Dinasti Ayyubiyah: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
HaEr48 (bicara | kontrib)
copyedit,dan ubah Suriah jadi Syam sesuai kebiasaan untuk zaman itu
Baris 49:
|today = {{flag|Mesir}}<br>{{flag|Irak}}<br>{{flag|Israel}}<br>{{flag|Yordania}}<br>{{flag|Lebanon}}<br>{{flag|Libya}}<br>{{flagicon|Palestina}} [[Otoritas Palestina]]<br>{{flag|Arab Saudi}}<br>{{flag|Sudan}}<br>{{flag|Suriah}}<br>{{flag|Tunisia}}<br>{{flag|Turki}}<br>{{flag|Yaman}}
}}
'''Dinasti Ayyubiyah''' atau '''Bani Ayyubiyah''' ({{lang-ar|الأيوبيون}} ''{{transl|ar|al-Ayyūbīyūn}}''; {{lang-ku|خانەدانی ئەیووبیان}} ''{{transl|ku|Xanedana Eyûbiyan}}'') adalah sebuah dinasti Muslim berlatarSunni belakangberetnis [[suku Kurdi|Kurdi]]<ref name="Humphreys1987">{{harvnb|Humphreys|1987}}</ref><ref name="Ozoglu46">{{harvnb|Özoğlu|2004|p=46}}</ref><ref name="Bosworth73">{{harvnb|Bosworth|1996|p=73}}</ref> yang didirikan oleh [[Salahuddin Ayyubi]] dan berpusat di [[Mesir pada Abad Pertengahan|Mesir]]. Dinasti tersebut memerintah sebagian besar wilayah [[Timur Tengah]] pada abad ke-12 dan ke-13. Salahuddin mulai menjabat sebagai wazir di Mesir, pusat kekuasaan [[Kekhalifahan Fatimiyyah|Mesir Fatimiyah]] yang berhaluan Syiah pada tahun 1169. Ia kemudian melengserkan Dinasti Fatimiyah pada tahun 1171. Tiga tahun kemudian, setelah kematian atasannya dari [[Dinasti Zankiyah]], [[Nuruddin Zanki]], Salahuddin dinyatakan sebagai sultan.<ref name="Eiselen89">{{harvnb|Eiselen|1907|p=89}}</ref> Dalam kurun waktu satu dasawarsa kemudian, Ayyubiyah mengobarkan perang penaklukan di wilayah Timur Tengah. Pada tahun 1183, mereka telah menguasai Mesir, [[Bilad al-Syam|SuriahSyam]], [[Mesopotamia]] utara, [[Hijaz]], [[Yaman]], dan pesisir [[Afrika Utara]] hingga mencapai perbatasan [[Tunisia]] modern. Sebagian besar [[Negara-negara Tentara Salib|wilayah Tentara Salib]], termasuk [[Kerajaan Yerusalem]] jatuh ke tangan Salahuddin setelah ia berhasil memperoleh kemenangan yang gemilang dalam [[Pertempuran Hittin]] pada tahun 1187. Namun, [[Tentara Salib]] berhasil merebut kembali wilayah pesisir [[Palestina (kawasan)|Palestina]] pada dasawarsa 1190-an.
 
Setelah Salahuddin menjemput ajalnya pada tahun 1193, putra-putranya saling memperebutkan kekuasaan. Pada akhirnya adik Salahuddin yang bernama [[al-Adil]] berhasil menjadi sultan pada tahun 1200. Semua sultan Ayyubiyah di Mesir pada masa selanjutnya adalah keturunannya. Pada dasawarsa 1230-an, amir-amir (para penguasa kecil) di SuriahSyam mencoba memisahkan diri dari Mesir, dan Kesultanan Ayyubiyah pun terpecah sampaihingga Sultan [[as-Salih Ayyub]] berhasil menyatukannya kembali dengan menaklukkan sebagian besar wilayah SuriahSyam (kecuali [[Aleppo]]) pada tahun 1247. Pada masa yang sama, dinasti-dinasti Muslim setempat telah mengusir Ayyubiyah dari Yaman, Hijaz, dan sebagian wilayah Mesopotamia. Setelah as-Salih Ayyub tutup usia pada tahun 1249, [[al-Mu'azzam Turansyah]] menggantikannya di Mesir. Namun, al-Mu'azzam TuranshahTuransyah dilengserkan tidak lama kemudian oleh para panglima [[Kesultanan Mamluk (Kairo)|Mamluk]] yang sebelumnya berhasil menghalau serangan Tentara Salib ke [[Delta Nil]]. Maka kekuasaan Dinasti Ayyubiyah di Mesir pun berakhir. Upaya para amir SuriahSyam (yang dipimpin oleh [[an-Nasir Yusuf]] dari Aleppo) untuk merebut kembali Mesir juga tidak membuahkan hasil. Pada tahun 1260, [[Kekaisaran Mongol|bangsa Mongol]] [[Pengepungan Aleppo (1260)|menjarah Aleppo]] dan kemudian menaklukkan wilayah-wilayah Ayyubiyah yang tersisa. Kesultanan Mamluk berhasil mengusir bangsa Mongol dan membiarkan seorang penguasa Ayyubiyah berkuasa di [[Hamat]] sampai penguasa terakhir wilayah tersebut dilengserkan oleh Mamluk pada tahun 1341.
 
Walaupun tidak bertahan lama, Dinasti Ayyubiyah telah memajukan ekonomi wilayah yang mereka kuasai. Mereka juga mendukung para cendekiawan dan mendirikan fasilitas-fasilitas pembelajaran yang diperlukan oleh mereka, sehingga mereka berhasil membangkitkan kembali kegiatan keilmuwan di [[dunia Islam]]. Selain itu, Dinasti Ayyubiyah berupaya memperkuat dominasi [[Sunni]] di wilayah mereka dengan mendirikan sejumlah [[madrasah]] di kota-kota besar.
Baris 67:
Pada tahun 1164, Syirkuh ditugaskan oleh [[Nuruddin Zanki]] untuk memimpin pasukan ke Mesir agar [[Tentara Salib]] tidak dapat memperkuat pengaruhnya di wilayah yang sedang dilanda kekacauan tersebut. Syirkuh mengangkat anak laki-laki Ayyub, [[Salahuddin Ayyubi|Salahuddin]], sebagai seorang perwira yang tunduk kepadanya.<ref name="Shillington438">{{harvnb|Shillington|2005|p=438}}</ref> Mereka berhasil mengusir Wazir Dirgham dan mengembalikan wazir Mesir yang sebelumnya, [[Shawar|Syawar]], ke tampuk kekuasaan. Syawar kemudian memerintahkan agar Syirkuh dan pasukannya mundur dari Mesir, tetapi Syirkuh menolak dan mengklaim bahwa Nuruddin ingin agar ia tetap berada di sana.<ref name="LyonsJackson8">{{harvnb|Lyons|Jackson|1982|p=8}}</ref> Dalam kurun waktu beberapa tahun, Syirkuh dan Salahuddin berhasil mengalahkan pasukan gabungan Tentara Salib dan Syawar, mula-mula di [[Bilbais]] dan kemudian di sebuah tempat di dekat [[Giza]]. Salahuddin sendiri ditugaskan untuk mempertahankan kota [[Iskandariyah]] ketika Syirkuh sedang mengejar Tentara Salib di [[Mesir Hilir]].<ref name="LyonsJackson14">{{harvnb|Lyons|Jackson|1982|p=14}}</ref>
 
Syawar tutup usia pada tahun 1169 dan Syirkuh menggantikannya sebagai wazir, tetapi ia menjemput ajalnya pada tahun yang sama.<ref name="LyonsJackson25">{{harvnb|Lyons|Jackson|1982|p=25}}</ref> Salahuddin kemudian diangkat sebagai wazir oleh khalifah [[Kekhalifahan Fatimiyah|Fatimiyah]] [[al-Adid]] karena "tidak ada yang lebih lemah ataupun lebih muda" daripada Salahuddin, dan "tidak ada satu pun amir yang menurutinya atau mengabdi kepadanya", seperti yang dicatat oleh penulis kronik Muslim dari [[Abad Pertengahan]], [[Ibnu al-Atsir]].<ref name="LyonsJackson28">{{harvnb|Lyons|Jackson|1982|p=28}}</ref> Salahuddin kemudian menyadari bahwa kedudukannya menjadi lebih bebas daripada sebelum-sebelumnya, dan hal ini membuat khawatir Nuruddin yang ingin tetap menancapkan pengaruhnya di Mesir. Nuruddin mencoba memicu perpecahan di keluarga Ayyubiyah dengan mengizinkan kakak laki-laki Salahuddin, [[Turansyah]], untuk mendatangi Mesir dan mengawasi Salahuddin. Nuruddin juga memenuhi permintaan Salahuddin agar ayahnya, Ayyub, diperbolehkan pergi ke Mesir. Ayyub sebenarnya dikirim oleh Nuruddin untuk memastikan agar kekuasaan Abbasiyah dapat diproklamasikan di Mesir, sementara Salahuddin enggan melakukan hal tersebut karena ia sedang mengabdi sebagai wazir Dinasti Fatimiyah. Walaupun Nuruddin gagal memicu permusuhan di antara anggota keluarga Ayyubiyah, kerabat jauh keluarga tersebut (khususnya sejumlah gubernur di SuriahSyam) tidak mendukung Salahuddin.<ref name="Lev96-97">{{harvnb|Lev|1999|pp=96–97}}</ref>
 
Salahuddin mengukuhkan kekuasaannya di Mesir setelah ia mengirim Turansyah untuk memadamkan sebuah pemberontakan di [[Kairo]] yang dikobarkan oleh pasukan [[Nubia]] yang berjumlah 50.000 orang di angkatan darat Fatimiyah. Sesudah itu, Salahuddin mulai menganugerahkan jabatan-jabatan tinggi kepada anggota keluarganya, dan ia juga memperkuat pengaruh Sunni di kota Kairo yang didominasi oleh [[Syiah]] pada masa itu dengan memerintahkan pembangunan madrasah [[fikih]] bermazhab [[Maliki]] di kota tersebut dan satu madrasah lain yang bermazhab [[Syafi'i]] di [[al-Fustat]].<ref name="LyonsJackson41">{{harvnb|Lyons|Jackson|1982|p=41}}</ref> Pada tahun 1171, al-Adid wafat dan Salahuddin memanfaatkan kesempatan ini dengan mengambil alih kekuasaan di Mesir. Setelah itu, ia menyatakan kesetiaannya kepada Kekhalifahan Abbasiyah yang beraliran Sunni dan berpusat di [[Baghdad]].<ref name="Shillington438"/>
Baris 87:
Dari Yaman (dan juga dari Mesir), Ayyubiyah mencoba menguasai jalur dagang [[Laut Merah]] dan memperkuat kendali di wilayah Hijaz, yang merupakan tempat berdirinya sebuah pelabuhan dagang penting yang disebut [[Yanbu]].<ref name="Salibi55">{{harvnb|Salibi|1998|p=55}}</ref> Untuk mendukung perdagangan di Laut Merah, Ayyubiyah membangun fasilitas-fasilitas untuk pada pedagang di sepanjang jalur dagang Laut Merah-[[Samudera Hindia]].<ref name="DalyPetry217-218">{{harvnb|Daly|Petry|1998|pp=217–218}}</ref> Dinasti Ayyubiyah juga mencoba memperkuat klaim mereka sebagai [[kekhalifahan]] dengan menegakkan kedaulatan atas kota-kota suci [[Islam]] di [[Mekkah]] dan [[Madinah]].<ref name="Salibi55"/> Secara keseluruhan, penaklukan dan kemajuan ekonomi yang diprakarsai oleh Salahuddin berhasil mengukuhkan hegemoni Mesir di wilayah Arabia barat.<ref name="DalyPetry217-218"/>
 
==== Penaklukan SuriahSyam dan Mesopotamia ====
Walaupun secara resmi masih menjadi [[vasal]] [[Nuruddin]], Salahuddin memberlakukan kebijakan luar negeri yang semakin independen. Kemerdekaan ini semakin menjadi jadi setelah kematian Nuruddin pada tahun 1174.<ref name="Shillington438"/> Salahuddin lalu merebut wilayah SuriahSyam dari tangan [[Dinasti Zankiyah]], dan pada 23 November, ia disambut di [[Damaskus]] oleh gubernur kota tersebut. Pada tahun 1175, ia merebut [[Hamat]] dan [[Homs]], namun tidak berhasil menguasai kota [[Aleppo]] setelah sempat melancarkan pengepungan.<ref name="Lane-Poole141">{{Harvnb|Lane-Poole|1906|p=141}}</ref> Kendali atas kota Homs diserahkan kepada keturunan Syirkuh pada tahun 1179, sementara kota Hamat diberikan kepada keponakan Salahuddin, al-Muzaffar Umar.<ref name="Lane-Poole189476">{{harvnb|Lane-Poole|1894|p=76}}</ref> Keberhasilan Salahuddin membuat takut Amir [[Ghazi II Saifuddin|Saifuddin]] dari [[Mosul]] yang merupakan kepala Dinasti Zankiyah pada masa itu. Ia menganggap SuriahSyam sebagai wilayah keluarganya, dan ia juga marah setelah mendengar kabar bahwa wilayah tersebut direbut oleh bekas bawahan Nuruddin. Ia mengerahkan pasukannya untuk melawan Salahuddin di dekat Hamat. Meskipun kalah jumlah, Salahuddin dan para prajurit veterannya berhasil mengalahkan pasukan Zankiyah.<ref name="Lane-Poole141"/> Setelah itu, ia menyatakan dirinya sebagai raja dan menghilangkan nama [[ash-Shalih Ismail al-Malik]] (putra remaja Nuruddin) dari salat-[[salat Jumat]] dan koin Islam, dan menggantikannya dengan namanya sendiri. Khalifah Abbasiyah [[al-Mustadi]] menyambut keberhasilan Salahuddin dan memberinya gelar "Sultan Mesir dan SuriahSyam".<ref name="Lane-Poole1906p142-146">{{harvnb|Lane-Poole|1906|pp=142–146}}</ref>
 
Pada musim semi tahun 1176, Dinasti Zankiyah dan Ayyubiyah kembali berseteru, kali ini di [[Tall Sultan]] yang berjarak 15 km dari Aleppo. Salahuddin berhasil memenangkan pertempuran tersebut, tetapi Saifuddin masih dapat melarikan diri. Pasukan Ayyubiyah kemudian menaklukkan kota-kota lainnya di SuriahSyam, yakni [[Ma'arat an-Numan]], [[A'zaz]], Buza'a, dan [[Manbij]]. Walaupun mereka gagal merebut kota Aleppo selama pengepungan kedua, Ayyubiyah menandatangani sebuah perjanjian yang menyatakan bahwa gubernur Aleppo [[Gumushtigin]] dan sekutu-sekutunya di [[Hisn Kayfa]] dan [[Mardin]] mengakui Salahuddin sebagai penguasa berdaulat di SuriahSyam, dan sebagai gantinya Gumushtigin dan as-Salih al-Malik diperbolehkan melanjutkan kekuasaan mereka di Aleppo.<ref name="Lane-Poole1906p146-148">{{harvnb|Lane-Poole|1906|pp=146–148}}</ref>
 
Saat Salahuddin sedang berada di SuriahSyam, Mesir diperintah oleh saudaranya, [[al-Adil]].<ref name="Lev22">{{harvnb|Lev|1999|p=22}}</ref> Pada tahun 1174–75, [[Kanz ad-Dawlah]] dari Aswan memberontak melawan Ayyubiyah karena ia ingin membangkitkan lagi Dinasti Fatimiyah. Ia mendapatkan dukungan dari suku-suku Badui setempat dan juga dari orang-orang Nubia, serta dari kelompok-kelompok lain seperti [[orang Armenia]]. Pada saat yang sama (entah kebetulan atau memang disengaja), para pemberontak yang dipimpin oleh [[Abbas bin Syadzi]] berhasil menguasai kota [[Qus]] di tepi [[Sungai Nil]] di Mesir tengah. Kedua pemberontakan tersebut dapat dipadamkan oleh al-Adil.<ref name="Lev100-101">{{harvnb|Lev|1999|pp=100–101}}</ref> Pada akhir tahun 1175 dan awal tahun 1176, Qaraqusy terus melakukan penjarahan di Afrika Utara bagian barat, sehingga Dinasti Ayyubiyah mulai berkonflik dengan [[Muwahhidun]] yang berkuasa di wilayah [[Arab Maghrib|Maghrib]].<ref name="Lev101"/>
 
Pada tahun 1177, Salahuddin memimpin pasukan yang berjumlah sekitar 26.000 orang (menurut seorang penulis kronik dari pihak [[Tentara Salib]], [[Willelmus Tyrensis]]) ke wilayah Palestina selatan setelah ia mendengar kabar bahwa sebagian besar prajurit [[Kerajaan Yerusalem]] sedang mengepung kota [[Harim]] di sebelah utara Aleppo. Pasukannya tiba-tiba diserang oleh [[Kesatria Kenisah]] (yang dipimpin oleh [[Baudouin IV dari Yerusalem]]) di dekat [[Ramla]]. Akibatnya, pasukan Ayyubiyah mengalami kekalahan dalam [[Pertempuran Montgisard]] dan sebagian besar dari antara mereka gugur dalam pertempuran tersebut. Pada tahun berikutnya, Salahuddin dan pasukannya berkemah di Homs, dan lalu terjadi pertempuran-pertempuran kecil antara pasukannya (yang dipimpin oleh [[Farrukhsyah]]) melawan Tentara Salib.<ref name="Lane-Poole1906p155-156">{{harvnb|Lane-Poole|1906|pp=155–156}}</ref> Salahuddin tetap tak gentar dan ia lalu menyerbu [[negara-negara Tentara Salib]] dari barat dan mengalahkan Baudouin dalam [[Pertempuran Marj Ayyun]] pada tahun 1179. Pada tahun berikutnya, ia menghancurkan kastil [[Gesher Benot Ya’aqov|Chastellet]] (yang baru saja dibangun oleh Tentara Salib) dalam [[Pertempuran Arungan Yakub]]. Kemudian, selama perang yang berlangsung pada tahun 1182, Salahuddin kembali berhadapan dengan pasukan Baudouin dalam [[Pertempuran Kastil Belvoir (1182)|Pertempuran Kastil Belvoir]] di [[Kaukab al-Hawa]].<ref name="Smail35-36">{{harvnb|Smail|1995|pp=35–36}}</ref>
Baris 118:
Putra-putra Salahuddin kemudian saling memperebutkan wilayah Ayyubiyah. Salahuddin sebelumnya telah mengangkat al-Afdal sebagai pemimpin wilayah Damaskus dengan tujuan agar putranya tetap menganggap kota tersebut sebagai tempat tinggal utamanya, sehingga ia dapat terus mengutamakan [[jihad]] melawan negara-negara Tentara Salib. Namun, al-Afdhal mendapati bahwa posisinya di Damaskus justru malah merugikan dirinya. Beberapa amir yang sebelumnya tunduk kepada ayahnya meninggalkan kota tersebut dan mendatangi Kairo untuk meminta Utsman agar ia menjatuhkan al-Afdhal dengan alasan bahwa al-Afdal adalah seorang pemimpin yang tidak berpengalaman. Al-Adil kemudian meminta Utsman untuk mengambil tindakan agar ketidakcakapan al-Afdal tidak membahayakan Dinasti Ayyubiyah. Maka dari itu, pada tahun 1194, Utsman secara terbuka menuntut jabatan sultan. Wilayah Damaskus lalu diserang beberapa kali pada tahun 1196, sehingga al-Afdal terpaksa meninggalkan wilayah tersebut dan harus puas dengan jabatan yang lebih rendah di [[Salkhad]]. Di Damaskus, Al-Adil menjadi letnan Utsman, dan ia menjadi tokoh yang sangat berpengaruh di Dinasti Ayyubiyah.<ref name="Burns179"/>
 
Setelah Utsman meninggal akibat kecelakaan saat sedang berburu di dekat Kairo, al-Afdal kembali menjadi sultan (meskipun putra Utsman, al-Manshur, sempat menjadi pemegang gelar penguasa di Mesir) saat al-Adil sedang sibuk berperang di timur laut. Sekembalinya dari sana, al-Adil berhasil menduduki [[Benteng Damaskus]], tetapi kemudian menghadapi serangan dari pasukan gabungan al-Afdal dengan saudaranya, az-Zahir dari Aleppo. Pasukan gabungan tersebut pada akhirnya bubar, dan pada tahun 1200, al-Adil kembali melancarkan serangan.<ref name="Burns180">{{harvnb|Burns|2005|p=180}}</ref> Pada saat yang sama, dua klan ''[[mamluk]]'' (prajurit budak) ikut terlibat dalam konflik. Kedua klan tersebut adalah Asadiya dan Salahiya, dan anggota dari kedua klan tersebut sebelumnya dibeli oleh Syirkuh dan Salahuddin. Salahiya mendukung al-Adil dalam perang melawan al-Afdhal. Berkat dukungan dari mereka, al-Adil dapat menaklukkan Kairo pada tahun 1200<ref name="RichardBirrell241">{{harvnb|Richard|Birrell|1999|p=241}}</ref> dan mengasingkan al-Afdhal.<ref name="Burns180"/> Ia lalu menyatakan dirinya sebagai Sultan Mesir dan SuriahSyam dan memercayakan wilayah Damaskus kepada al-Mu'azzam serta wilayah al-Jazira kepada putranya yang lain, [[al-Kamil]].<ref name="RichardBirrell241"/> Selain itu, pada sekitaran tahun 1200, seorang [[syarif]] yang bernama [[Qatadah bin Idris]] merebut kekuasaan di Mekkah dan diangkat sebagai amir di kota tersebut oleh al-Adil.<ref name="Salibi55"/>
 
Al-Afdal berupaya merebut kembali Damaskus untuk yang terakhir kalinya, tetapi upaya tersebut tidak membuahkan hasil. Al-Adil memasuki kota tersebut pada tahun 1201.<ref name="Burns180"/> Semenjak itu, pemerintahan Ayyubiyah dikuasai oleh garis keturunan al-Adil dan bukan lagi oleh garis keturunan Salahuddin.<ref name="Burns180"/> Namun, az-Zhahir masih menguasai kota Aleppo, sementara kota [[Samosata]] di Anatolia diberikan kepada al-Afdal.<ref name="RichardBirrell241"/> Al-Adil membagi-bagi wilayahnya kepada anak-anaknya: al-Kamil akan menggantikannya di Mesir, [[al-Asyraf]] akan memperoleh al-Jazira, dan [[al-Awhad Ayyub|al-Awhad]] dianugerahi kawasan [[Diyar Bakr]], tetapi kawasan tersebut kemudian diberikan kepada al-Asyraf setelah kematian al-Awhad.<ref name="RichardBirrell241"/>
Baris 135:
Di sebelah timur, [[Kekaisaran Khwarezmia|Dinasti Khwarezmia]] di bawah kepemimpinan [[Jalauddin Mingburnu]] merebut kota [[Ahlat|Khilat]] dari tangan al-Asyraf.<ref name="RichardBirrell315">{{harvnb|Richard|Birrell|1999|p=315}}</ref> Sementara itu, [[Dinasti Rasuliyah]] (yang sebelumnya merupakan bani yang setia) mulai mengambil alih wilayah Ayyubiyah di [[Arabia]]. Pada tahun 1222, Dinasti Ayyubiyah mengangkat pemimpin Rasuliyah Ali bin Rasul sebagai gubernur Mekkah. Pemerintahan Ayyubiyah di Yaman dan Hijaz sendiri terus melemah, dan gubernur Yaman Ayyubiyah, Mas'ud bin Kamil, terpaksa bertolak ke Mesir pada tahun 1223. Untuk mengisi kekosongan, ia mengangkat Nuruddin Umar sebagai wakilnya.<ref name="Ali84"/> Pada tahun 1224, sebuah dinasti al-Yamani berhasil menguasai wilayah [[Hadramaut]]. Kendali Ayyubiyah di wilayah itu sendiri memang lemah akibat kesulitan dalam memerintah wilayah utama Yaman.<ref name="Brice338">{{harvnb|Brice|1981|p=338}}</ref> Kemudian, setelah wafatnya Mas'ud bin Kamil pada tahun 1229, Nuruddin Umar mengangkat dirinya sebagai penguasa Yaman yang merdeka dan tidak lagi membayarkan upeti tahunan kepada pemerintah Ayyubiyah di Mesir.<ref name="Ali84">{{harvnb|Ali|1996|p=84}}</ref>
 
Dinasti Ayyubiyah juga masih menghadapi ancaman dari Eropa. Kaisar [[Friedrich II, Kaisar Romawi Suci|Friedrich II]] mengobarkan [[Perang Salib Keenam]] yang berupaya memanfaatkan perselisihan antara al-Kamil dari Mesir dengan al-Mu'azzam dari SuriahSyam.<ref name="Shillington438"/> Al-Kamil kemudian menawarkan kota Yerusalem kepada Friedrich untuk menghindari serangan SuriahSyam ke Mesir, tetapi Friedrich menolak tawaran tersebut mentah-mentah. Posisi Al-Kamil menguat setelah al-Mu'azzam tutup usia pada tahun 1227 dan digantikan oleh putranya, [[an-Nasir Dawud]]. Al-Kamil melanjutkan perundingan dengan Friedrich II di Akko pada tahun 1228, dan akhirnya mereka menandatangani perjanjian gencatan senjata pada Februari 1229. Perjanjian tersebut menyerahkan kota Yerusalem yang tidak dibentengi kepada Tentara Salib selama lebih dari sepuluh tahun, tetapi pada saat yang sama juga menjamin kendali Muslim atas tempat-tempat suci Islam di kota tersebut.<ref name="MeriBacharach84"/> Meskipun perjanjian tersebut sama sekali tidak berarti dari sudut pandang militer, an-Nasir Dawud memanfaatkannya untuk membangkitkan amarah rakyat SuriahSyam, dan konon khotbah Jumat yang disampaikan oleh seorang khatib yang terkenal di [[Masjid Agung Umayyah]] di Damaskus telah membuat para penyimaknya "meraung-raung dan menangis".<ref name="Burns184">{{harvnb|Burns|2005|p=184}}</ref>
 
Selain perjanjian dengan Tentara Salib, muncul juga usulan kesepakatan untuk memberikan wilayah Damaskus kepada al-Asyraf yang telah mengakui kedaulatan al-Kamil. An-Nasir Dawud menolak kesepakatan tersebut, terutama mengingat bahwa ia masih marah dengan gencatan senjata antara Dinasti Ayyubiyah dengan Tentara Salib.<ref name="Burns184"/> Pasukan Al-Kamil mengepung kota Damaskus untuk menegakkan usulan kesepakatan tersebut pada Mei 1229. Pengepungan tersebut sangat berdampak terhadap kehidupan kota, tetapi rakyat malah berpihak kepada an-Nasir Dawud dan mengecam perjanjian dengan Friedrich. Walaupun begitu, an-Nasir Dawud mengajak berdamai setelah satu bulan berlalu. Kota Damaskus kemudian diberikan kepada al-Asyraf, sementara an-Nasir Dawud mendapatkan wilayah baru yang berpusat di Karak.<ref name="Burns185">{{harvnb|Burns|2005|p=185}}</ref>
Baris 141:
Sementara itu, [[Kesultanan Seljuk Raya|pasukan Seljuk]] bergerak menuju wilayah al-Jazira,<ref name="RichardBirrell322">{{harvnb|Richard|Birrell|1999|p=322}}</ref> sedangkan para keturunan Qatada bin Idris berperang melawan pemimpin-pemimpin Ayyubiyah di Mekkah. Konflik di Mekkah dimanfaatkan oleh Dinasti Rasuliyah yang ingin melengserkan kekuasaan Ayyubiyah di Hijaz. Mereka pada akhirnya berhasil mengambil alih wilayah tersebut pada tahun 1238 setelah Nuruddin Umar merebut kota Mekkah.<ref name="Salibi55"/><ref name="Ali84"/>
 
==== Perpecahan SuriahSyam-Mesir ====
Pemerintahan Al-Asyraf di Damaskus berjalan stabil, tetapi Al-Asyraf dan amir-amir lainnya di SuriahSyam ingin memerdekakan diri dari Kairo. Di tengah kericuhan tersebut, al-Asyraf meninggal dunia pada Agustus 1237 setelah mengidap penyakit selama empat bulan. Ia digantikan oleh saudaranya, [[as-Salih Ismail, Amir Damaskus|as-Salih Ismail]]. Dua bulan kemudian, pasukan Mesir yang dipimpin oleh al-Kamil mengepung Damaskus, tetapi as-Salih Ismail sudah menghancurkan daerah pinggiran kota tersebut agar pasukan al-Kamil tidak dapat menemukan tempat bernaung.<ref name="Burns186">{{harvnb|Burns|2005|p=186}}</ref> Pada tahun 1232, al-Kamil mengangkat putra sulungnya, [[as-Salih Ayyub]], sebagai penguasa Hisn Kayfa. Namun, setelah al-Kamil wafat pada tahun 1238, as-Salih Ayyub mempertentangkan pengangkatan adiknya [[al-Adil II]] sebagai sultan di Kairo. As-Salih Ayyub pada akhirnya berhasil menduduki kota Damaskus pada Desember 1238, tetapi kota tersebut lalu direbut kembali oleh pamannya as-Salih Ismail pada September 1239. Sepupu Ismail, an-Nasir Dawud, kemudian memerintahkan penahanan Ismail di Karak agar Ismail tidak dapat ditangkap oleh al-Adil II. Ismail bersekutu dengan Dawud, dan Dawud membebaskannya pada tahun berikutnya, sehingga ia dapat menyatakan dirinya sebagai sultan pengganti al-Adil II pada Mei 1240.
 
Pada awal dasawarsa 1240-an, as-Salih Ayyub melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang pernah mendukung al-Adil II, dan ia kemudian bertikai dengan an-Nasir Dawud. As-Salih Ayyub dan Ismail juga sama-sama mencoba mendapatkan dukungan dari Tentara Salib.<ref name="RichardBirrell328">{{harvnb|Richard|Birrell|1999|p=328}}</ref> Pada tahun 1244, as-Salih Ismail bersekutu dengan Tentara Salib, dan pasukan mereka berhadapan dengan pasukan gabungan antara as-Salih Ayyub dan Khwarezmia di [[Hirbiya]] di dekat Gaza. Maka meletuslah [[Pertempuran La Forbie]]. Pertempuran tersebut berhasil dimenangkan oleh as-Salih Ayyub, dan kota Yerusalem pun [[Pengepungan Yerusalem (1244)|mengalami kehancuran]].<ref name="RichardBirrell330">{{harvnb|Richard|Birrell|1999|p=330}}</ref>
 
==== Kembalinya persatuan ====
Pada tahun 1244–1245, as-Salih Ayyub telah merebut wilayah [[Tepi Barat]] dari an-Nasir Dawud. Ia juga berhasil menguasai Yerusalem, dan kota Damaskus kemudian dapat diambil alih dengan mudah pada Oktober 1245.<ref name="RichardBirrell330"/> Tak lama setelah itu, Saifuddin Ali menyerahkan wilayah miliknya di [[Ajlun]] kepada as-Salih Ayyub. Persekutuan antara Khwarezmia dengan as-Salih Ayyub juga bubar, dan pasukan Khwarezmia kemudian dihancurkan oleh pasukan amir Ayyubiyah di Homs, [[al-Mansur Ibrahim]], pada Oktober 1246.<ref name="RichardBirrell330"/> Berkat kekalahan Khwarezmia, as-Salih Ayyub dapat menaklukkan seluruh wilayah SuriahSyam selatan.<ref name="Humphreys288">{{harvnb|Humphreys|1977|p=288}}</ref> Panglimanya yang bernama Fakhruddin lalu menundukkan wilayah-wilayah an-Nasir Dawud. Ia menjarah kota Karak, dan kemudian mengepung bentengnya yang terletak di atas bukit. Kebuntuan kemudian terjadi karena pasukan an-Nasir Dawud dan Fakhruddin sama-sama tidak dapat mengungguli yang lainnya. Mereka kemudian memuat kesepakatan yang menyatakan bahwa an-Nasir Dawud diperbolehkan mempertahankan bentengnya, tetapi ia harus menyerahkan wilayahnya yang lain kepada as-Salih Ayyub. Setelah menyelesaikan urusan di Palestina dan Transyordania, pasukan Fakhruddin bergerak ke arah [[Busra]] di utara, yang merupakan tempat terakhir yang masih dikuasai oleh as-Salih Ismail. Saat kota tersebut sedang dikepung, Fakhruddin jatuh sakit, tetapi para komandannya melanjutkan serangan mereka hingga kota tersebut jatuh pada Desember 1246.<ref name="Humphreys290">{{harvnb|Humphreys|1977|p=290}}</ref>
 
Pada Mei 1247, as-Salih Ayyub menjadi penguasa wilayah SuriahSyam yang terletak di sebelah selatan [[Danau Homs]] setelah berhasil menguasai [[Banyas]] dan Salkhad. Maka musuh-musuh as-Salih Ayyub dari pihak Ayyubiyah semuanya sudah ditundukkan (kecuali Aleppo yang masih dikuasai [[an-Nasir Yusuf]]), alhasil as-Salih Ayyub mulai melancarkan serangan terhadap Tentara Salib dan mengirim Fakhruddin untuk memimpin pasukan ke wilayah Tentara Salib di Galilea. [[Tiberias]] berhasil direbut pada tanggal 16 Juni. [[Gunung Tabor]] dan [[Kaukab al-Hawa]] juga jatuh ke tangan Ayyubiyah tidak lama sesudahnya. Kota [[Safad]] dengan benteng Kesatria Kenisahnya tampaknya tidak dapat direbut, sehingga pasukan Ayyubiyah bergerak ke arah selatan menuju Ashkelon. Walaupun Tentara Salib memberikan perlawanan yang sengit, armada Mesir dikirim oleh as-Salih Ayyub untuk membantu pasukan Ayyubiyah. Pada tanggal 24 Oktober, pasukan Fakhruddin berhasil menembus tembok kota dan membunuh atau menawan semua garnisun Tentara Salib. Kota tersebut kemudian dihancurkan dan yang tersisa hanyalah puing-puing.<ref name="Humphreys290"/>
 
As-Salih Ayyub kembali ke Damaskus untuk melihat perkembangan situasi di SuriahSyam utara. Al-Asyraf Musa dari Homs menyerahkan benteng [[Salamiyah]] kepada as-Salih Ayyub pada musim dingin sebelumnya. Hal ini membuat khawatir an-Nasir Yusuf di Aleppo, karena ia menduga bahwa kota tersebut akan dijadikan pangkalan militer untuk merebut Aleppo. Maka An-Nasir Yusuf memutuskan untuk mengambil alih kota Homs pada musim dingin tahun 1248. Kota tersebut menyerah pada bulan Agustus, dan an-Nasir Yusuf berhasil memaksa al-Asyraf Musa untuk menyerahkan kota Homs. Sebagai gantinya, al-Asyraf Musa masih diperbolehkan berkuasa di sekitaran [[Tadmur]] dan Tall Basyir di [[Gurun Suriah]]. As-Salih Ayyub mengirim Fakhruddin untuk menaklukkan kembali Homs, tetapi Aleppo mengambil tindakan balasan dengan mengirim pasukan ke [[Kafartab|Kafr Tab]] di sebelah selatan kota Aleppo.<ref name="Humphreys293-295">{{harvnb|Humphreys|1977|pp=293–295}}</ref> An-Nasir Dawud meninggalkan Karak untuk mendukung an-Nasir Yusuf di Aleppo, tetapi saat ia sedang tidak berada di Karak, saudara-saudaranya al-Amjad Hasan dan az-Zahir Shadhi menawan calon pewarisnya, al-Mu'azzam Isa, dan kemudian mendatangi perkemahan as-Salih Ayyub di [[al-Mansourah]] di Mesir untuk menawarkannya kekuasaan atas Karak asalkan mereka mendapatkan kepemilikan di Mesir. As-Salih Ayyub menyetujui tawaran tersebut dan mengutus [[kasim]] Badruddin Sawabi sebagai gubernur Karak.<ref name="Humphreys297">{{harvnb|Humphreys|1977|p=297}}</ref>
 
=== Kejatuhan ===
 
==== Kebangkitan Mamluk dan lepasnya wilayah Mesir ====
Pada tahun 1248, armada Tentara Salib yang terdiri dari 1800 perahu dan kapal mendatangi pulau [[Siprus]] dengan maksud untuk menaklukkan Mesir sebagai bagian dari [[Perang Salib Ketujuh]]. Komandan mereka, [[Louis IX dari Prancis|Louis IX]], mencoba mengajak bangsa [[Kekaisaran Mongol|Mongol]] melancarkan serangan yang terkoordinasi ke Mesir, tetapi ajakan tersebut tidak membuahkan hasil. Maka Tentara Salib memutuskan untuk berlayar ke Dimyath dan penduduk setempat langsung melarikan diri setelah mereka mendarat. ash-Shalih Ayyub sendiri sedang berada di SuriahSyam pada saat itu. Setelah mendengar kabar mengenai serangan tersebut, ia bergegas kembali ke Mesir, tetapi ia tidak mendatangi Dimyath. Ia pergi ke Manshurah dan di situ ia mengumpulkan pasukan yang melancarkan serangan-serangan untuk mengganggu Tentara Salib.<ref name="Ali35">{{harvnb|Ali|1996|p=35}}</ref>
 
Ash-Shalih Ayyub jatuh sakit dan kesehatannya makin menurun akibat tekanan dari Tentara Salib. Istrinya yang bernama [[Syajaruddur]] menyerukan pertemuan para panglima dan kemudian ia menjadi panglima tertinggi pasukan Mesir. Syajaruddur memerintahkan agar Mansurah dibentengi, dan juga agar persediaan-persediaan ditimbun di tempat tersebut. Selain itu, ia menitahkan agar pasukan Mesir dipusatkan di Mansurah, dan ia juga mengatur armada Mesir dan menempatkannya di berbagai tempat strategis di sepanjang Sungai Nil. Maka upaya Tentara Salib untuk merebut Mansurah berhasil dipatahkan, dan Raja Louis tiba-tiba menghadapi situasi yang genting. Ia memutuskan untuk menyeberangi Sungai Nil dan melancarkan serangan kejutan terhadap Mansurah. Sementara itu, ash-Shalih Ayyub tutup usia. Walaupun begitu, panglima-panglima [[dinasti Bahri|Mamluk Bahri]] yang tunduk kepada Syajaruddur dan as-Salih Ayyub (termasuk [[Baibars|Ruknuddin Baibars]] dan [[Aybak]]) melancarkan serangan balasan dan menimbulkan korban jiwa yang besar di pihak Tentara Salib. Pada saat yang sama, pasukan Mesir memutus jalur persediaan Tentara Salib dari Dimyath, sehingga bala bantuan tidak dapat didatangkan. Anak laki-laki As-Salih Ayyub yang baru saja dinyatakan sebagai sultan Ayyubiyah yang baru, [[al-Mu'azzam Turansyah]], juga berhasil mencapai Mansurah pada saat itu dan [[Pertempuran Al Mansurah|semakin memperhebat pertempuran]] melawan Tentara Salib. Tentara Salib akhirnya menyerah dalam [[Pertempuran Fariskur]], dan Raja Louis dan para pengikutnya ditangkap.<ref name="Ali36">{{harvnb|Ali|1996|p=36}}</ref>
Baris 163:
 
==== Kekuasaan Aleppo ====
An-Nasir Yusuf ingin mengembalikan kekuasaan para keturunan Salahuddin,<ref name="Tabbaa29-30">{{harvnb|Tabbaa|1997|pp=29–30}}</ref> dan kemudian ia menggalang dukungan dari semua amir Ayyubiyah di SuriahSyam untuk merebut kembali Mesir dari cengkeraman Mamluk. Pada tahun 1250, ia berhasil merebut Damaskus dengan mudah. Wilayah an-Nasir Yusuf pun terbentang dari [[Khabur (Efrat)|Sungai Khabur]] di Mesopotamia utara hingga [[Semenanjung Sinai]] (kecuali Hamat dan Transyordania). Setelah mendengar kabar tentang kematian al-Mu'azzam Turansyah dan kenaikan takhta Syajaruddur, an-Nasir Yusuf menyerang Mesir pada Desember 1250. Pasukan An-Nasir Yusuf jauh lebih besar dan memiliki persenjataan yang lebih baik daripada pasukan Mesir. Pasukan An-Nasir Yusuf terdiri dari pasukan Aleppo, Homs, Hama, dan pasukan anak-anak Salahuddin yang masih hidup, Nusrat al-Din dan Turansyah bin Salahuddin.<ref name="Humphreys316">{{harvnb|Humphreys|1977|p=316}}</ref> Namun, pasukan an-Nasir Yusuf berhasil dikalahkan oleh pasukan Aybak. An-Nasir Yusuf kemudian kembali ke SuriahSyam, dan wilayah tersebut kemudian secara perlahan terlepas dari kendalinya.<ref name="Tabbaa29-30"/>
 
Mamluk bersekutu dengan Tentara Salib pada Maret 1252 dan mereka kemudian bersama-sama mengobarkan perang melawan an-Nasir Yusuf. Raja Louis (yang telah dibebaskan setelah pembunuhan al-Mu'azzam Turansyah) memimpin pasukannya ke Jaffa, sementara Aybak memutuskan untuk mengirim pasukannya ke Gaza. Setelah mendengar kabar mengenai persekutuan tersebut, an-Nasir Yusuf memindahkan pasukannya ke [[Tall al-Ajjul]] di luar kota Gaza agar pasukan Mamluk tidak dapat bertemu dengan Tentara Salib. Pasukan Ayyubiyah yang lainnya ditempatkan di [[Lembah Yordania (Timur Tengah)|Lembah Yordania]]. Aybak dan an-Nasir Yusuf sadar bahwa perang di antara mereka akan sangat menguntungkan Tentara Salib, sehingga mereka menerima mediasi dari Abbasiyah yang dilaksanakan oleh Najmuddin al-Badhirai. Pada April 1253, ditandatangani sebuah perjanjian yang menyatakan bahwa Mamluk akan tetap menguasai seluruh Mesir serta wilayah Palestina hingga mencapai (tetapi tidak termasuk) Nablus. Perjanjian tersebut juga memastikan kekuasaan an-Nasir Yusuf di SuriahSyam. Akibatnya, kekuasaan Ayyubiyah di Mesir secara resmi berakhir.<ref name="Humphreys322-323">{{harvnb|Humphreys|1977|pp=322–323}}</ref> Setelah konflik antara Mamluk dan Ayyubiyah kembali memanas, al-Badhirai mengatur perumusan perjanjian lainnya, kali ini memberikan wilayah kekuasaan Mamluk di Palestina dan [[al-Arish]] di Sinai kepada an-Nasir Yusuf. Namun, an-Nasir Yusuf malah mengangkat seorang Mamluk yang bernama Kutuk sebagai penguasa Yerusalem, sementara Nablus dan [[Jenin]] diberikan kepada Baibars.<ref name="Humphreys328">{{harvnb|Humphreys|1977|p=328}}</ref>
 
Masa pemerintahan an-Nasir Yusuf menjadi masa yang tenang selama lebih dari satu tahun setelah penetapan kesepakatan dengan Mamluk. Pada tanggal 11 Desember 1256, ia mengirim dua utusan ke ibu kota Abbasiyah di Baghdad agar ia dapat diangkat sebagai "sultan" secara resmi oleh khalifah [[al-Musta'sim]]. Akan tetapi, Mamluk sudah mengirim utusan ke Baghdad terlebih dahulu untuk memastikan agar an-Nasir Yusuf tidak dianugerahi gelar tersebut, sehingga al-Musta'sim sulit untuk memutuskan.<ref name="Humphreys328"/>
 
Pada awal tahun 1257, Aybak dibunuh akibat persekongkolan, dan ia digantikan oleh putranya yang masih berumur 15 tahun, [[al-Mansur Ali]], sementara [[Qutuz|Saifuddin Qutuz]] menjadi tokoh yang sangat berpengaruh di pemerintahan. Tak lama sesudahnya, muncul desas-desus mengenai persekongkolan yang lain yang konon terkait dengan an-Nasir Yusuf. Wazir Syarifuddin al-Fa'izi dituduh terlibat dalam persekongkolan tersebut dan ia tewas dicekik oleh aparat Mesir. Anggota kelompok Bahri Mamluk di SuriahSyam yang dipimpin oleh Baibars kemudian meminta an-Nasir Yusuf untuk melakukan campur tangan dengan menyerang Mesir, tetapi ia menolak mengambil tindakan, karena ia takut bahwa Dinasti Bahri akan menjatuhkannya jika mereka berhasil menguasai Mesir.
 
==== Kemerdekaan Karak ====
Baris 178:
 
==== Serangan bangsa Mongol dan kejatuhan Dinasti Ayyubiyah ====
[[Berkas:Mongol raids in Syria and Palestine 1260.svg|jmpl|ka|250px|Penaklukan wilayah Ayyubiyah di SuriahSyam oleh bangsa Mongol]]
Ayyubiyah telah berada di bawah kedaulatan bangsa Mongol semenjak pasukan Mongol menyerang wilayah-wilayah Ayyubiyah di Anatolia pada tahun 1244. An-Nasir Yusuf mengirim duta besar ke ibu kota Mongol di [[Karakorum]] pada tahun 1250 tak lama setelah ia naik ke tampuk kekuasaan. Namun, perdamaian di antara mereka tidak berlangsung lama, karena Khan Agung [[Möngke Khan|Möngke]] memberikan arahan kepada saudaranya, [[Hulagu Khan|Hulagu]], untuk memperluas wilayah hingga mencapai Sungai Nil. Hulagu pun menghimpun 120.000 tentara untuk melaksanakan tugas ini. Pada tahun 1258, ia berhasil merebut Baghdad dan membantai para penduduknya, termasuk Khalifah al-Musta'sim dan sebagian besar anggota keluarganya.<ref name="Burns195-196">{{harvnb|Burns|2005|pp=195–196}}</ref> Pada tahun yang sama, bangsa Mongol merebut Diyar Bakr dari Ayyubiyah.<ref name="DumperStanley128">{{harvnb|Dumper|Stanley|2007|p=128}}</ref>
 
An-Nasir Yusuf kemudian mengirim seorang utusan untuk menghadap Hulagu, dan utusan tersebut menegaskan bahwa an-Nasir Yusuf menolak tunduk kepada Mongol. Hulagu tidak dapat menerima hal tersebut, sehingga an-Nasir Yusuf memohon bantuan dari Kairo. Permohonan tersebut bertepatan dengan berlangsungnya sebuah kudeta yang dilancarkan oleh kelompok Mamluk terhadap sisa-sisa kepemimpinan Ayyubiyah di Mesir. [[Qutuz]] kemudian menjadi sultan di Mesir. Sementara itu, pasukan Ayyubiyah dikumpulkan di [[Barzeh, Suriah|Birzeh]] (tepat di sebelah utara Damaskus) untuk mempertahankan kota tersebut dari serangan bangsa Mongol yang sedang bergerak menuju SuriahSyam utara. [[Pengepungan Aleppo (1260)|Aleppo kemudian dikepung]] selama seminggu, dan pada Januari 1260, kota tersebut jatuh ke tangan bangsa Mongol. [[Masjid Agung Aleppo|Masjid Agung]] dan [[Benteng Aleppo]] dihancurkan dan sebagian besar penduduknya dibunuh atau dijual sebagai budak.<ref name="Burns197"/> Kehancuran kota Aleppo membuat panik kaum Muslim SuriahSyam. Amir Ayyubiyah di Homs, al-Asyraf Musa, menawarkan persekutuan dengan bangsa Mongol ketika pasukan Mongol sedang mendekati kota tersebut, dan Hulagu kemudian mengizinkan sang amir untuk tetap berkuasa di Homs. Kota Hamat juga menyerah tanpa perlawanan, tetapi mereka tidak bersekutu dengan Mongol.<ref name="Grousset362">{{harvnb|Grousset|2002|p=362}}</ref> An-Nasir Yusuf sendiri memutuskan untuk melarikan diri dari Damaskus untuk mencari perlindungan di Gaza.<ref name="Burns197">{{harvnb|Burns|2005|p=197}}</ref>
 
Hulagu bertolak ke Karakorum dan menugaskan [[Kitbuqa]], seorang panglima [[Kristen Nestorian]], untuk melanjutkan perang penaklukan. Damaskus menyerah setelah kedatangan pasukan Mongol, tetapi kota tersebut tidak dihancurkan seperti kota-kota Muslim lainnya yang telah ditaklukan oleh Mongol. Sementara itu, dari Gaza, an-Nasir Yusuf berhasil menggerakkan garnisun di Benteng Damaskus untuk memberontak melawan penjajah Mongol. Mongol membalasnya dengan melancarkan serangan artileri besar-besaran ke benteng tersebut. Ketika garnisun tersebut sadar bahwa an-Nasir Yusuf tak dapat menyelamatkan mereka, mereka memutuskan untuk menyerah.<ref name="Burns197"/>
 
Tentara Mongol lalu menaklukkan Samaria, membantai sebagian besar garnisun Ayyubiyah di Nablus, dan kemudian bergerak ke arah selatan hingga ke Gaza tanpa menghadapi perlawanan yang berarti. An-Nasir Yusuf kemudian ditangkap oleh pasukan Mongol dan dimanfaatkan untuk meyakinkan garnisun di Ajlun untuk menyerah. Sesudah itu, seorang gubernur Ayyubiyah yang bernama [[Banyas]] bersekutu dengan Mongol.<ref name="Grousset362"/> Maka Mongol telah menguasai sebagian besar wilayah SuriahSyam dan al-Jazira, sehingga mengakhiri kekuasaan Ayyubiyah di wilayah tersebut. Pada tanggal 3 September 1260, pasukan Mamluk yang berpusat di Mesir pimpinan Qutuz dan [[Baibars]] berani menantang bangsa Mongol dan berhasil mengalahkan pasukan Mongol dalam [[Pertempuran Ain Jalut]]. Lima hari kemudian, pasukan Mamluk merebut kota Damaskus. Dalam waktu sebulan, sebagian besar wilayah SuriahSyam berhasil dikuasai oleh Bahri Mamluk.<ref name="Burns197"/> Sementara itu, an-Nasir Yusuf dibunuh saat masih ditawan oleh bangsa Mongol.<ref name="AbulafiaMcKitterickFouracre616">{{harvnb|Abulafia|McKitterick|Fouracre|2005|p=616}}</ref>
 
=== Sisa-sisa dinasti ===
Banyak amir Ayyubiyah di SuriahSyam yang dicela oleh Qutuz karena telah bersekutu dengan bangsa Mongol. Namun, al-Asyraf Musa telah mengkhianati Mongol dan membantu Mamluk di Ain Jalut, sehingga ia diperbolehkan meneruskan kekuasaannya di Homs. Sementara itu, Al-Mansur dari Hamat sedari awal sudah bertempur bersama dengan Mamluk,<ref name="AbulafiaMcKitterickFouracre616"/> alhasil Hamat tetap diperintah oleh keturunan Ayyubiyah dari pihak al-Muzaffar Umar. Setelah al-Asyraf Musa wafat pada tahun 1262, sultan Mamluk yang baru, Baibars, mengambil alih kota Homs. Pada tahun berikutnya, al-Mughith Umar diperdaya oleh Mamluk, sehingga ia menyerahkan Karak kepada Baibars dan juga dihukum mati tak lama sesudahnya karena ia pernah membantu bangsa Mongol.<ref name="AbulafiaMcKitterickFouracre616"/>
 
Penguasa Ayyubiyah yang terakhir di Hamat tutup usia pada tahun 1299, dan Hamat kemudian sempat dikuasai oleh Mamluk. Namun, pada tahun 1310, sultan Mamluk [[an-Nasir Muhammad]] memberikan Hamat kepada salah satu anggota Dinasti Ayyubiyah yang dikenal sebagai ahli geografi dan penulis, [[Abu al-Fida]]. Abu al-Fida wafat pada tahun 1331 dan digantikan oleh putranya, [[al-Afdal Muhammad]]. Hubungan al-Afdal Muhammad dengan Mamluk pada akhirnya memburuk, sehingga ia dicabut dari jabatannya pada tahun 1341 dan kota Hamat secara resmi dikuasai oleh Mamluk.<ref name="DumperStanley163">{{harvnb|Dumper|Stanley|2007|p=163}}</ref>
Baris 197:
=== Struktur ===
[[Berkas:Ayyubid Az Zahir 1204 Aleppo.jpg|jmpl|ka|Sebuah koin Ayyubiyah yang dicetak di Aleppo dengan nama Amir [[az-Zahir Ghazi|al-Zahir]]]]
Salahuddin membentuk struktur pemerintahan yang berasaskan kedaulatan kolektif: ia membentuk sebuah [[konfederasi]] yang terdiri dari berbagai wilayah yang disatukan oleh gagasan pemerintahan keluarga. Berdasarkan sistem ini, terdapat sejumlah "sultan kecil", sementara salah satu anggota keluarga Ayyubiyah akan menjadi ''as-Sultan al-Mu'azzam'', yaitu pemegang jabatan tertinggi. Setelah kematian Salahuddin, jabatan yang amat didambakan tersebut diperebutkan oleh anggota keluarga Ayyubiyah. Persaingan yang terjadi di antara anggota Bani Ayyubiyah di Mesir dan SuriahSyam menjadi begitu sengit sampai-sampai salah satu dari antara mereka kadang-kadang akan bekerja sama dengan Tentara Salib.<ref name="Jackson36"/> Kedua wilayah itu sendiri memiliki gaya pemerintahan yang berbeda. Di SuriahSyam, setiap kota besar diperintah oleh seorang anggota keluarga Ayyubiyah yang relatif independen, sementara di Mesir, terdapat tradisi pemerintahan tersentralisasi yang memungkinkan kendali langsung atas provinsi-provinsi lain dari ibu kota di Kairo.<ref name="HouraniRuthven131">{{harvnb|Hourani|Ruthven|2002|p=131}}</ref> Namun, Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad masih memegang hegemoni di wilayah Ayyubiyah, terutama di [[Asia Barat Daya]]. Contohnya, hakim kepala Damaskus masih diangkat oleh Abbasiyah pada masa kekuasaan Ayyubiyah.<ref name="Jackson36">{{harvnb|Jackson|1996|p=36}}</ref>
 
Kekuasaan politik terpusat di rumah tangga Ayyubiyah yang tidak hanya terikat oleh hubungan darah; budak dan orang-orang terdekat dapat memperoleh kekuasaan yang besar atau bahkan yang tertinggi. Seringkali ibu kandung seorang penguasa Ayyubiyah yang masih muda bertindak secara independen atau bahkan sebagai penguasa. Para [[kasim]] juga memiliki kekuasaan yang besar di Ayyubiyah. Mereka berperan sebagai pengiring dan ''[[atabeg]]'' di dalam rumah tangga atau sebagai amir dan panglima pasukan di luar rumah tangga. Salah satu pendukung Salahuddin yang paling penting adalah kasim [[Bahauddin bin Syaddad]] yang membantunya melengserkan Fatimiyah, merampas harta benda mereka, dan membangun tembok benteng Kairo. Sepeninggalan al-Aziz Utsman, Bahauddin menjadi wali anak laki-laki Utsman, al-Mansur, sehingga ia sempat menguasai Mesir hingga al-Adil naik ke tampuk kekuasaan. Sultan-sultan berikutnya mengangkat kasim sebagai wali sultan dan bahkan menganugerahi mereka dengan kedaulatan atas kota-kota tertentu, seperti Syamsuddin Sawab yang dianugerahi kota [[Amid]] dan Diyar Bakr pada tahun 1239.<ref name="DalyPetry239-240">{{harvnb|Daly|Petry|1998|pp=239–240}}</ref>
Baris 206:
 
=== Pusat pemerintahan ===
Pusat pemerintahan Ayyubiyah dari masa pemerintahan Salahuddin pada dasawarsa 1170-an hingga akhir masa pemerintahan al-Adil pada tahun 1218 terletak di kota Damaskus. Kota tersebut lebih strategis dalam upaya untuk mengalahkan Tentara Salib, dan juga memungkinkan sultan mengawasi bawahan-bawahannya yang cukup ambisius di SuriahSyam dan al-Jazira. Kairo terlalu jauh untuk dijadikan pangkalan operasi, tetapi kota tersebut merupakan landasan ekonomi Dinasti Ayyubiyah. Maka dari itu, kota ini merupakan wilayah yang sangat penting.<ref name="Jackson36"/> Ketika Salahuddin dinyatakan sebagai sultan di Kairo pada tahun 1171, ia memilih Istana Barat Kecil yang dibangun oleh Fatimiyah (bagian dari kompleks istana yang lebih besar di Kairo yang terpisah dari perkotaan) sebagai pusat pemerintahan. Salahuddin sendiri tinggal di bekas istana wazir Fatimiyah, Turansyah menetap di bekas tempat tinggal pangeran Fatimiyah, dan ayah mereka menduduki [[Anjungan]] Mutiara yang berada di luar Kairo dan menghadap ke terusan kota. Sultan-sultan Ayyubiyah berikutnya di Mesir tinggal di Istana Barat Kecil.<ref name="Lev11">{{harvnb|Lev|1999|p=11}}</ref>
 
Setelah al-Adil I memperoleh kekuasaan di Kairo, dimulailah persaingan antara kota Damaskus dan Kairo untuk menjadi ibu kota Dinasti Ayyubiyah. Pada masa kekuasaan al-Adil dan al-Kamil, Damaskus masih menjadi provinsi otonom dan penguasanya berhak memilih penerus mereka sendiri, tetapi pada masa kepemimpinan as-Salih Ayyub, kampanye-kampanye militer melawan SuriahSyam mengakibatkan penurunan status Damaskus menjadi [[vasal]] Kairo.<ref name="Jackson37">{{harvnb|Jackson|1996|p=37}}</ref> Selain itu, Ayyub menetapkan aturan-aturan pemerintahan yang baru untuk melakukan sentralisasi terhadap rezimnya; ia memberikan jabatan-jabatan terpenting kepada orang-orang terdekatnya dan bukan kepada kerabat-kerabat Ayyubiyahnya. Sebagai contoh, istrinya yang bernama Syajaruddur mengurus pemerintahan di Mesir ketika Ayyub sedang berada di SuriahSyam. Ayyub mendelegasikan kekuasaannya kepada anaknya yang sudah meninggal, Khalil, dan Syajaruddur secara resmi bertindak atas nama Khalil.<ref name="VermeulenDeSmetVanSteenbergen211-212">{{harvnb|Vermeulen|De Smet|Van Steenbergen|2001|pp=211–212}}</ref>
 
== Demografi ==
Baris 219:
Arabisasi yang berlangsung di keluarga penguasa Ayyubiyah sangat berbeda dengan pasukan mereka yang tidak memiliki kesatuan budaya. Orang-orang Turki dan Kurdi mendominasi kavaleri, sementara kelompok nomaden [[orang Turkmen|Turkmen]] dan Arab mengisi satuan-satuan infanteri. Kelompok-kelompok nomaden tersebut biasanya menetap di padang rumput di luar kota, sehingga mereka terpisah dari kehidupan perkotaan yang kental dengan budaya Arab. Berkat pemisahan ini, mereka masih dapat mempertahankan tradisi mereka.<ref name="Tabbaa31">{{harvnb|Tabbaa|1997|p=31}}</ref> Diduga Salahuddin berbicara dalam bahasa Turki kepada para panglima militernya.<ref name="France84"/> Seperti Bani Fatimiyah, para penguasa Ayyubiyah di Mesir tetap mempertahankan pasukan ''[[mamluk]]'' (budak militer) dalam jumlah besar. Pada paruh pertama abad ke-13, pasukan ''mamluk'' kebanyakan berasal dari golongan Turk [[Kipchak]] dan [[Adighe]], dan terdapat bukti kuat yang menunjukkan bahwa pasukan tersebut masih menuturkan [[bahasa Kipchak]].<ref name="Catlos425">{{harvnb|Catlos|1997|p=425}}</ref><ref name="Flinterman16-17">{{harvnb|Flinterman|2012|pp=16–17}}</ref>
 
Sebagian besar penduduk SuriahSyam pada abad ke-12 memeluk agama [[Islam Sunni]], dan biasanya mereka memiliki latar belakang Arab atau Kurdi. Terdapat juga komunitas Muslim [[Syiah]] [[Dua Belas Imam]], [[Druze]], dan [[Alawit]]. Penganut Islam beraliran [[Ismailiyah]] berjumlah kecil dan kebanyakan berdarah [[orang Persia|Persia]], dan mereka datang dari wilayah [[Alamut]]. Kebanyakan dari mereka tinggal di wilayah pegunungan di dekat pesisir SuriahSyam utara.<ref name="Willey41">{{harvnb|Willey|2005|p=41}}</ref> Terdapat pula komunitas [[Kristen]] dalam jumlah yang besar di SuriahSyam utara, Palestina, Transyordania, dan Mesopotamia Hulu. Mereka menuturkan [[bahasa Aram]] dan merupakan penduduk asli wilayah tersebut. Kebanyakan dari mereka mengikuti [[Gereja Ortodoks Suryani]]. Mereka tinggal di desa-desa Kristen atau desa-desa dengan campuran penduduk Muslim dan Kristen. Mereka juga menetap di biara-biara dan kota-kota kecil. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka tampaknya hidup rukun dengan tetangga-tetangga Muslim mereka. Secara ideologis, mereka dipimpin oleh [[Patriark Antiokhia]].<ref name="Baer2-3">{{harvnb|Baer|1989|pp=2–3}}</ref>
 
Di Yaman dan Hadramaut, sebagian besar penduduknya menganut agama [[Islam Syiah]] bermazhab [[Zaidiyah]]. Wilayah Mesopotamia Hulu dihuni oleh orang-orang Kurdi dan Turki yang beragama Islam Sunni, meskipun terdapat juga minoritas [[Yazidi]] dalam jumlah yang besar. Orang [[Yahudi]] tersebar luas di wilayah-wilayah Islam, dan sebagian besar kota Ayyubiyah memiliki komunitas Yahudi, karena orang Yahudi berperan penting dalam bidang perdagangan, produksi, keuangan, dan pengobatan. Di Yaman dan beberapa wilayah di SuriahSyam, orang Yahudi juga tinggal di permukiman pedesaan. Amir Ayyubiyah di Yaman pada tahun 1197–1202, al-Malik Mu'izz Isma'il, pernah mencoba memaksa orang Yahudi Aden masuk Islam, tetapi upaya ini dihentikan setelah sang amir menjemput ajalnya pada tahun 1202. Di kalangan Yahudi sendiri (terutama di Mesir dan Palestina) terdapat minoritas [[Yahudi Karait|Karait]].<ref name="HouraniRuthven96-97"/>
 
Di Mesir, terdapat komunitas [[Kristen Koptik]], [[Melkit]], [[orang Turki|Turki]], [[orang Armenia|Armenia]], dan [[orang kulit hitam]] [[Afrika]]. Orang Armenia dan orang kulit hitam merupakan kelompok yang berjumlah yang besar di wilayah [[Mesir Hulu]]. Pada masa Bani Fatimiyah, kaum non-Muslim di Mesir pada umumnya hidup sejahtera kecuali pada masa pemerintahan Khalifah [[Al-Hakim bi-Amr Allah|al-Hakim]]. Namun, setelah Syirkuh menjadi wazir, dikeluarkan sejumlah titah yang merugikan penduduk non-Muslim. Setelah kedatangan pasukan ekspedisi SuriahSyam (yang terdiri dari orang [[Turk Oghuz]] dan Kurdi) ke Mesir, kelompok minoritas juga mengalami penindasan, baik yang beragama Islam maupun yang beragama lain.<ref name="Lev192"/> Insiden-insiden tersebut terjadi saat Syirkuh dan Salahuddin menjadi wazir di Fatimiyah.<ref name="Lev192"/>
 
Pada permulaan masa pemerintahan Salahuddin sebagai sultan di Mesir, berdasarkan masukan dari penasihatnya yang bernama Qadi al-Fadil, orang Kristen dilarang bekerja di bidang administrasi keuangan, tetapi berbagai amir Ayyubiyah masih mengizinkan orang Kristen bekerja di pemerintahan. Sejumlah aturan lainnya juga diberlakukan, seperti pelarangan terhadap konsumsi alkohol, prosesi keagamaan, dan pembunyian lonceng gereja. Orang-orang Kristen yang sebelumnya berpangkat tinggi juga masuk Islam bersama dengan anggota keluarga mereka pada masa awal pemerintahan Ayyubiyah.<ref name="Lev187-189">{{harvnb|Lev|1999|pp=187–189}}</ref> Menurut sejarawan Yaakov Lev, penindasan yang dialami oleh non-Muslim menimbulkan beberapa dampak permanen terhadap mereka, tetapi dampaknya terbatas di tingkatan daerah.<ref name="Lev192">{{harvnb|Lev|1999|p=192}}</ref> Sementara itu, untuk mengurus perdagangan di Laut Tengah, Bani Ayyubiyah mengizinkan orang-orang [[Eropa]] (khususnya [[orang Italia]], tetapi termasuk juga [[bangsa Prancis|orang Prancis]] dan [[Katalunya]]) bermukim di [[Iskandariyah]] dalam jumlah yang besar. Namun, setelah meletusnya [[Perang Salib Kelima]], 3.000 pedagang di kawasan tersebut ditangkap atau diusir.<ref name="DalyPetry231"/>
Baris 230:
 
=== Jumlah penduduk ===
Belum ada angka yang dapat menunjukkan secara pasti jumlah penduduk di wilayah kekuasaan Ayyubiyah. Colin McEvedy dan Richard Jones menyatakan bahwa pada abad ke-12, SuriahSyam memiliki jumlah penduduk sebesar 2,7 juta, Palestina dan Transyordania dihuni oleh 500.000 orang, dan Mesir memiliki populasi di bawah 5 juta.<ref name="Shatzmiller57-58">{{harvnb|Shatzmiller|1994|pp=57–58}}</ref> Josiah C. Russel menyatakan bahwa pada periode yang sama, terdapat 2,4 juta orang yang tinggal di 8.300 desa di SuriahSyam, sehingga terdapat sekitar 230.000–300.000 orang yang menetap di sepuluh kota, delapan di antaranya adalah kota Muslim yang berada di bawah kekuasaan Ayyubiyah. Kota terbesar di wilayah Ayyubiyah adalah [[Edessa, Mesopotamia|Edessa]] (pop.&nbsp;24.000), Damaskus (pop.&nbsp;15.000), Aleppo (pop.&nbsp;14.000), dan Yerusalem (pop.&nbsp;10.000). Kota-kota kecil lainnya meliputi Homs, Hamat, Gaza, dan [[Hebron]].<ref name="Shatzmiller59-60">{{harvnb|Shatzmiller|1994|pp=59–60}}</ref>
 
Russel memperkirakan jumlah penduduk di wilayah pedesaan Mesir berjumlah 3,3 juta di 2.300 desa, sehingga pedesaan Mesir pada masa itu memiliki kepadatan yang tinggi. Menurutnya, hal ini dimungkinkan oleh produktivitas lahan yang tinggi, sehingga hasil panen pun meningkat. Sementara itu, jumlah penduduk di wilayah perkotaan lebih rendah, yaitu 233.100 jiwa atau sekitar 5,7% jumlah penduduk di Mesir. Kota-kota terbesarnya adalah Kairo (pop.&nbsp;60.000), Iskandariyah (pop.&nbsp;30.000), [[Qus]] (pop.&nbsp;25.000), Dimyath (pop.&nbsp;18.000), [[Fayyum]] (pop.&nbsp;13.000), dan [[Bilbais]] (pop.&nbsp;10.000). Sejumlah kota kecil berada di pinggiran Sungai Nil. Kota-kota kecil tersebut adalah [[Damanhur]], [[Asyut]], dan [[Tanta]]. Kota-kota di Mesir juga padat penduduk, khususnya akibat urbanisasi dan industrialisasi yang lebih besar daripada tempat lainnya.<ref name="Shatzmiller59-60"/>
Baris 236:
== Ekonomi ==
[[Berkas:Egyptian vase MBA Lyon 1939-10.jpg|jmpl|ka|Salah satu contoh kriya tembikar Ayyubiyah yang berasal dari Mesir]]
Setelah berhasil mengusir Tentara Salib dari sebagian besar wilayah SuriahSyam, Dinasti Ayyubiyah memberlakukan kebijakan perdamaian dengan mereka. Perang melawan Tentara Salib juga sama sekali tidak menghentikan hubungan dagang dengan negara-negara Eropa. Malahan hubungan ekonomi di antara mereka bermanfaat bagi kedua belah pihak, khususnya dalam bidang pertanian dan perdagangan.<ref name="Ali37">{{harvnb|Ali|1996|p=37}}</ref>
 
Dinasti Ayyubiyah telah mengambil berbagai tindakan untuk meningkatkan produksi pertanian. Terusan-terusan digali untuk menyediakan irigasi di berbagai wilayah kekaisaran. Pembudidayaan [[tebu]] secara resmi didukung untuk memenuhi permintaan yang besar dari penduduk setempat maupun dari bangsa Eropa. Sementara itu, akibat Perang Salib, berbagai jenis tanaman dari wilayah Ayyubiyah menyebar ke Eropa, seperti [[wijen]], ''[[Ceratonia siliqua|carob]]'', [[milet]], beras, lemon, melon, [[aprikot]], dan bawang merah.<ref name="Ali37"/>
Baris 244:
Permintaan dari Eropa terhadap produk-produk pertanian dan komoditas-komoditas industri telah menggairahkan perdagangan internasional. Dinasti Ayyubiyah berperan penting dalam hal ini, karena mereka menguasai jalur dagang di [[Laut Merah]] yang melewati pelabuhan-pelabuhan di Yaman dan Mesir.<ref name="Ali37"/> Walaupun Dinasti Ayyubiyah bekerja sama dengan [[Republik Genova]] dan [[Republik Venesia|Venesia]] di [[Laut Tengah]], kedua negara tersebut tidak dapat mengakses Laut Merah. Oleh sebab itu, Dinasti Ayyubiyah dapat memperoleh keuntungan dari perdagangan di [[Samudra Hindia]] tanpa diganggu oleh mereka. Di Laut Tengah, Dinasti Ayyubiyah sangat diuntungkan dari pajak dan komisi yang mereka pungut dari orang-orang Italia.<ref name="Ali38">{{harvnb|Ali|1996|p=38}}</ref>
 
Seiring dengan perkembangan perdagangan internasional, asas-asas dasar kredit dan perbankan mulai dikembangkan. Para pedagang [[Yahudi]] dan Italia memiliki agen-agen perbankan di SuriahSyam yang melaksanakan transaksi bisnis. Wesel juga digunakan untuk bertransaksi, sementara uang disimpan di bank-bank di SuriahSyam. Kegiatan perdagangan dan industri telah memasok dana yang diperlukan oleh sultan-sultan Ayyubiyah untuk memenuhi kebutuhan perbelanjaan militer serta untuk pembangunan. Pada masa kekuasaan al-Adil dan al-Kamil, pemerintah sangat memperhatikan kondisi ekonomi negara. Al-Kamil bahkan sangat ketat dalam mengatur pengeluaran negara; konon saat ia menjemput ajalnya, ia meninggalkan kas yang nilainya setara dengan anggaran setahun penuh.<ref name="Ali38"/>
 
== Pendidikan ==
Para penguasa Ayyubiyah merupakan orang-orang yang terdidik dan mereka mendukung kegiatan belajar mengajar. Madrasah-madrasah dibangun di wilayah Ayyubiyah tidak hanya untuk mendidik siswa, tetapi juga untuk menyebarkan agama Islam Sunni. Menurut [[Ibnu Jubayr]], kota Damaskus pada masa pemerintahan Salahuddin memiliki 20 madrasah, 100 tempat pemandian, serta biara-biara [[darwis]] [[Sufi]] dalam jumlah yang besar. Ia juga membangun madrasah-madrasah di Aleppo, Yerusalem, Kairo, Iskandariyah, dan berbagai kota di Hijaz. Banyak pula madrasah yang dibangun oleh para penerusnya. Bahkan istri para penguasa Ayyubiyah, para panglima, dan para bangsawan juga ikut mendirikan dan mendanai sejumlah lembaga pendidikan.<ref name="Ali38"/>
 
Meskipun para penguasa Ayyubiyah mengikuti [[mazhab]] [[Mazhab Syafi'i|Syafi'i]], mereka juga membangun madrasah-madrasah untuk keempat mazhab Sunni. Sebelum Bani Ayyubiyah berkuasa, tidak ada madrasah yang beraliran Hanbali dan Maliki di SuriahSyam, tetapi Bani Ayyubiyah kemudian mendirikan sekolah-sekolah khusus untuk mazhab-mazhab tersebut. Pada pertengahan abad ke-13, [[Bahauddin bin Syaddad|Ibnu Syaddad]] mendirikan 40 madrasah Syafi'i, 34 madrasah [[Hanafi]], 10 madrasah Hanbali, dan tiga madrasah Maliki di Damaskus.<ref name="Ali39">{{harvnb|Ali|1996|p=39}}</ref>
 
Setelah Salahuddin menegakkan kembali agama Sunni di Mesir, 10 madrasah didirikan di Kairo pada masa kekuasaannya, ditambah dengan 25 madrasah lainnya pada masa penguasa-penguasa setelah Salahuddin. Madrasah-madrasah tersebut didirikan di tempat yang penting dari segi ekonomi, politik, dan agama, khususnya madrasah yang terletak di al-Fustat. Sebagian besar dari madrasah-madrasah tersebut merupakan madrasah bermazhab Syafi'i, tetapi ada pula yang mengikuti mazhab Maliki dan Hanafi. Madrasah yang dibangun di dekat [[makam Imam Asy-Syafi'i|makam]] [[Abu Abdullah Muhammad asy-Syafi'i|Imam Asy-Syafi'i]] terletak bersebelahan dengan pusat peziarahan Sunni.<ref name="Yeomans111">{{harvnb|Yeomans|2006|p=111}}</ref>
Baris 256:
 
== Ilmu pengetahuan ==
Berkat dukungan yang diberikan oleh Dinasti Ayyubiyah, kegiatan intelektual kembali bangkit di wilayah yang dikuasai oleh Ayyubiyah. Para cendekiawan di Ayyubiyah sangat berminat pada bidang kedokteran, [[farmakologi]], dan botani. Salahuddin membangun dua rumah sakit di Kairo yang mengikuti Rumah Sakit Nuri di Damaskus; rumah sakit tersebut tak hanya merawat pasien, tetapi juga menawarkan pendidikan medis. Banyak ilmuwan dan dokter yang telah berkiprah di Mesir, SuriahSyam, dan [[Irak]] pada zaman Ayyubiyah. Beberapa dari antara mereka adalah [[Moshe ben Maimon]], [[Ibnu Jami]], [[Abdullatif al-Baghdadi (penulis abad pertengahan)|Abdullatif al-Baghdadi]], [[ad-Dakhwar]], [[Rasyidun as-Suri]], dan [[Ibnu al-Baithar]]. Beberapa cendekiawan mengabdi kepada keluarga penguasa Ayyubiyah secara langsung, dan bahkan ada juga yang menjadi dokter pribadi sultan.<ref name="Ali39-41">{{harvnb|Ali|1996|pp=39–41}}</ref>
 
== Arsitektur ==
Baris 263:
Pencapaian arsitektur terbesar pada zaman Ayyubiyah adalah arsitektur militernya, ditambah dengan pembangunan madrasah-madrasah Sunni untuk memperkuat agama tersebut (khususnya di wilayah Mesir yang sebelumnya didominasi oleh Syiah). Perubahan terbesar yang diberlakukan oleh Salahuddin di Mesir adalah dengan menutup Kairo dan al-Fustat di dalam tembok kota.<ref name="Yeomans104-105">{{harvnb|Yeomans|2006|pp=104–105}}</ref> Beberapa teknik perbentengan dipelajari dari Tentara Salib, seperti tembok luar yang mengikuti topografi alami. Banyak juga teknik yang diwarisi dari Fatimiyah, seperti [[makikolasi]] dan menara bundar, sementara teknik-teknik lainnya dikembangkan sendiri oleh Ayyubiyah, khususnya perencanaan konsentrik.<ref name="Peterson26">{{harvnb|Petersen|1996|p=26}}</ref>
 
Perempuan Muslim (terutama dari keluarga Ayyubiyah), keluarga gubernur setempat, dan keluarga [[ulama]] turut serta dalam mengembangkan arsitektur Ayyubiyah. Di Damaskus, perempuan menjadi pendukung proyek-proyek arsitektur keagamaan. Berkat dukungan dari mereka, telah dibangun lima belas madrasah, enam [[khanqah]] Sufi, dan dua puluh enam lembaga amal dan keagamaan di kota tersebut. Di Aleppo, [[Madrasah al-Firdaus]], yang dikenal sebagai salah satu mahakarya Ayyubiyah di SuriahSyam, didukung pembangunannya oleh ratu [[Dhaifa Khatun]].<ref>{{harvnb|Humphreys|1994|p=35}}</ref>
 
Pada September 1183, pembangunan [[Benteng Kairo]] dimulai atas perintah dari Salahuddin. Menurut [[al-Maqrizi]], Salahuddin memilih [[Mokattam|Perbukitan Muqattam]] sebagai tempat pembangunan benteng tersebut karena udara di sana lebih segar daripada tempat lainnya di Kairo. Namun, pembangunannya tidak semata-mata didasarkan pada udara yang menyegarkan, tetapi untuk keperluan pertahanan. Tembok dan menara di bagian utara benteng tersebut kebanyakan dibangun pada masa kekuasaan Salahuddin dan al-Kamil.<ref name="Yeomans104-105"/> Pembangunan benteng tersebut diselesaikan pada masa kepemimpinan Al-Kamil. Ia memperkuat dan memperbesar beberapa menara yang sudah ada, seperti dua menara dari masa kekuasaan Salahuddin (Burg al-Haddad dan Burg al-Ramla) yang diperbesar dengan menutupinya dengan struktur berbentuk setengah lingkaran. Al-Kamil juga menambahkan beberapa menara berbentuk persegi yang berfungsi sebagai menara benteng. Menurut Richard Yeomans, struktur paling menakjubkan yang dibangun oleh al-Kamil adalah sejumlah menara benteng raksasa berbentuk persegi panjang yang berada di tembok utara.<ref name="Yeomans109-110">{{harvnb|Yeomans|2006|pp=109–110}}</ref> Perbentengan yang dibangun oleh al-Kamil memiliki ciri khas berupa batu-batuannya yang tampak menonjol, sementara menara-menara buatan Salahuddin memiliki bebatuan yang terlihat halus. Gaya bebatuan yang menonjol merupakan ciri khas benteng-benteng Ayyubiyah lainnya, seperti yang dapat ditemui pada [[Benteng Damaskus]] dan [[Busra]] di SuriahSyam.<ref name="Yeomans111"/>
 
[[Berkas:Ayyubid wall cyark 2.jpg|jmpl|kiri|Hasil [[pemindai 3D|pindaian laser 3D]] terhadap Gerbang Bab al-Barqiyya di tembok Ayyubiyah dari abad ke-12 yang mengelilingi [[Taman Al-Azhar]].]]