuan yang otoritatif akan mampu memandu kedua sektor itu.
Berbagai pengalaman Prof. Sajogyo memberi pemahaman bagi kita pentingnya otoritas pengetahuan yang mampu menembus berbagai level institusi. Ide-ide harus terlembagakan (di universitas, lembaga penelitian, media massa, dan LSM), sampai dengan menjelma menjadi diskursus (mempengaruhi pemerintah). Bila tidak demikian, ia hanya menjadi kata-kata yang akan menguap di telan waktu.
 
Ahmad Nashih Luthfi
Pegiat Lingkar Belajar Bersama Reforma Agraria dan penulis buku Manusia Ulang-Alik: Biografi Umar Kayam
 
 
 
# [[Sediono M.P. Tjondronegoro]]
# [[Selo Soemardjan]]