Kerajaan Sunda: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k ←Suntingan 120.188.85.37 (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh Syusuf2016 Tag: Pengembalian |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: VisualEditor menghilangkan referensi [ * ] mengosongkan halaman [ * ] |
||
Baris 30:
{{Sejarah Indonesia}}
[[Berkas:Gunung-pulosari-1.jpg|jmpl|300px|[[Gunung Pulosari]], tempat kramat kerajaan Sunda]]
'''Kerajaan Sunda''' atau '''Kerajaan Pasundan''' adalah kerajaan yang pernah ada antara tahun
Keberadaan Sunda bisa dilihat melalui berbagai sumber, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Dari dalam negeri, berupa prasasti-prasasti yang ada di Bogor, Jakarta, dan Banten. Sedangkan sumber tertulis banyak berasal dari dalam negeri maupun luar negeri, termasuk kronik perjalanan dari berbagai Negara.
Salakanagara, berdasarkan Naskah Wangsakerta - Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, diperkirakan merupakan kerajaan paling awal yang ada di Nusantara.
Naskah yang dibuat tahun 1677 masehi. Disusun oleh sebuah panitia dengan ketuanya Pangeran Wangsakerta dari Cirebon.
Panitia--yang dipimpin oleh Pangéran--Wangsakerta ini dimaksudkan untuk memenuhi permintaan/amanat ayahnya, Panembahan Girilaya, agar Pangeran Wangsakerta menyusun naskah kisah kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Panitia didirikan untuk mengadakan suatu gotrasawala (simposium/seminar) antara para ahli sajarah dari seluruh Nusantara, yang hasilnya disusun dan ditulis menjadi naskah-naskah yang sekarang dikenal sebagai Naskah Wangsakerta.
Gotrasawala ini berlangsung pada tahun 1599 Saka (1677 M), sedangkan penyusunan naskah-naskahnya menghabiskan waktu hingga 21 tahun (selesai 1620 Saka, 1698 M).
Nama ahli dan sejarawan yang membuktikan bahwa tatar Sunda memiliki nilai-nilai sejarah yang tinggi, antara lain adalah Husein Djajadiningrat, Tb. H. Achmad, Hasan Mu’arif Ambary, Halwany Michrob dan lain-lainnya.
Banyak sudah temuan-temuan mereka disusun dalam tulisan-tulisan, ulasan-ulasan maupun dalam buku. Belum lagi nama-nama seperti John Miksic, Takashi, Atja, Saleh Danasasmita, Yoseph Iskandar, Claude Guillot, Ayatrohaedi, Wishnu Handoko dan lain-lain yang menambah wawasan menjadi tambah luas dan terbuka dengan karya-karyanya dibuat baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.
Pendiri Salakanagara, Dewawarman adalah duta keliling, pedagang sekaligus perantau dari Pallawa, Bharata (India) yang akhirnya menetap karena menikah dengan puteri penghulu setempat, sedangkan pendiri Tarumanagara adalah Maharesi Jayasingawarman, pengungsi dari wilayah Calankayana, Bharata karena daerahnya dikuasai oleh kerajaan lain. Sementara Kutai didirikan oleh pengungsi dari Magada, Bharata setelah daerahnya juga dikuasai oleh kerajaan lain.
Tokoh awal yang berkuasa di sini adalah Aki Tirem. Konon, kota inilah yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150, terletak di daerah Teluk Lada Pandeglang.
Adalah Aki Tirem, penghulu atau penguasa kampung setempat yang akhirnya menjadi mertua Dewawarman ketika puteri Sang Aki Luhur Mulya bernama Dewi Pwahaci Larasati diperisteri oleh Dewawarman. Hal ini membuat semua pengikut dan pasukan Dewawarman menikah dengan wanita setempat dan tak ingin kembali ke kampung halamannya.
Ketika Aki Tirem meninggal, Dewawarman menerima tongkat kekuasaan. Tahun 130 Masehi ia kemudian mendirikan sebuah kerajaan dengan nama Salakanagara (Negeri Perak) beribukota di Rajatapura.
Ia menjadi raja pertama dengan gelar Prabu Darmalokapala Dewawarman Aji Raksa Gapura Sagara. Beberapa kerajaan kecil di sekitarnya menjadi daerah kekuasaannya, antara lain Kerajaan Agnynusa (Negeri Api) yang berada di Pulau Krakatau.
Rajatapura adalah ibukota Salakanagara yang hingga tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-Raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII). Salakanagara berdiri selama 232 tahun, tepatnya dari tahun 130 Masehi hingga tahun 362 Masehi.
Raja Dewawarman I sendiri berkuasa selama 38 tahun dan digantikan anaknya yang menjadi Raja Dewawarman II dengan gelar Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra.
Prabu Dharmawirya tercatat sebagai Raja Dewawarman VIII atau raja Salakanagara terakhir hingga tahun 363, karena sejak itu Salakanagara telah menjadi kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Tarumanagara. Yang didirikan tahun 358 Masehi oleh Maharesi yang berasal dari Calankayana bernama Jayasinghawarman.
Pada masa kekuasaan Dewawarman VIII, keadaan ekonomi penduduknya sangat baik, makmur dan sentosa, sedangkan kehidupan beragama sangat harmonis.
Sementara Jayasinghawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Calankayana yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Maurya.
Di kemudian hari setelah Jayasinghawarman mendirikan Tarumanagara, pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumanagara. Salakanagara kemudian berubah menjadi Kerajaan Daerah.
Daftar nama-nama raja yang memerintah Kerajaan Salakanagara adalah:
Tahun berkuasa Nama raja Julukan
130-168 M Dewawarman I Prabu Darmalokapala Aji Raksa Gapura Sagara
168-195 M Dewawarman II Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra (Putera tertua Dewawarman I)
195-238 M Dewawarman III Prabu Singasagara Bimayasawirya (Putera Dewawarman II)
238-252 M Dewawarman IV Menantu Dewawarman II (Raja Ujung Kulon)
252-276 M Dewawarman V Menantu Dewawarman IV
276-289 M Mahisa Suramardini Warmandewi (Puteri tertua Dewawarman IV & isteri Dewawarman V, karena Dewawarman V gugur melawan bajak laut)
289-308 M Dewawarman VI Sang Mokteng Samudera (Putera tertua Dewawarman V)
308-340 M Dewawarman VII Prabu Bima Digwijaya Satyaganapati (Putera tertua Dewawarman VI)
340-348 M Sphatikarnawa Warmandewi (Puteri sulung Dewawarman VII)
348-362 M Dewawarman VIII Prabu Darmawirya Dewawarman (Cucu Dewawarman VI yang menikahi Sphatikarnawa, raja ketujuh Salakanagara
Mulai 362 M Dewawarman IX Salakanagara telah menjadi kerajaan bawahan Tarumanagara
'''Tarumanegara'''
Kerajaan Tarumanegara merupakan salah satu kerajaan tertua Nusantara. Kerajaan ini berdiri pada abad ke-4 (tahun 358) hingga abad 7 (tahun 668) masehi dan berpusat di Jawa Barat. Kerajaan Tarumanegara sendiri berasal dari kata “taruma” dan “nagara”. Tarum berasal dari nama sungai di Jawa Barat, yakni Citarum, sedangkan nagara berarti negara.
Pendiri kerajaan ini bernama Rajadirajaguru Jayasingawarman. Keberadaan Kerajaan Tarumanegara bisa dilihat melalui berbagai sumber, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Dari dalam negeri, sumbernya bisa dilihat pada 7 (tujuh) buah prasasti yang ada di Bogor, Jakarta, dan Banten.
Prasasti-prasasti tersebut, antara lain :
<br />
# prasasti Ciaruteun
# prasasti Jambu
# prasasti Muara Cianten
# prasasti Pasri Awi
# prasasti Cidanghiyang
# prasasti Tugu
# dan prasasti Pasir Muara.
Sedangkan sumber yang berasal dari luar negeri, antara lain berita Fa Hsien, berita Dinasti Sui, dan berita Dinasti Tang. Berita Fa Hsien yang berasal dari tahun 414 mengisahkan soal negeri Ye Po Ti, yang hanya sedikit dijumpai orang beragama Buddha.
Sebagian beragama Hindu dan sebagian beragama lain (Islam?) atau animisme. Kisah ini ditulis dalam bukunya yang berjudul Fa Kao Chi. Ye Po Ti diinterpretasikan oleh para ahli sebagai Kerajaan Tarumanegara. Lalu, berita dari Dinasti Sui yang mengisahkan kalau di tahun 528 dan 535 datang seorang utusan dari To Lo Mo, berasal dari arah selatan.
Dan, Dinasti Tang mengisahkan soal utusan dari To Lo Mo yang datang pada tahun 666 dan 669. Para ahli menyimpulkan, To Lo Mo merupakan Tarumanegara.
'''Kerajaan Tarumanegara merupakan kelanjutan dari Kerajaan Salakanagara'''
Sebelumnya Jayasingawarman yang merupakan raja pertama Tarumanegara telah memerintahkan, pusat kekuasaan berpindah dari Rajatapura ke Tarumanegara.
Makam Jayasingawarman diperkirakan ada di sekitar sungai Gomati, wilayah Bekasi. Setelah Jayasingawarman meninggal dunia, Kerajaan Tarumanegara dipimpin oleh putranya bernama Dharmayawarman yang memerintah dari tahun 382 sampai 395.
'''Masa Kejayaan Kerajaan Tarumanegara'''
Raja ketiga Kerajaan Tarumanegara bernama Maharaja Purnawarman yang memerintah dari tahun 395 hingga 434. Di masa Purnawarman, Kerajaan Tarumanegara menjelma menjadi kerajaan besar yang memiliki wilayah luas di pulau Jawa. Pada tahun 397, Purnawarman memusatkan pemerintahannya di dekat pantai, yang diberi nama Sundapura.
Di masa keemasannya, Purnawarman membawahi sebanyak 48 raja kecil, dan daerahnya membentang dari Salakanagara yang sekarang dikenal sebagai Teluk Lada Pandeglang, sampai Purwalingga (kemungkinan Purbalingga, Jawa Tengah).
Sungai Brebes, yang dahulu bernama Ci Pamali, dijadikan batas kekuasaan raja-raja kecil tadi. Menurut prasasti Tugu, pada tahun 417, Purnawarman memerintahkan untuk menggali Sungai Gomati dan Candrabaga yang memiliki panjang 6.112 tombak, atau sekitar 11 kilometer.
Penggalian sungai ini dimaksudkan untuk keperluan irigasi, yang berguna dalam mengaliri air ke sawah-sawah pertanian, mencegah banjir, dan jalur perairan untuk berdagang antardaerah. Berkat usahanya ini, kehidupan ekonomi rakyat Tarumanegara menjadi lebih baik.
Ketika kerja penggalian rampung, Purnawarman mengorbankan 1.000 ekor sapi kepada golongan Brahmana (golongan agama). Ini merupakan bukti bahwa Raja Purnawarman sangat menghormati kedudukan golongan Brahmana. Golongan Brahmana kerap dilibatkan dalam setiap upacara korban di kerajaan atau upacara-upacara keagamaan lainnya.
Di bidang budaya, ditilik dari teknik dan cara penulisan huruf-huruf dalam prasasti-prasasti hasil peninggalan Tarumanegara, bisa dipastikan kalau tingkat kebudayaan rakyat Tarumanegara sudah tinggi. Sebab, keberadaan prasasti-prasasti tersebut menyiratkan kebudayaan tulis-menulis yang berkembang di masa Kerajaan Tarumanegara.
'''Dua belas orang raja'''
Selama masa kekuasaannya, Kerajaan Tarumanegara diperintah oleh dua belas orang raja. Setelah Raja Punawarman meninggal dunia, berturut-turut kekuasaan dipegang oleh Wisnuwarman yang memerintah pada tahun 434 sampai 455; Indrawarman yang memerintah pada tahun 455 sampai 515; Candrawarman yang memerintah pada tahun 515 sampai 535, Suryawarman yang memerintah pada tahun 535 sampai 561, Kertawarman yang memerintah pada tahun 561 sampai 628, Sudhawarman yang memerintah pada tahun 628 sampai 639, Hariwangsawarman yang memerintah pada tahun 639 sampai 640; Nagajayawarman yang memerintah pada tahun 640 sampai 666), dan terakhir Linggawarman yang memerintah pada tahun 666 sampai 669.
Pada masa pemerntahan Suryawarman, perhatian diberikan pula ke daerah timur, tidak hanya konsen pada raja-raja daerah. Manikmaya, menantu Suryawarman, pada tahun 526 membangun sebuah kerajaan baru di daerah Kendan, antara Bandung dan Limbangan. Daerah timur pun mengalami perkembangan ketika cicit Manikmaya pada tahun 612 mendirikan Kerajaan Galuh. Kerajaan Tarumanegara runtuh pada tahun 669.
Raja terakhirnya bernama Linggawarman yang memerintah pada tahun 666 hingga 669. Linggawarman menyerahkan kekuasaan kepada menantunya yang bernama Tarusbawa
'''Bermenantukan Raja Sunda dan Raja Sriwijaya'''
Putri Linggawarman yang lain bernama Sobankancana. menikah dengan Dapunta Hyang Srijayanasa, pendiri Kerajaan Sriwijaya, sebuah kerajaan besar di Sumatra Selatan.
Sudah diuraikan di atas, keberadaan Kerajaan Tarumanegara dibuktikan dengan sumber yang berasal dari dalam negeri berupa prasasti dan luar negeri berupa berita Dinasti Sui, Dinasti Tang, dan Fa Hsien.
Pertama, Prasasti Ciaruteun yang ditemukan di sekitar sungai Ciaruteun-Ciampea, Bogor. Seratus meter dari pertemuan sungai tersebut dengan Ci Sadane; namun pada tahun 1981 diangkat dan diletakkan di dalam cungkup. Ditemukan oleh N. W. Hoepermans pada tahun 1864
Prasasti ini peninggalan Purnawarman. Di prasasti tersebut, terdapat puisi empat baris. Tulisan dengan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta:
“vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam”
Terjemahannya menurut Vogel:
(Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara).
Di prasasti Ciaruteun kita bisa melihat sepasang kaki Raja Purnawarman dan sebuah lukisan mirip laba-laba.
Selain itu, ada pula gambar sepasang "padatala" (telapak kaki), yang menunjukkan tanda kekuasaan fungsinya seperti "tanda tangan" pada zaman sekarang. Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya.
Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II, sarga 3, halaman 161, di antara bawahan Tarumanagara pada masa pemerintahan Purnawarman terdapat nama "Rajamandala" (raja daerah) Pasir Muara.
'''Prasasti Telapak Gajah'''
Dua arca Wishnu dari Cibuaya, Karawang, Jawa Barat. Tarumanagara sekitar abad ke-7 Masehi. Mahkotanya yang berbentuk tabung menyerupai gaya seni Khmer Kamboja.
Prasasti Telapak Gajah bergambar sepasang telapak kaki gajah yang diberi keterangan satu baris berbentuk puisi berbunyi:
“jayavi s halasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam”
Terjemahannya:
(Kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa).
Menurut mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara Indra dewa perang dan penguasa Guntur.
Menurut Pustaka Parawatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I, sarga 1, gajah perang Purnawarman diberi nama Airawata seperti nama gajah tunggangan Indra.
Bahkan diberitakan juga, bendera Kerajaan Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai di atas kepala gajah. Demikian pula mahkota yang dikenakan Purnawarman berukiran sepasang lebah.
Ukiran bendera dan sepasang lebah itu dengan jelas ditatahkan pada prasasti Ciaruteun yang telah memancing perdebatan mengasyikkan di antara para ahli sejarah mengenai makna dan nilai perlambangannya.
Ukiran kepala gajah bermahkota teratai ini oleh para ahli diduga sebagai "huruf ikal" yang masih belum terpecahkan bacaaanya sampai sekarang. Demikian pula tentang ukiran sepasang tanda di depan telapak kaki ada yang menduganya sebagai lambang labah-labah, matahari kembar atau kombinasi surya-candra (matahari dan bulan).
Keterangan pustaka dari Cirebon tentang bendera Taruma dan ukiran sepasang "bhramara" (lebah) sebagai cap pada mahkota Purnawarman harus diakui kecocokannya dengan lukisan yang terdapat pada prasasti Ciaruteun.
Kedua, prasasti Pasir Muara tahun 563 masehi yang ditemukan di Pasir Muara Cianten, Ciampea Bogor. Tulisan yang ada di prasasti ini: “sabdakalanda rakryan juru panga-mbat i kawihaji panyca pasagi marsa-n desa barpulihkan haji su-nda”
Terjemahannya menurut Bosch:
(Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi (4), pemerintahan begara dikembalikan kepada raja Sunda).
Karena angka tahunnya bercorak "sangkala" yang mengikuti ketentuan "angkanam vamato gatih" (angka dibaca dari kanan), maka prasasti tersebut dibuat dalam tahun 458 Saka atau 536 Masehi.
Ketiga, Prasasti Kebon Kopi, dibuat sekitar 400 M (H Kern 1917), ditemukan di perkebunan kopi milik Jonathan Rig, Ciampea
Keempat, prasasti Pasir Awi yang ditemukan di daerah Bukit Pasir Awi, Kabupaten Bogor. Pahat gambar daun dan ranting, buah-buahan, dan sepasang telapak kaki ada di prasasti ini.
Kelima, prasasti Cidanghiyang yang ditemukan di tepi sungai Cidanghiang, Kabupaten Lebak, pada 1947. Tulisan berhuruf Pallawa di prasasti itu: “Vicranto 'yam vanipateh/prabhuh satya parakramah narendra ddhvajabhutena/ srimatah purnnawvarmanah” (Inilah (tanda) keperwiraan keagungan dan keberanian yang sesungguhnya dari raja dunia yang mulia purnawarman yang menjadi panji sekalian raja-raja).
Keenam, prasasti Jambu yang ditemukan di area perkebunan jambu di Bukit Koleangkak, Nanggung, Bogor bagian barat. terletak di puncak Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang.
Pada bukit ini mengalir (sungai) Cikasungka. Prasasti inipun berukiran sepasang telapak kaki dan diberi keterangan berbentuk puisi dua baris:
“shriman data kertajnyo narapatir - asamo yah pura tarumayam nama shri purnnavarmma pracurarupucara fedyavikyatavammo tasyedam - padavimbadavyam arnagarotsadane nitya-dksham bhaktanam yangdripanam - bhavati sukhahakaram shalyabhutam ripunam”
Terjemahannya menurut Vogel:
(yang termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri Purnawarman yang pernah memerintah Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan (kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi musuh-musuhnya).
Ukiran telapak kaki juga ada di prasasti ini.
Ketujuh, prasasti Tugu yang ditemukan di daerah Cilincing, Jakarta Utara pada tahun 1878.
Dibandingkan prasasti lainnya, tulisan Tugu yang juga wilayah dari Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi merupsakan prasasti ini paling panjang:
”Pura rajadhirajena guruna pinabhahuna khata khyatam purin phrapya. Candrabhagarnavam yayau pravarddhamanadwavincadvatsa (re) crigunaujasa narendradhvajbhunena (bhuten). Crimata Purnnavarmmana prarabhya Phalgune(ne) mase khata krshnatashimithau Caitracukla-trayodcyam dinais siddhaikavinchakai(h). Ayata shatsahasrena dhanusha(m) sacaten ca dvavincena nadi ramya Gomati nirmalodaka pitamahasya rajarshervvidarya cibiravanim.Bhrahmanair ggo-sahasrena(na) prayati krtadakshino”
Terjemahannya : (Dahulu atas perintah rajadiraja Paduka Yang Mulia Purnwarman, yang menonjol dalam kebahagiaan dan jasanya di atas para raja, pada tahun kedua puluh dua pemerintahannya yang gemilang, dilakukan penggalian di Sungai Candrabhaga setelah sungai itu melampaui ibukota yang masyhur dan sebelum masuk ke laut.
Penggalian itu dimulai pada hari kedelapan bulan genap bulan Phalguna dan selesai pada hari ketiga belas bulan terang bulan Citra, selama dua puluh satu hari. Saluran baru dengan air jernih bernama Sungai Gomati, mengalir sepanjang 6.122 busur melampaui asrama pendeta raja yang dipepundi sebagai leluhur bersama para brahmana. Para pendeta itu diberi hadiah seribu ekor sapi).
Kerajaan Sunda sirna ing bhumi setelah salah satu cicit Prabu Siliwangi memasuki ibu kota kerajaan yaitu [[Maulana Yusuf]] pada tahun [[1579]]. Sementara sebelumnya kedua pelabuhan utama Kerajaan Sunda itu juga telah dikuasai oleh [[Kerajaan Demak|Kerajaan Cirebon, Demak]] dan Banten pada tahun [[1527]], Kalapa direbut oleh [[Fatahillah]] dan [[Maulana Hasanuddin]].
<br />
=== Catatan sejarah dari Cina ===
Baris 65 ⟶ 298:
== Berdirinya kerajaan Sunda ==
Berdasarkan [[Prasasti Kebonkopi II]], yang ber[[bahasa Melayu Kuno]] dengan tarikh [[932]], menyebutkan seorang "Raja Sunda menduduki kembali tahtanya".<ref>Guillot, Claude, Lukman Nurhakim, Sonny Wibisono, (1995), ''La principauté de Banten Girang'', Archipel, Vol. 50, pp 13-24</ref> Hal ini dapat ditafsirkan bahwa Raja Sunda telah ada sebelumnya.<ref name="Marwati">Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1993), ''Sejarah nasional Indonesia: Zaman kuno'', PT Balai Pustaka, ISBN 979-407-408-X</ref> Sementara dari sumber [[Tiongkok]] pada buku [[Zhufan Zhi]] yang ditulis pada tahun [[1178]] oleh [[Zhao Rugua]] menyebutkan terdapat satu kawasan dari ''San-fo-ts'i'' yang bernama ''Sin-to'' kemudian dirujuk kepada Sunda.<ref>Soekmono, R. (2002), ''Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 2''. Kanisius. ISBN 979-413-290-X.</ref>
Menurut [[naskah Wangsakerta]], naskah yang oleh sebagian orang diragukan keasliannya serta diragukan sebagai sumber sejarah karena sangat sistematis, menyebutkan Sunda merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan [[Tarumanagara]]. Kerajaan Sunda didirikan oleh [[Tarusbawa]] pada tahun 669 (591 Saka). Kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi provinsi [[Banten]], [[DKI Jakarta]], [[Jawa Barat]], dan bagian barat provinsi [[Jawa Tengah]].
|