Gong Nekara: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Penggantian teks otomatis (-Nampak, +Tampak; -nampak, +tampak; -Nampaknya, +Tampaknya; -nampaknya, +tampaknya)
Simpus (bicara | kontrib)
Sabuna menjadi Pao Dg. Mappau, Papaniohea menjadi Papanglohea, Luwuk menjadi Luwu
Baris 9:
[[Berkas:Gong nekara 1.jpg|jmpl|atas perkenan Opu [[Bontobangun, Bontoharu, Kepulauan Selayar|Bontobangun]] Massairang Daeng Mangatta (1895–1936), [[AA Cense]] mengunjungi ''gong nekara'' (Keteltrom) di Bontobangun]]
 
'''Gong Nekara''' terbesar di [[Asia Tenggara]] dan bahkan tertua di dunia<ref name="kompas.com"/> adalah gong nekara yang ada ''di [[Kabupaten Kepulauan Selayar|Pulau Selayar]]''. Menurut informasi dari tetua adat dan penduduk Kelurahan [[Bontobangun, Bontoharu, Kepulauan Selayar|Bontobangun]] ''(tempat ditemukannya gong nekara)'', gong tersebut ditemukan secara tidak sengaja oleh seorang penduduk dari Kampung Rea-Rea yang bernama ''SabunaPao dg. Mappau'' pada tahun [[1686]]. Pada saat itu SabunaPao Dg. Mappau sedang mengerjakan sawah Raja [[Putabangun, Bontoharu, Kepulauan Selayar|Putabangun]] di PapanioheaPapanglohea, tiba-tiba cangkul SabunaPao membentur benda keras yang ternyata adalah hiasan katak yang merupakan bagian dari gong nekara. Sejak berakhirnya Dinasti Putabangun, pada tahun [[1760]] gong nekara tersebut dipindahkan ke Bontobangun dan menjadi kalompoang/arajang ''(benda keramat)'' Kerajaan Bontobangun.
 
Legenda mengenai keberadaan '''Gong Nekara''' di [[Pulau Selayar]] berasal dari 2 (dua) sumber. Sumber yang ''pertama'' yaitu cerita mitos [[Sawerigading]] yang berkembang pada periode [[Galigo]], suatu periode kekuasaan ''manusia dewa'' yang mengatur tata tertib dunia dengan pola kepemimpinan religius kharismatis. Sawerigading ditempatkan sebagai tokoh utama dalam perwujudan tata tertib dan penataan pertama masyarakat [[Bugis]] - [[Makassar]] di [[Sulawesi Selatan]]. Periode Galigo diperkirakan berlangsung sekitar abad ke-7 sampai abad ke-10 tetapi ''[[Christian Pelras]]'' menempatkannya pada sekitar abad ke-12.
Baris 15:
Sumber yang ''kedua'' adalah naskah hukum pelayaran dan perdagangan ''Ammana Gappa'' (abad 17) dimana Pulau Selayar disebut sebagai salah satu daerah tujuan niaga. Letaknya sangat strategis bagi pelayaran yang menuju ketimur maupun ke barat. Dengan demikian Pulau Selayar menjadi bandar transit bagi lalu lintas pelayaran kala itu. Di dalam naskah itu juga disebutkan tentang ''daftar sewa'' bagi orang yang berlayar dari [[Makassar]] ke [[Aceh]], Kedah, Kamboja sewanya 7 rial dari tiap seratus (orang) dan apabila naik dari tempat tersebut menuju Selayar, Malaka, Johor, sewanya 6 rial dari tiap seratus (orang).
 
Dari sumber tersebut memberikan keterangan tentang peranan Pulau Selayar dengan daerah-daerah di Nusantara dan Asia Tenggara. Hal ini memperkuat dugaan bahwa gong nekara mungkin didatangkan dari daratan Asia Tenggara pada waktu pengaruh kebudayaan Cina berkembang di kawasan itu. Menurut cerita yang terkait dengan gong nekara di Pulau Selayar, dikatakan bahwa ketika ''Sawerigading'' bersama isterinya ''(We Cuddai)'' dan ketiga putranya ''(La Galigo, Tenri Dio, dan Tenri Balobo)'' kembali dari Cina, dalam perjalanannya menuju ke [[Luwuk|Luwu]] mereka singgah di Pulau Selayar dan langsung menuju ke suatu tempat yang disebut ''[[Putabangun, Bontoharu, Kepulauan Selayar|Putabangun]]'' dengan membawa sebuah ''nekara perunggu'' yang besar. Di tempat itu mereka dianggap sebagai Tumanurung. Pada saat itulah Tenri Dio dianggapdiangkat menjadi raja pertama di Putabangun dan menempatkan gong nekara itu sebagai kalompoang di Kerajaan Putabangun.
 
Dari cerita itu dapat disimpulkan bahwa '''Gong Nekara''' dibawa dari Cina oleh Sawerigading. Yang dimaksud dengan Cina disini, mungkin adalah ''Indo China''. Selain itu, masyarakat juga menganggap bahwa hanya ada dua gong nekara di dunia, yaitu sebuah di ''[[Pulau Selayar]]'' dan sebuah lagi berada di ''[[Cina]]''. Gong nekara yang ada di Pulau Selayar dianggap sebagai ''suami'' dan yang ada di Cina dianggap sebagai ''isteri''. Hal ini mengingatkan kita pada nekara yang dipuja berpasangan di daerah [[Birma]] yang dipersonifikasikan sebagai pasangan suami isteri. Nekara yang di atasnya terdapat hiasan katak berukuran lebih tinggi melambangkan ''pria'', sedangkan yang tidak memakai hiasan katak dan berukuran lebih kecil dan rendah melambangkan ''wanita''. Dengan demikian tampak adanya persamaan nilai simbolis dari negara penganut kebudayaan perunggu khususnya gong nekara di Indonesia dan Asia Tenggara<ref name="www.katailmu.com"/>.