Zainal Sabaruddin Nasution: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Rachmat-bot (bicara | kontrib)
k cosmetic changes, replaced: dimana → di mana, jaman → zaman, resiko → risiko, nafas → napas
Dari Jurutulis, PETA, Hingga Menjadi Mayor: Perbaikan kesalahan pengetikan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 6:
== Dari Jurutulis, PETA, Hingga Menjadi Mayor ==
 
Zainal Sabaruddin Nasution lahir di Kotaraja, Aceh, pada 1922. Bapaknya seorang jaksa. Ibunya menikah lagi setelah menjanda dengan seorang Belanda bernama Knoop. Mayor Sabaruddin dengan kakak laki-lakinya yang setahun lebih tua, Djalaluddin, tumbuh bersama bapak tirinya. Sesudah menamatkan sekolah menengah pertama (MULO), dia bekerja sebagai jurutulis di kantor Kabupaten Sidoarjo dan sebagai pemegang buku suatu perkebunan tebu. Ada kesaksian yang mengatakan bahwa sesungguhnya Sabaruddin muda sebelum perang kemerdekaan adalah sosok yang pemalu dan penakut. Namun saat Jepang menduduki Indonesia, Diadia sempat mengajukan permohonan untuk mengikuti pendidikan perwira PETA di bogor kepada atasannya, menteri kabupaten Moehammad, namun ditolak karena riwayat pendidikannya yang terhitung rendah. Ketika pada akhirnya Mayor Sabaruddin bergabung dengan PETA, Mayor Sabaruddin kembali bertemu dengan Soerjo, mantan atasannya ketika masih bekerja sebagai jurutulis di kabupaten Sidoarjo. Soerjo merupakan putra Suwongso, seorang pegawai menengah di Kantor Residen Surabaya zaman Belanda. Mereka berada dalam satu batalyon (daidan) PETA, yaitu daidan III Buduran Sidoarjo, pimpinan Mohamad Mangundiprojo. Soerjo jadi Chudancho (komandan kompi) dan Mayor Sabaruddin jadi komandan peleton (Shodancho), namun beda kompi. Seiring perjalanan waktu, di mana saat itu suasana demikian genting karena terjadi perebutan kekuasaan antara pemuda dan Jepang, nama Mayor Sabaruddin pun melejit.
 
Usai proklamasi, Mayor Sabaruddin ditunjuk menjadi komandan Polisi Tentara Keamanan Rakyat (PTKR) karasidenan Surabaya. Mula-mula berpangkat kapten, kemudian mayor. Dia bertugas mengawasi tawanan Jepang, orang-orang Belanda yang meninggalkan kamp dan datang ke Surabaya, serta orang Indonesia yang jadi tahanan.