Emha Ainun Nadjib: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika
JJ.Ahmad (bicara | kontrib)
Perbaikan salah ketik, kata-kata yang kurang efektif, dan perbaikan referensi.
Baris 22:
'''Muhammad Ainun Nadjib''' atau biasa dikenal '''Emha Ainun Nadjib''' atau '''Cak Nun''' atau '''Mbah Nun'''<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/foto/mozaik/riwayat-panggilan-mbah-nun/|title=Riwayat Panggilan 'Mbah Nun'|last=|first=|date=|website=CakNun.com|access-date=3 Desember 2019}}</ref> (lahir di [[Kabupaten Jombang|Jombang]], [[Jawa Timur]], [[27 Mei]] [[1953]]; umur 66 tahun) adalah seorang tokoh intelektual Muslim [[Indonesia]]. Ia menyampaikan gagasan pemikiran dan kritik-kritiknya dalam berbagai bentuk: puisi, esai, cerpen, film, drama, lagu, musik, talkshow televisi, siaran radio, seminar, ceramah, dan tayangan video. Ia menggunakan beragam media komunikasi dari cetak hingga digital dan sangat produktif dalam berkarya.<ref name=":25">{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2019/terus-berkarya/|title=Terus Berkarya|last=|first=|date=8 Oktober 2019|website=CakNun.com|access-date=3 Desember 2019}}</ref>
 
Ragam dan cakupan tema pemikiran, ilmu, dan kegiatan Cak Nun sangat luas, seperti dalam bidang sastra, teater, tafsir, tasawwuf, musik, filsafat, pendidikan, kesehatan, Islam, dan lain-lain.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2019/kata-mereka-tentang-cak-nun-kiaikanjeng-dan-maiyah/|title=Kata Mereka Tentang Cak Nun, KiaiKanjeng, dan Maiyah|last=|first=|date=18 Oktober 2019|website=CakNun.com|access-date=3 Desember 2019}}</ref> Selain penulis, ia juga dikenal sebagai seniman, budayawan, penyair, dan pemikir, juga kyai. Banyak orang mengatakan Cak Nun adalah manusia multi-dimensi.<ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=W55dUqZ9jDkC&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false|title=Jalan Sunyi Emha|last=Rahardjo|first=Toto|publisher=Kompas|year=2006|isbn=979-709-255-0|location=Jakarta|pages=xviii|chapter=Teman Siapa Saja|quote=Seorang host suatu talk show di sebuah stasiun televisi swasta, Jaya Suprana, bertanya kepada orang ini, "Orang selalu mengatakan bahwa Anda adalah manusia multi-dimensional. Sekurang-kurangnya kegiatan Anda di masyarakat memang sangat beragam. Apa pendapat Anda sendiri?"|url-status=live}}</ref>
 
Menjelang kejatuhan pemerintahan [[Soeharto]], Cak Nun merupakan salah satu tokoh yang diundang ke [[Istana Merdeka]] untuk dimintakan nasihatnya, yang kemudian celetukannya diadopsi oleh Soeharto berbunyi "''Ora dadi presiden ora pathèken''”.<ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=W55dUqZ9jDkC&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false|title=Jalan Sunyi Emha|last=Oetama|first=Jakob|publisher=Kompas|year=2006|isbn=979-709-255-0|location=Jakarta|pages=xvii|chapter=Pengantar Jakob Oetama|quote=Kehadiran buku ini tentu ditunggu khalayak pembaca, tidak hanya oleh para pengagum, tetapi juga pengritik sosok yang menyeletukkan kalimat 'ora dadi presiden ora pathèken', saat bersama sejumlah tokoh diundang Soeharto sebelum lengser.|url-status=live}}</ref> Setelah '''Reformasi 1998''', Cak Nun bersama [[Kiai Kanjeng]] memfokuskan berkegiatan bersama masyarakat di pelosok Indonesia. AktivitasyaAktivitasnya berjalan terus dengan menginisiasi Masyarakat '''Maiyah''', yang berkembang di seluruh negeri hingga mancanegara.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2019/mewedar-jalan-kesehatan-emha/|title=Cinta, Kesehatan, dan Munajat Emha Ainun Nadjib|last=Hashman|first=Ade|publisher=Bentang|year=2019|isbn=978-602-291-589-8|location=Yogyakarta|pages=176|url-status=live}}</ref> Cak Nun bersama Kiai Kanjeng dan Masyarakat Maiyah mengajak untuk membuka yang sebelumnya belum pernah dibuka. Memandang, merumuskan dan mengelola dengan prinsip dan formula yang sebelumnya belum pernah ditemukan dan dipergunakan.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/author/emha-ainun-nadjib/|title=Emha Ainun Nadjib|last=|first=|date=|website=CakNun.com|access-date=3 Desember 2019}}</ref>
 
== Kehidupan pribadi ==
Cak Nun merupakan anak keempat dari 15 bersaudara.<ref name=":0">{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib: Bentangan Pengembaraan Pemikiran|last=Hadi|first=Sumasno|publisher=Mizan|year=2017|isbn=978-602-441-010-0|location=Bandung|pages=50|url-status=live}}</ref> Lahir dari pasangan Muhammad Abdul Latief dan Chalimah. Ayahnya merupakanadalah tokoh agama (kyai) yang sangat dihormati masyarakat Desa [[Mentoro, Sumobito, Jombang|Mentoro]], [[Sumobito, Jombang|Sumobito]], [[Kabupaten Jombang|Jombang]].<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib: Bentangan Pengembaraan Pemikiran|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=49|url-status=live}}</ref> Begitu juga ibunya merupakanmenjadi panutan warga yang memberikan rasa aman dan banyak membantu masyarakat.<ref name=":0" /> Kakak tertuanya, yaitu '''Ahmad Fuad Effendy''', merupakanadalah anggota Dewan Pembina King Abdullah bin Abdul Aziz International Center For Arabic Language (KAICAL) Saudi Arabia.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2017/perjuangan-cak-fuad-menjaga-bahasa-al-quran-di-kancah-dunia/|title=Perjuangan Cak Fuad Menjaga Bahasa Al-Qur`an di Kancah Dunia|last=|first=|date=24 Januari 2017|website=CakNun.com|access-date=3 Desember 2019}}</ref>
 
Paman Cak Nun, adik ayahnya, yaitu almarhum K.H. Hasyim Latief<ref>{{Cite web|url=https://www.indonesiana.id/read/92581/kh-hasyim-latief-sang-komandan-tempur-hizbullah|title=KH Hasyim Latief, Sang Komandan Tempur Hizbullah|last=Masjkur|first=Ahmad Udi|date=27 April 2019|website=Indonesiana.id|access-date=4 Desember 2019}}</ref>, merupakanseorang pendiri Pertanu (Persatuan Tani dan Nelayan NU), ketua PWNU Jawa Timur, wakil Ketua [[Nahdlatul 'Ulama|PBNU]], wakil Rais Syuriah PBNU, dan Mustasyar PBNU<ref>{{Cite web|url=https://www.nu.or.id/post/read/2969/tokoh-nu-kh-hasjim-latief-meninggal-dunia|title=Tokoh NU KH Hasjim Latief Meninggal Dunia|last=|first=|date=20 April 2005|website=NU Online|access-date=4 Desember 2019}}</ref> yang mendirikan Yayasan Pendidikan Maarif (YPM) di [[Sepanjang, Taman, Sidoarjo|Sepanjang]], [[Kabupaten Sidoarjo|Sidoarjo]].<ref name=":1">{{Cite web|url=https://fahmialinh.wordpress.com/2015/04/25/kh-hasyim-latief-sepanjang/|title=KH Hasyim Latief Sepanjang|last=Ali|first=Fahmi|date=25 April 2015|website=Catatan Fahmi Ali|access-date=4 Desember 2019}}</ref> Dari garis ayah, Cak Nun bersaudara dengan aktivis masyarakat miskin kota [[Wardah Hafidz]] dan [[Ali Fikri]] yang masih sepupu ayah Cak Nun.<ref name=":1" /> Dari garis ayahnya ini, kakek buyut Cak Nun, yaitu '''Imam Zahid'''<ref name=":37">{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2018/kunci-kebahagiaan/|title=Kunci Kebahagiaan|last=Nadjib|first=Emha Ainun|date=28 Mei 2018|website=CakNun.com|access-date=19 Desember 2019}}</ref>, adalah murid [[Kholil al-Bangkalani|Syaikhona Kholil Bangkalan]] bersama dengan K.H. [[Hasjim Asy'ari|Hasyim Asyari]], K.H. [[Ahmad Dahlan]], dan K.H. Romly Tamim.<ref>{{Cite news|url=https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/08/04/nsj25y334-kisah-kedekatan-kh-hasyim-asyari-dan-kh-ahmad-dahlan-part|title=Kisah Kedekatan KH Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan|last=Putra|first=Erik Purnama|date=4 Agustus 2015|work=Republika|access-date=4 Desember 2019}}</ref>
 
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib dan Keluarga.jpg|jmpl|kiri|Emha Ainun Nadjib (berdiri paling kanan mengenakan kopiah) di masa kecil bersama keluarganya.]] Pendidikan formal Cak Nun dimulai dari Sekolah Dasar di desanya. Karena semenjak kecil ia sangat peka atas segala bentuk ketidakadilan, ia sempat dianggap bermasalah oleh para guru karena memprotes dan menendang guru yang dianggapnya tak berlaku adil.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/cak-nun-dalam-lanskap-sastra-dan-sabana-sosial/|title=Sepotong Dunia Emha|last=Nugraha|first=Latief S|publisher=Octopus|year=2018|isbn=978-602-727-437-2|location=Yogyakarta|pages=94|url-status=live}}</ref> Kemudian oleh ayahnya, ia dikirim ke [[Pondok Modern Darussalam Gontor]]. Pada masa tahun ketiganya di [[Gontor, Mlarak, Ponorogo|Gontor]], Cak Nun sempat menggugat kebijakan pihak keamanan Pondok yang dianggapnya tidak berlaku adil. Ia pun memimpin “demonstrasi” bersama santri-santri lain sebagai bentuk protes. Namun protes itu berujung pada dikeluarkannya Cak Nun dari Pondok.<ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=vZNkAAAAMAAJ&q=inauthor:%22Jabrohim%22&dq=inauthor:%22Jabrohim%22&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwi1-eWfubTmAhUEGs0KHdQbBGUQ6AEIPDAD|title=Tahajjud Cinta Emha Ainun Nadjib: Sebuah Kajian Sosiologi Sastra|last=Jabrohim|first=|publisher=Pustaka Pelajar|year=2003|isbn=|location=Yogyakarta|pages=1|url-status=live}}</ref> Kemudian ia pindah ke [[Yogyakarta]] melanjutkan sekolah di SMP Muhammadiyah 4 dan selanjutnya tamat [[SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta|SMA Muhammadiyah 1]]<ref name=":2">{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=53|url-status=live}}</ref> bersama dengan teman karibnya, [[M. Busyro Muqoddas|Busyro Muqoddas]]. Usai SMA, Cak Nun diterima di Fakultas Ekonomi [[Universitas Gadjah Mada|UGM]]. Di “[[Kampus Biru|kampus biru]]” ini, ia bertahan hanya satu semester, atau tepatnya empat bulan saja.<ref name=":2" /> Sebenarnya ia juga diterima di Fakultas Filsafat UGM namun tidak mendaftar ulang.
 
Istrinya, [[Novia Kolopaking]], dikenal sebagai seniman film, panggung, serta penyanyi. Bersama Novia, ia dikaruniai empat anak, yaitu Ainayya Al-Fatihah (meninggal di dalam kandungan)<ref>{{Cite news|url=|title=Novia Kolopaking: Lebih Baik Dia di Surga|last=Yuswanto|first=Teguh|date=1 Juli 1998|work=Tabloid BINTANG|access-date=13 Desember 2019}}</ref>, Aqiela Fadia Haya, Jembar Tahta Aunillah, dan Anayallah Rampak Mayesha.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/cak-nun-dalam-lanskap-sastra-dan-sabana-sosial/|title=Sepotong Dunia Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=157|url-status=live}}</ref> [[Sabrang Mowo Damar Panuluh]] adalah salah satu putranya yang kini tergabung dalam grup band [[Letto]].
 
== Aktivitas ==
Baris 40:
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib dan Umbu Landu Paranggi.jpg|jmpl|Emha Ainun Nadjib di kediaman Umbu Landu Paranggi di Bali tahun 2017.]] Pada akhir tahun 1969 ketika masih SMA, Cak Nun memulai proses kreatifnya dengan hidup “menggelandang” di [[Malioboro]], Yogyakarta selama lima tahun hingga 1975.<ref name=":3">{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/cak-nun-dalam-lanskap-sastra-dan-sabana-sosial/|title=Sepotong Dunia Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=80-81|url-status=live}}</ref> Kala itu, Malioboro menjadi tempat bertemu para aktivis mahasiswa, sastrawan, dan seniman Yogyakarta.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/cak-nun-dalam-lanskap-sastra-dan-sabana-sosial/|title=Sepotong Dunia Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=84|url-status=live}}</ref> Malioboro menjadi salah satu poros dalam jalur Bulaksumur-Malioboro-Gampingan yang menandakan dialektika intelektual-sastra-seni rupa.<ref name=":4">{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/cak-nun-dalam-lanskap-sastra-dan-sabana-sosial/|title=Sepotong Dunia Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=85|url-status=live}}</ref> Di Malioboro ini, Cak Nun bergabung dengan '''PSK (Persada Studi Klub)''', sebuah ruang studi sastra bagi penyair muda Yogyakarta yang diasuh oleh [[Umbu Landu Paranggi]]<ref name=":3" />, seorang [[sufi]] yang hidupnya misterius. Banyak yang mengatakan pertemuan dengan Umbu memberikan pengaruh dalam perjalanan hidup Cak Nun selanjutnya.<ref>{{Cite book|url=https://www.goodreads.com/book/show/23715913-kitab-ketenteraman|title=Kitab Ketentraman: Dari Khasanah Emha Ainun Nadjib|last=Salam|first=Aprinus|last2=Alfian|first2=M Alfan|last3=Susetya|first3=Wawan|publisher=Penjuru Ilmu|year=2014|isbn=978-602-0967-07-3|location=Bekasi|pages=133|url-status=live}}</ref>
 
PSK yang didirikan tahun 1969 dan aktif hingga 1977, telah melahirkan sejumlah sastrawan terkemuka Indonesia, di antaranya Teguh Ranusastra Asmara, [[Iman Budhi Santosa]], [[Ragil Suwarna Pragolapati]], [[Linus Suryadi AG]], [[Korrie Layun Rampan]], dan Cak Nun sendiri.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/cak-nun-dalam-lanskap-sastra-dan-sabana-sosial/|title=Sepotong Dunia Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=88|url-status=live}}</ref> Keberadaan PSK tidak dapat dipisahkan dengandari Mingguan ''Pelopor Yogya''. Kehidupan di PSK, di bawah asuhan Umbu, memang menuntut setiap penyair mudanya untuk berpacu setiap saat dengan “kehidupan puisi”.<ref name=":4" /> DiDan ketika di PSK, Cak Nun termasuk yang produktif menghasilkan karya sehingga di usia yang masih belia, belum genap 17 tahun, ia sudah mendapatkan legitimasi sebagai penyair dan disematkan sebagai penyair garda depan yang dimiliki Yogyakarta.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/cak-nun-dalam-lanskap-sastra-dan-sabana-sosial/|title=Sepotong Dunia Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=89|url-status=live}}</ref>
 
Semasa di Malioboro ini, Cak Nun yang masih SMA sering bolos sekolah karena asyik dengan dunia sastra. Ia pernah membolos hampir 40 hari dalam satu semester. Ini membuat ia mulai tidak disukai guru-gurunya, ditambah rambutnya gondrong yang dianggap melanggar peraturan sekolah. Tapi ia mengatakan bahwa dirinya lebih suka mencari hal-hal yang belum diketahuinya namun tidak didapatkannya di sekolah.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/cak-nun-dalam-lanskap-sastra-dan-sabana-sosial/|title=Sepotong Dunia Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=90|url-status=live}}</ref>
Baris 50:
 
=== Musik Puisi ===
Tahun 1977/1978, Cak Nun bergabung dengan '''Teater Dinasti''' yang didirikan oleh Fajar Suharno, Gajah Abiyoso, dan Tertib Suratmo. Pada masa ini, keterlibatan Cak Nun bersama Teater Dinasti, dan keikutsertaan Teater Dinasti bersama Cak Nun tidak bisa dipisahkan.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2017/fenomena-emha/|title=Terus Mencoba Budaya Tanding|last=H.D.|first=Halim|publisher=Pustaka Pelajar|year=1995|isbn=|location=Yogyakarta|pages=xvi|chapter=Fenomena Emha|url-status=live}}</ref> Bersama Teater Dinasti ini, Cak Nun intensif mementaskan puisi dalam rentang perjalanan sejak 1978 sampai 1987. Ia menggunakan bahasa Jawa “jalanan” dan ungkapan-ungkapan populer yang bersifat oral dan menimbulkan plesetan yang mendekonstruksi logika, makna, serta humor dalam puisi-puisinya dan mengangkat masalah-masalah sosial.<ref name=":5">{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/cak-nun-dalam-lanskap-sastra-dan-sabana-sosial/|title=Sepotong Dunia Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=131|url-status=live}}</ref> Karya-karyanya bersama Teater Dinasti dianggap menjadi fenomena baru dalam pemanggungan puisi sehingga banyak dibicarakan oleh pengamat kesenian karena diiringi alunan musik dari seperangkat gamelan.<ref name=":5" />
 
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib, Musik Puisi, Karawitan Dinasti.jpg|jmpl|kiri|Pementasan Musik Puisi Emha Ainun Nadjib bersama Teater/Karawitan Dinasti di akhir tahun 1970-an.]] Pada tanggal 8 Desember 1980, Cak Nun dan Teater Dinasti mementaskan puisi di Teater Arena [[Taman Ismail Marzuki|Taman Ismail Marzuki (TIM)]] yang berjudul ''Tuhan''. Pembacaan puisi yang diiringi musik gamelan Jawa pada masa itu merupakan bentuk musikalisasi puisi yang tidak lazim. Karena itu, Cak Nun menyebut pementasan seperti itu sebagai “musik puisi”, bukan musikalisasi puisi.<ref name=":6">{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=58|url-status=live}}</ref> Model pertunjukan demikian diakui Cak Nun sebagai terobosan dan merupakan strategi agar mendekatkan puisi kepada masyarakat di kampung-kampung. Hal ini lazim karena masyarakat pedesaan masih lekat dengan seni tradisi yang memposisikan gamelan Jawa sebagai instrumen utama.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2019/maiyah-sebagai-pendidikan-alternatif-sosial-kemasyarakatan-3/|title=Maiyah Sebagai Pendidikan Alternatif Sosial Kemasyarakatan (3)|last=Pratama|first=Rony K|date=22 Maret 2019|website=CakNun.com|access-date=4 Desember 2019}}</ref> Gamelan yang digunakan berbeda dengan gamelan pada umumnya, yaitu menggunakan besi, bukan kuningan. Pembacaan puisi dengan menggunakan gamelan besi oleh Cak Nun ini adalah bentuk pembelaan dan perhatiannya pada golongan masyarakat kelas bawah. Konsep bunyi gamelan besi mewakili kelas bawah, dibanding gamelan kuningan dan perunggu yang mewakili golongan elite, bangsawan, ningrat, dan semacamnya.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=59|url-status=live}}</ref>
Baris 64:
PSK di masa aktifnya sering mengadakan kegiatan dialog sastra bersama [[Umar Kayam]] dan sastrawan lainnya yang dipandang mapan di wilayah sastra nasional. Cak Nun dan Linus Suryadi AG dikenal memiliki kedekatan dengan beliau. Tahun 1981<ref>{{Cite web|url=https://iwp.uiowa.edu/residency/participants-by-year/1981|title=1981 Participants|last=|first=|date=|website=International Writing Program|access-date=19 Desember 2019}}</ref>, Umar Kayam merekomendasikan Cak Nun untuk mengikuti ''[[Iowa International Writing Program|International Writing Program]]'' di [[Universitas Iowa]], [[Amerika Serikat]].<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/cak-nun-dalam-lanskap-sastra-dan-sabana-sosial/|title=Sepotong Dunia Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=194|url-status=live}}</ref>
 
Sebagai sastrawan, Cak Nun juga diundang dalam beberapa acara internasional. Tahun 1984, Cak Nun diundang untuk mengikuti ''The International Poetry Reading Festival'' di [[Rotterdam]] [[Belanda]]. Seorang profesor di [[Universitas Leiden]], menjadi anggota ''committee'' festival, yang menentukan siapa saja yang layak diundang ke festival bergengsi itu. AtasDisarankan sarankepada Siswasang Santoso,profesor oleh Siswa sahabatSantoso—sahabat Cak Nun ketika aktif dalam diskusi di rumah almarhum Umar Kayam di Yogyakarta pada akhir era 70-an awal 80-an, seorang Emha Ainun Nadjib adalah sosok yang bisa diundang yang dianggap akan “menghidupkan” ''event'' itu.<ref name=":9">{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2019/menggelandang-di-belanda/|title=Menggelandang di Belanda|last=Karim|first=Ahmad|date=4 Oktober 2019|website=CakNun.com|access-date=13 Desember 2019}}</ref>
 
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib di ISS Den Haag.jpg|jmpl|Emha Ainun Nadjib berorasi dalam Dies Natalies 2008 Institute of Social Studies (ISS) di Den Haag.]] Berawal hanya diundang untuk mengisi festival, keberadaan Cak Nun di Belanda kemudian berlanjut. Profesor Ben White dari '''ISS (Institute of Social Studies)''' [[Den Haag]] menyukai pemikiran Cak Nun sehingga didukung untuk berkegiatan di ISS Den Haag selama setahun. IaCak Nun bisa kuliah, seminar, konferensi, ke Berlin, ke mana-mana, asalkan untuk mendukung imajinasinya menulis. Tulisan-tulisannya pada periode itu banyak dimuat di buku ''Dari Pojok Sejarah''.<ref name=":9" />
 
Tahun 1985, Cak Nun mengikuti ''Festival Horizonte III'' di [[Berlin]], [[Jerman]]. Pada festival ini, ia membacakan puisi-puisinya yang dipadukan dengan ayat-ayat Al-Qur`an.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2016/soto-handuk-celupan-sepatu-ala-chef-pipit-rochiyat/|title=Soto Handuk Celupan Sepatu Ala Chef Pipit Rochiyat|last=Agustian|first=Fahmi|date=17 Oktober 2016|website=CakNun.com|access-date=13 Desember 2019}}</ref> Seperti ketika di Rotterdam, Cak Nun juga kemudian menetap lama di Jerman. Tahun 1983, Cak Nun bersama Gus Dur dan rombongan berkunjung ke Jerman, mereka menginap di kediaman Adnan Buyung Nasution yang sedang studi. Di sini Cak Nun bertemu dengan Pipit Rochiyat Kartawidjaja yang kemudian saling menemukan kecocokan pemikiran. Ketika berkelana di Jerman tahun 1985 itu, Cak Nun tinggal di rumah Pipit. Sebagian tulisan dalam buku ''Dari Pojok Sejarah'' juga ditulis di sana.<ref>{{Cite news|url=https://www.caknun.com/2016/diskusi-bersama-pak-pipit-rochiyat-kartawidjaja/|title=Diskusi bersama Pak Pipit Rochiyat Kartawidjaja|last=|first=Kenduri Cinta|date=27 September 2016|work=CakNun.com|access-date=13 Desember 2019}}</ref>
 
=== Mandar ===
Di Yogyakarta, seorang asli [[Mandar]] [[Sulawesi Barat]], alumni APMD Yogyakarta yang kemudian menjadi Pegawai Negeri Sipil yang suka sastra, bersahabat dengan Cak Nun. Namanya Alisjahbana.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2017/pak-nevi-asisten-pengobatan-cak-nun/|title=Pak Nevi Asisten Pengobatan Cak Nun|last=Mustofa|first=Helmi|date=1 April 2017|website=CakNun.com|access-date=12 Desember 2019}}</ref> Di kampungnya sekitar tahun 1983, di [[Tinambung, Tinambung, Polewali Mandar|Tinambung]], Alisjahbana menghimpun puluhan anak muda yang setiap malam mangkal dan bernyanyi-nyanyi di pinggir jalan, liar dan suka mabuk-mabukkanmabukan. Anak-anak muda yang tidak mampu mengakses bangku persekolahansekolah dan perkuliahankuliah itu dihimpun dalam sebuah komunitas yang diarahkan sebagai wahana pembinaan pengembangan seni budaya. Nama komunitas itu adalah '''Teater Flamboyant'''.<ref name=":10">{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2018/orang-mandar-yang-lahir-di-jombang-jejak-mbah-nun-di-tanah-mandar/|title=Orang Mandar yang Lahir di Jombang: Jejak Mbah Nun di Tanah Mandar|last=Ismail|first=Hamzah|date=8 April 2018|website=CakNun.com|access-date=12 Desember 2019}}</ref>
 
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib dan Nevi Budianto di Tinambung.jpg|jmpl|kiri|Emha Ainun Nadjib dan Nevi Budianto bersama Teater Flamboyant di Tinambung, April 1989.]] Alisjahbana membina mereka agar bisa terarah dan mempunyai prospek dalam hidupnya ke depan. Secara pelan dan bertahap, anak-anak muda liar dan suka mabuk-mabukkanmabukan itu, bisa terkendali. Salah satu cara ia membangun mimpi mereka, adalah dengan mengenalkan beberapa orang pintarnya Indonesia ke mereka. Salah satunya adalahyaitu Cak Nun. Setiap tulisan Cak Nun yang terbit di majalah terkemuka nasional, difotokopi sebanyak mungkin kemudian, dibagikan, kemudiandan malamnya didiskusikan sampai larut. Perlahan tumbuh rasa cinta anak-anak muda itu ke Cak Nun. Tidak satupun tulisannya yang ada di sejumlah media dilewatkan.<ref name=":10" />
 
Tahun 1987, atas inisiatif anak-anak itu, Cak Nun diundang ke Mandar. Ia disambut dengan gembira. Selama di Mandar, ia melakukan berbagai aktivitas. Memimpin langsung workshop teater, memandu anak-anak muda dalam diskusi dengan aneka topik, mandi ke sungai Mandar, sambil menantang anak-anak Mandar berlomba menyelam.<ref name=":10" /> Tidak hanya bagi anak-anak muda ini, kedatangan Cak Nun juga punya arti besar bagi masyarakat Tinambung. Ketika itu Tinambung sedang mengalami kemarau panjang. Cak Nun lalu mengajak masyarakat bersama-sama sembahyang minta hujan. Begitu rampung shalat, hujan turun dengan lebatnya. Dan Cak Nun dianggap membuat keajaiban hingga banyak orang-orang tua mendatanginya di penginapan untuk meminta berkah doa dan pengobatan.<ref name=":11">{{Cite news|url=|title=Di Tinambung Mandar, Sulawesi Selatan, Emha Dimintai Berkah dan Pengobatan|last=Budianto|first=Nevi|date=11-17 Juni 1989|work=Minggu Pagi|access-date=12 Desember 2019}}</ref>
 
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib dan Baharuddin Lopa.jpg|jmpl|kiri|Emha Ainun Nadjib bersama Baharuddin Lopa dalam sebuah acara di Polewali Mandar.]] Tanggal 23-26 April 1989, Cak Nun datang kembali ke Tinambung bersama Nevi Budianto untuk kembali mengadakan workshop teater. Kegiatan ini juga diikuti pemuda-pemuda sekitar Tinambung: [[Polewali Mandar|Polewali]], Wonorejo, dan [[Campalagian, Polewali Mandar|Campalagian]].<ref name=":11" /> Cak Nun pun sering ke Mandar pada tahun-tahun berikutnya hingga terjalin hubungan persaudaran yang sangat kuat antara mereka.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2018/contoh-hubungan-erat-antar-dua-etnis/|title=Contoh Hubungan Erat Antar Dua Etnis|last=Mustofa|first=Helmi|date=24 Maret 2018|website=CakNun.com|access-date=12 Desember 2019}}</ref> Cak Nun diaulatdidaulat sebagai orang Mandar yang lahir di Jombang oleh tokoh-tokoh masyarakat Mandar yang berhimpun di Yayasan Sipamandar.<ref name=":10" /> Cak Nun juga menjadi dekat dengan tokoh Mandar, yaitu [[Baharuddin Lopa]]<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/foto/mozaik/korek-jress-di-bandara/|title=Korek Jress di Bandara|last=|first=|date=|website=CakNun.com|access-date=12 Desember 2019}}</ref> dan Bunda Cammana.
 
Tahun 2011, bertempat di Gedung [[Cak Durasim]] [[Kota Surabaya|Surabaya]], Cak Nun bersama Masyarakat Maiyah memberikan '''Ijazah Maiyah''' dan '''Syahadah Maiyah''' kepada mereka yang meneguhkan 5 prinsip nilai-nilai kehidupan: '''Kebenaran, Kesungguhan, OtensitasOtentisitas, Kesetiaan, Keikhlasan'''. Dua di antara 12 orang penerimanya adalah orang Mandar: Alisjahbana dan Bunda Cammana.
 
Kedekatannya dengan masyarakat Mandar, membuat Cak Nun diminta memediasi pertemuan pejuang pembentukan Sulawesi Barat dengan Gus Dur yang ketika itu menjadi Presiden. Dengan terlibatnya Cak Nun, masyarakat Mandar yakin perjuangan pembentukan Sulawesi Barat yang sudah lama diupayakan akan membuahkan hasil. Akhirnya September 2004, Provinsi Sulawesi Barat bisa terwujud.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2016/rihlah-cammanallah-perjalanan-ke-bunda-cammana/|title=Rihlah Cammanallah: Perjalanan ke Bunda Cammana|last=Rahardjo|first=Toto|date=29 April 2016|website=CakNun.com|access-date=12 Desember 2019}}</ref>
 
=== Lautan Jilbab ===
Selain bersama Teater Dinasti, di era tahun 1980-an dan awal 1990-an, Cak Nun juga menghasilkan karya-karya naskah pementasan drama seperti ''Santri-santri Khidlir'', ''Sunan Sableng dan Baginda Faruq'', ''Keluarga Sakinah'', ''Lautan Jilbab'', ''Pak Kanjeng'', dan ''Perahu Retak''.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=63|url-status=live}}</ref> Pementasan '''''Lautan Jilbab''''' diangkat dari judul puisi berjudul sama. Puisi ini tercipta pada 16 Mei 1987 secara spontan, sore hari sebelum Cak Nun mengisi acara “Ramadlan in Campus” yang diselenggarakan Jamaah Shalahuddin UGM.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=64|url-status=live}}</ref> Setelah penampilan penyair [[Taufiq Ismail]] di ''boulevard'' UGM, pentas puisi ''Lautan Jilbab'' mendapat sambutan hangat 6000-an orang yang hadir.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=65|url-status=live}}</ref> Puisi ini kemudian mengalami revisi, dari satu judul berkembang menjadi 33 sub judul yang, terhimpun dalam buku ''Syair Lautan Jilbab'' yang terbit tahun 1989.<ref name=":12" />
 
Pada masa [[Orde Baru]] ketika itu, pemakaian jilbab di kalangan muslimah Indonesia, terutama di sekolah dan di tempat kerja dilarang oleh pemerintah. Karena pemakaian jilbab dianggap sebagai fenomena politik Islam.<ref>{{Cite web|url=https://historia.id/kultur/articles/jilbab-terlarang-di-era-orde-baru-6k4Xn|title=Jilbab Terlarang di Era Orde Baru|last=Jo|first=Hendi|date=|website=Historia|access-date=5 Desember 2019}}</ref> Atas bentuk represi Orde Baru itu, Cak Nun yang sejak kecil menentang ketidakadilan, memandang tindakan pemerintah ini melanggar hak asasi perempuan untuk berjilbab. Puisi ''Lautan Jilbab'' ini merupakan resistensi Cak Nun terhadap pembatasan hak asasi manusia oleh Orde Baru.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/cak-nun-dalam-lanskap-sastra-dan-sabana-sosial/|title=Sepotong Dunia Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=109|url-status=live}}</ref>
 
[[Berkas:Lautan Jilbab Naskah Emha Ainun Nadjib.jpg|jmpl|Pementasan drama Lautan Jilbab, naskah Emha Ainun Nadjib, disutradarai Agung Waskito dengan supervisi Dr. Kuntowijoyo.]] Drama ''Lautan Jilbab'' pertama kali dipentaskan kelompok Sanggar Shalahuddin UGM, disutradarai oleh Agung Waskito dengan ''supervisor'' [[Kuntowijoyo|Dr. Kuntowijoyo]]. Pementasan ini dianggap memecahkan rekor jumlah penonton. Tidak kurang dari 3000 penonton dipada malam pertama, dan sekitar 2000 penonton disaat malam kedua.<ref>{{Cite book|url=https://www.goodreads.com/book/show/23715913-kitab-ketenteraman|title=Kitab Ketentraman: Dari Khasanah Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=147|url-status=live}}</ref> Karena antusias yang tinggi itu, drama ini dipentaskan di banyak kota selain di Yogyakarta, yaitu di Madiun, Malang, Surabaya, Bandung, Jember, dan Makassar.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/cak-nun-dalam-lanskap-sastra-dan-sabana-sosial/|title=Sepotong Dunia Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=107|url-status=live}}</ref>
 
Puisi dan pementasan teater ''Lautan Jilbab'' tak ubahnya sebuah ajakan perlawanan. Sejak itu pemakaian jilbab punya arti perlawanan terhadap otoritarianisme Orde Baru.<ref name=":13">{{Cite web|url=https://www.caknun.com/foto/mozaik/lautan-jilbab/|title=Lautan Jilbab|last=|first=|date=|website=CakNun.com|access-date=5 Desember 2019}}</ref> Cak Nun mengungkapkan alasan perlawanannya:<ref name=":13" /> <blockquote>“''Pakai jilbab atau tak berjilbab adalah otoritas pribadi setiap wanita. Pilihan atas otoritas itu silahkan diambil dari manapun: dari studi kebudayaan, atau langsung dari kepatuhan teologis. Yang saya perjuangkan bukan memakai jilbab atau membuang jilbab, melainkan hak setiap manusia untuk memilih.''” </blockquote>Menurut [[Niels Mulder|Niels Murder]], seorang sosiolog Belanda yang perhatian kepada perkembangan sosiokultural Indonesia, sejak pentas ''Lautan Jilbab'' oleh Cak Nun bersama Sanggar Shalahuddin digelar, busana muslimah berjilbab menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia.<ref>{{Cite book|title=Ruang Batin Masyarakat Indonesia|last=Mulder|first=Niels|publisher=LKiS|year=2001|isbn=978-979-896-634-7|location=Yogyakarta|pages=27|url-status=live}}</ref><ref>{{Cite book|url=https://www.goodreads.com/book/show/13097709-di-jawa?rating=2&utm_medium=api&utm_source=blog_book|title=Di Jawa: Petualangan Seorang Antropolog|last=Mulder|first=Niels|publisher=Kanisius|year=2007|isbn=978-979-211-467-6|location=Yogyakarta|pages=268|url-status=live}}</ref>
 
=== ICMI ===
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib dan B. J. Habibie.jpg|jmpl|kiri|Pertemuan Emha Ainun Nadjib dan B. J. Habibie tahun 1991.]] Cak Nun tidak menamatkan kuliah, tetapi ia dipandang sebagai salah satu intelektual terkemuka di Indonesia. Dekan [[Fakultas Psikologi Universitas Indonesia|Fakultas Psikologi UI]] tahun 1991, Dr. Yaumil Agus Akhir, mengatakan bahwa Cak Nun layak diberi gelar Doktor ''Honouris Causa'', atau bahkan profesor karena pikiran dan wawasannya yang luas dan didukung analisis yang tajam.<ref>{{Cite news|url=|title=Emha Layak Dapat Gelar Doktor HC|last=|first=|date=12 Mei 1991|work=Kedaulatan Rakyat|access-date=12 Desember 2019}}</ref> Pada usianya yang belum genap 40 tahun, Cak Nun dimasukkan ke dalam jajaran kepengurusan [[Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia|ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia)]] yang dibentuk pada Desember 1990, dipimpin oleh [[B. J. Habibie|B.J. Habibie]].<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib: Bentangan Pengembaraan Pemikiran|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=67|url-status=live}}</ref> Terkait hal ini, Cak Nun sejak awal mempertanyakan keterlibatannya di ICMI dengan bersurat langsung ke B.J. Habibie karena namanya dimasukkan dalam jajaran pengurus ICMI tanpa konfirmasi dan persetujuan resmi darinya.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=69|url-status=live}}</ref>
 
Cak Nun kemudian menerima dijadikan Ketua Bidang Dialog Kebudayaan, lantaran B.J. Habibie menjanjikan ICMI mampu menyelesaikan persoalan [[Waduk Kedungombo]].<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=70|url-status=live}}</ref> Namun, ICMI tidak berhasil membantu masyarakat Kabupaten [[Kabupaten Sragen|Sragen]], [[Kabupaten Boyolali|Boyolali]], dan [[Kabupaten Grobogan|Grobogan]], yang tertindas karena tidak mendapatkan ganti rugi tanah yang digunakan Orde Baru untuk pembangunan waduk.<ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=W55dUqZ9jDkC&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false|title=Jalan Sunyi Emha|last=Betts|first=Ian Leonard|publisher=Kompas|year=2006|isbn=979-709-255-0|location=Jakarta|pages=28|url-status=live}}</ref> Karena itu, Cak Nun memutuskan keluar dari ICMI.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2018/wah-mbah-nun-mundur-dari-icmi/|title=Wah, Mbah Nun Mundur Dari ICMI|last=Mustofa|first=Helmi|date=12 Maret 2018|website=CakNun.com|access-date=5 Desember 2019}}</ref> Bulan Februari 1991, secara resmi Cak Nun mengirimkan surat pengundurannya langsung kepada B.J. Habibie.<ref>{{Cite news|url=|title=Setelah Pengurus Diumumkan|last=|first=|date=23 Februari 1991|work=Majalah TEMPO|access-date=5 Desember 2019}}</ref> Praktis hanya dua bulan ia menjadi pengurus ICMI.
 
=== Pak Kanjeng ===
''Pak Kanjeng'' merupakan naskah Cak Nun, yang dipentaskan untuk mengkritik dan merespons kesemena-menaan penguasa rezim Orde Baru ketika membangun Waduk Kedungombo.<ref name=":14">{{Cite web|url=https://www.caknun.com/foto/mozaik/pak-kanjeng/|title=Pak Kanjeng|last=|first=|date=|website=CakNun.com|access-date=5 Desember 2019}}</ref> Setelah sebelumnya sangat sulit sekali mendapat izin pentas, tanggal 16 dan 17 November 1993 di Purna Budaya Yogyakarta (sekarang menjadi Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri UGM]), lakon ''Pak Kanjeng'' dipentaskan. Lakon ini memotret perlawanan seorang warga, yaitu Pak Jenggot, dalam menolak pembangunan Waduk Kedungombo di Boyolali, Jawa Tengah. Pementasan ini ditampilkan dengan bahasa yang sangat deras, keras, tajam, pintar, dan sarkastis.<ref>{{Cite news|url=|title=Lakon Politik Pak Kanjeng|last=|first=|date=27 November 1993|work=Majalah TEMPO|access-date=5 Desember 2019}}</ref>
 
[[Berkas:Pak Kanjeng Naskah Emha Ainun Nadjib.jpg|jmpl|Pementasan lakon Pak Kanjeng, naskah Emha Ainun Nadjib tahun 1993.]] ''Pak Kanjeng'' diperankan oleh tiga aktor yaitu Joko Kamto, Nevi Budianto, dan [[Butet Kertaradjasa]]. Ketiganya, masing-masing menggambarkan sebuah pribadi yang terpecah menjadi tiga: yang keras melawan, yang lunak toleran, dan yang ragu-ragu. Itu merupakan tiga faset kejiwaan ''Pak Kanjeng'' dalam menghadapi kekuasaan Orde Baru.<ref name=":14" /> Pementasan ini digarap oleh '''Komunitas Pak Kanjeng''' (yang memang diambil dari judul naskah ini) dengan forum penyutradaraan oleh sembilan sutradara.<ref name=":14" /> Selain ketiga pemainnya, dalam forum sutradara ini turut terlibat pula [[Agus Noor]], Indra Tranggono, [[Djaduk Ferianto|Djadug Ferianto]], dan Cak Nun sendiri.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/cak-nun-dalam-lanskap-sastra-dan-sabana-sosial/|title=Sepotong Dunia Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=118|url-status=live}}</ref> Gagasan berani dan keras dalam pementasan lakon yang mengkritik Orde Baru ini menyebabkan pertunjukannya dilarang di berbagai kota.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=76|url-status=live}}</ref>
 
Bagi Cak Nun sendiri, ''Pak Kanjeng'' bukan terutama sebuah pertunjukan. Melainkan sebuah laboratorium budaya, '''Laboratorium Pak Kanjeng''' yang kemudian dalam pementasan-pementasan selanjutnya menjadi Komunitas Pak Kanjeng (KPK). Komunitas ini pada akhirnya mengalami perubahan format, bermetamorfosa menjadi '''Gamelan Kiai Kanjeng''' yang diinisiasi oleh [[Toto Rahardjo]]. Personel awal adalah Nevi Budianto, Joko Kamto, Bayu Kuncoro, Narto Piul. Selanjutnya beberapa personel baru pun direkrut ketika itu seperti Bobiet, Joko SP, Azied Dewa, Yoyok Prasetyo, Imoeng, Ismarwanto, Ardhani, dan Giyanto. Kemudian Kiai Kanjeng pada tahun-tahun selanjutnya selalu bersama Cak Nun dalam melayani masyarakat.<ref name=":15">{{Cite web|url=http://kenduricinta.com/v5/penabuh-gong/|title=Penabuh Gong|last=Majid|first=Munzir|date=10 Oktober 2016|website=KenduriCinta.com|access-date=5 Desember 2019}}</ref>
 
=== Televisi dan Radio ===
Setelah sebelumnya Cak Nun banyak menyampaikan gagasan dan kritiknya lewat media cetak, seminar, ceramah, pementasan musik puisi dan pertunjukan drama, pada pertengahan 1990-an ia memanfaatkan media audio-visual. Bersama Kiai Kanjeng, pada 29 April 1996 Cak Nun mementaskan musik puisi ''Talbiyah Cinta'' di [[RCTI]] untuk menyambut [[Iduladha|Idul Adha]].<ref name=":15" /> Beberapa seniman terlibat seperti [[Ita Purnamasari]], [[Novia Kolopaking]], [[Gito Rollies]], [[Dewi Gita]], [[Amak Baldjun]], [[Amoroso Katamsi]], dan Wiwiek Sipala.
 
Masih di tahun 1996, stasiun televisi [[Indosiar]] setiap hari menyiarkan program acara ''Cermin'', yang digagas Cak Nun dan Uki Bayu Sejati.<ref name=":16">{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=78|url-status=live}}</ref> Dengan pembawaannya, Cak Nun mengajak para penonton untuk tenang dan rileks ketika menikmati tontonan berdurasi sangat singkat, sekitar satu atau dua menit.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2017/masih-di-depan-cermin/|title=Masih di Depan 'Cermin'|last=Kurniawan|first=Didik W|date=10 April 2017|website=CakNun.com|access-date=6 Desember 2019}}</ref> Cak Nun muncul di antara tayangan iklan atau acara-acara lainnya, sebanyak 70 episode. Pesan yang disampaikannya cukup variatif. Tak lepas dari sentuhan moral agama dan masalah sosial.<ref>{{Cite news|url=|title=Emha Ainun Nadjib Tampil di Indosiar|last=|first=Akhmadi|date=20 Januari 1996|work=Majalah GATRA|access-date=6 Desember 2019}}</ref> Program ini dimaksudkan Cak Nun untuk menyajikan kepada pemirsa, sebuah tayangan yang lebih kontemplatif dan berprioritas moral, di tengah kondisi siaran televisi yang dipenuhi hiburan-hiburan ringan dan hanya mimpi-mimpi.<ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=W55dUqZ9jDkC&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false|title=Jalan Sunyi Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=36|url-status=live}}</ref> Selain ''Cermin'', di Indosiar Cak Nun juga pernah memproduksi dan menayangkan sebuah ''talk show'' yang bernuansa santai tapi berisi tema-tema serius dan kritis. Acara yang tayang setiap Kamis malam ini bernama ''Gardu''.<ref name=":16" />
 
Cak Nun dilibatkan dalam sebuah perhelatan besar di masa Orde Baru yang mendapat porsi tayangan media sangat penting. Yaitu siaran malam takbiran tahun 1997. Bertempat di kawasan [[Monumen Nasional|Monumen Nasional (Monas)]], acara yang bertajuk ''Gema Zikir dan Takbir'' digelar.<ref name=":17">{{Cite news|url=|title=Silatnas Politik Cak Nun|last=|first=|date=1 Maret 1997|work=Majalah SINAR|access-date=6 Desember 2019}}</ref> Penting karena Presiden Soeharto memimpin langsung takbiran itu. Sebuah momen langka Soeharto takbiran nasional. Bersama Soeharto dalam takbiran itu adalah Wakil Presiden [[Try Sutrisno]], [[Rhoma Irama]], [[Zainuddin M.Z.|K.H. Zainuddin MZ]], Cak Nun, [[Muhammad Quraish Shihab|Prof. Dr. Quraisy Shihab]], [[Hasan Basri (ulama)|K.H. Hasan Basri]], [[Muammar Z.A.]], dan [[Ilyas Ruhiat|K.H. Ilyas Ruchiyat]].<ref name=":18">{{Cite news|url=https://republika.co.id/berita/kolom/fokus/paekuu318/soeharto-tabir-dan-takbir-1997|title=Soeharto, Tabir dan Takbir 1997|last=Ginting|first=Selamat|date=16 Juni 2018|work=Republika|access-date=6 Desember 2019}}</ref>
 
Takbiran yang memang bernuansa politis, namun juga kental dengan unsur budaya. Hadirnya 'raja dangdut' Rhoma Irama dan Cak Nun menjadi magnet tersendiri. Takbir dan zikir penuh warna kesenian nuansa Islami yang tidak monoton.<ref name=":18" /> Sebuah penggalan zikir pencerahan di masa menjelang krisis moneter itu disampaikan Cak Nun:<ref name=":17" /> <blockquote>“''Wahai Engkau pembuka segala pintu. Mohon. Jangan lagi bukakan pintu kelaliman di hati kami. Jangan bukakan lagi pintu kekerasan dan kebrutalan. Jangan bukakan pintu benci dan dengki di dalam jiwa kami. Mohon. Mohon. Jangan bukakan api dari lubuk nafsu kami. Ya Allah. Jangan bukakan pintu kerusuhan-kerusuhan lagi.''”</blockquote>Selain televisi, Cak Nun berkomunikasi kepada masyarakat lewat frekuesi radio. Rekaman suara pemikirannya pernah disiarkan Radio Delta FM dalam tajuk ''Catatan Kehidupan''.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=80|url-status=live}}</ref> Bulan Ramadlan tahun 2018 dan 2019, Cak Nun juga menyampaikan pesan-pesannya dalam program Radio [[Suara Surabaya]] bertajuk ''Tasbih''.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2018/ramadlan-di-suara-surabaya/|title=Ramadlan di Suara Surabaya|last=|first=|date=|website=CakNun.com|access-date=6 Desember 2019}}</ref>
Baris 159:
Yusril dan Saadilah pasca pertemuan itu tetap menjalankan perintah Soeharto untuk memformulasikan 45 nama-nama anggota Komite Reformasi. Namun orang-orang yang dihubungi, mayoritas menolak. Fahmi Idris yang awalnya mau, lantas mulai ragu-ragu. Ismail Sunny juga mengiyakan, tapi kemudian tidak mengontak lagi.<ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=0YXf3zA8gsUC&printsec=frontcover&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false|title=Mereka Mengkhianati Saya: Sikap Anak-anak Emas Soeharto di Penghujung Orde Baru|last=Soempeno|first=Femi Adi|publisher=Galang Press|year=2008|isbn=978-979-249-954-4|location=Yogyakarta|pages=172|url-status=live}}</ref>
 
Berbeda dengan Cak Nur, Cak Nun, dan Gus Dur yang mendukung adanya Komite Reformasi,<ref name=":27">{{Cite news|url=|title=Pak Harto: Saya Kapok Jadi Presiden|last=|first=|date=20 Mei 1998|work=Kompas|access-date=8 Desember 2019}}</ref> Amien Rais menolak gagasan itu karena menurutnya jika ketuanya adalah Soeharto sendiri, komite itu akan kehilangan kredibilitas dan akan sulit mencari tokoh yang kompeten untuk duduk di dalamnya.<ref name=":19" /> Bahkan ia memandang, Komite Reformasi ini hanya cara Soeharto untuk mengulur waktu dan tetap berkuasa.<ref>{{Cite web|url=https://nationalgeographic.grid.id/read/131733315/hari-ini-dalam-sejarah-21-mei-1998-jadi-saksi-keruntuhan-hegemoni-soeharto-oleh-gerakan-reformasi?page=all|title=Hari Ini dalam Sejarah: 21 Mei 1998 Jadi Saksi Keruntuhan Hegemoni Soeharto oleh Gerakan Reformasi|last=|first=|date=21 Mei 2019|website=National Geographic Indonesia|access-date=9 Desember 2019}}</ref> Sebenarnya Amien Rais akan ditunjuk sebagai Presiden Republik Indonesia oleh Komite Reformasi untuk memimpin masa transisi, namun Cak Nur tidak berhasil menjelaskan gagasan itu kepadanya.<ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=L_d5QeWgyi4C&pg=PA54&lpg=PA54&dq=demokrasi+la+roiba+fih&source=bl&ots=1fylHMUpvx&sig=ACfU3U0kGjn02AnHHzkFVGtsAJseKrSwzg&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwjZ7Nyv4rXmAhWHUs0KHaHXCB0Q6AEwCHoECAoQAQ#v=onepage&q&f=false|title=Demokrasi La Roiba Fih|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=117|url-status=live}}</ref> Pada akhirnya Komite Reformasi pun kandas di tengah jalan, gagal terwujud.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib: Bentangan Pengembaraan Pemikiran|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=94|url-status=live}}</ref>
 
=== ''Ora Pathèken'' ===
Baris 171:
 
=== Empat Sumpah Soeharto ===
Presiden Soeharto sudah turun, dan B.J. Habibie menjadi presiden. Di masa kepresidenan Habibie, krisis multidimensi terjadi. Pemimpin-pemimpin politik tidak bisa bersatu. Menurut Cak Nun ketika itu, siapapun bisa bicara apa saja dan bahkan para pemimpin pun sulit dipercaya. Himbauan ulama untuk tidak berbuat rusuh tidak dihiraukan. Kerusuhan terjadi di mana-mana. Karena itu Cak Nun yang resah dengan keadaan ini memandang keluarga besar bangsa Indonesia perlu melakukan '''''Ikrar Husnul Khatimah'''.'' Ikrar yang digagas Cak Nun ini rencananya diselenggarakan pada 14 Februari 1999, bertempat di [[Masjid Baiturrahman Jakarta|Masjid Baiturrahman]] Komplek DPR/MPR. Mulanya, ide ini dilontarkan Cak Nun pada saat shalat tarawih Ramadlan, awal tahun 1999, bersama [[Ginandjar Kartasasmita|Ginanjar Kartasasmita]], [[Abdul Latief (pengusaha)|Abdul Latief]], [[A.M. Hendropriyono]], dan [[Akbar Tanjung]]. Menurutnya, ini satu-satunya cara untuk mencoba membuka pintu krisis legitimasi yang dialami Indonesia.<ref name=":28">{{Cite news|url=|title=Husnul Khatimah Ide Cak Nun Bukan Pak Harto|last=|first=|date=15-28 Februari 1999|work=Majalah GARDA|access-date=8 Desember 2019}}</ref>
 
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib dan Soeharto di Jalan Cendana.jpg|jmpl|Emha Ainun Nadjib mengundang Soeharto di rumahnya di Jalan Cendana untuk menghadiri Ikrar Husnul Khatimah, Februari 1999.]] Dalam rencana acara Pertobatan Nasional bertajuk ''Ikrar Husnul Khatimah'' itu, para tokoh nasional diundang. Selain tiga tokoh di atas, tokoh-tokoh yang diundang antara lain: Presiden B.J. Habibie, Wiranto, Gus Dur, Megawati, Amien Rais, para menteri dan tokoh-tokoh lainnya, termasuk Soeharto.<ref name=":28" /> Cak Nun mengundang Soeharto secara langsung ketika bertemu dengannya di Cendana sebanyak dua kali. Tanggal 26 Januari 1999, Soeharto mengundang Cak Nun. Sebelumnya, beberapa kali, orang-orang lain, termasuk anak-anaknya, [[Tommy Soeharto|Hutomo Mandala Putra]] dan [[Bambang Trihatmodjo]], mencoba menghubungkan Cak Nun dengan Soeharto, tetapi tidak berhasil. Menurut Soeharto, Cak Nun termasuk orang yang dia percayai karena di tengah-tengah hujatan kepadanya, Cak Nun dianggap cukup objektif.<ref>{{Cite news|url=|title=Membawa Ember ke Cendana|last=|first=|date=13 Februari 1999|work=Majalah GATRA|access-date=8 Desember 2019}}</ref>
 
Dalam pertemuan pertama selama tiga jam di kediamannya, Soeharto menyanggupi untuk hadir pada acara tanggal 14 Februari. Tidak hanya akan hadir, ia setuju untuk membayar semua dosanya dan mengakhiri sisa kehidupan dengan kebaikan-kebaikan dengan menandatangani rumusan '''''Empat Sumpah Soeharto''''', di hadapan Cak Nun.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib: Bentangan Pengembaraan Pemikiran|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=96|url-status=live}}</ref> Sumpah yang rencananya dinyatakan di hadapan seluruh masyarakat, tokoh, dan semua wartawan media cetak dan televisi yang akan hadir itu berisi:<ref>{{Cite news|url=|title=4 Sumpah Pak Harto|last=Nadjib|first=Emha Ainun|date=22 Mei 2002|work=Jawa Pos|access-date=8 Desember 2019}}</ref> <ref name=":29">{{Cite news|url=|title=Mengatur Tobat Dari Desa Menturo|last=|first=|date=13 Februari 1999|work=Majalah GATRA|access-date=8 Desember 2019}}</ref>
'''(1)''' Bahwa saya, Soeharto, bersumpah tidak akan pernah menjadi Presiden Republik Indonesia lagi. '''(2)''' Bahwa saya, Soeharto, bersumpah tidak akan pernah turut campur dalam setiap proses pemilihan Presiden Republik Indonesia. '''(3)''' Bahwa saya, Soeharto, bersumpah siap dan ikhlas diadili oleh Pengadilan Negara untuk mempertanggungjawabkan kesalahan saya selama 32 tahun menjadi Presiden Republik Indonesia. '''(4)''' Bahwa saya, Soeharto, bersumpah siap dan ikhlas mengembalikan harta rakyat yang dibuktikan oleh Pengadilan Negara.
Ide Cak Nun agar Soharto melakukan pertobatan ini lantas menjadi pemberitaan. Termasuk, menurut Cak Nun, ada pemberitaan miring dengan tuduhan yang penuh curiga dan tafsir aneh-aneh tanpa mengerti inti acara sebenarnya. Berita yang dimaksud dimuat antara lain di ''Pos Kota'' dan ''Terbit'' pada 3 Februari 1999. Berita-berita itu menggiring opini bahwa acara ini digagas Soeharto sebagai langkahnya menghindari upaya hukum yang sedang diproses untuk menghukumnya.<ref name=":28" /> Cak Nun juga mendapat tanggapan bernada negatif dari para tokoh politik yang menganggap Cak Nun telah menjadi “mesin politik” Soeharto.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=97|url-status=live}}</ref> Gus Dur juga tampaknya kurang antusias dengan ide acara tersebut.<ref name=":29" />
Baris 196:
=== Padhangmbulan ===
 
Embrio atau cikal bakal Maiyah berawal dari sebuah pengajian tahun 1994 yang digagas Adil Amrullah (adik Cak Nun). Pengajian ini diselenggarakan di rumah orang tua Cak Nun di Jombang sebagai jalan silaturahmi Cak Nun dengan keluarga.<ref>{{Cite book|url=https://www.goodreads.com/en/book/show/13607108-spiritual-journey-pemikiran-perenungan-emha-ainun-nadjib|title=Spiritual Journey: Pemikiran dan Permenungan Emha Ainun Nadjib|last=Saputra|first=Prayogi R|publisher=Kompas|year=2016|isbn=978-602-412-092-4|location=Jakarta|pages=30|url-status=live}}</ref> Karena padatnya jadwal undangan Cak Nun, maka keinginan teman-teman di Jawa Timur untuk bertemu dengannya diputuskan bisa satu bulan sekali. Cak Dil—panggilan akrab Adil Amrullah—butuh waktu dua tahun sejak 1992 merayu Cak Nun. Setelah disepakati, akhirnya mulai bulan Oktober 1994 diselenggarakan pengajian rutin.<ref>{{Cite news|url=|title=Pengajian Padang Mbulan, Dari Mengaji Hingga Membuat Bank Syariah|last=|first=|date=9 Februari 1996|work=Republika|access-date=15 Desember 2019}}</ref>
 
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib di Padhangmbulan 1990-an.jpg|jmpl|kiri|Suasana Padhangmbulan di tahun 90-an.]] Pengajian itu dinamakan '''Padhangmbulan''' yang secara kebetulan diadakan setiap pertengahan bulan [[Kalender Hijriyah|Hijriah]], dan hari kelahiran Cak Nun adalah 15 [[Ramadan|Ramadlan]] ketika bulan purnama.<ref name=":34">{{Cite news|url=|title=Emha 'Kyai Mbeling' Ainun Nadjib: Bukan Organisasi, tapi Laboratorium Alam Pikir, Iman dan Sikap|last=|first=|date=9 Februari 1996|work=Republika|access-date=15 Desember 2019}}</ref> Padhangmbulan awalnya diikuti 50 sampai 60 orang. Bulan kedua 270 orang. Bulan ketiga 500 orang.<ref>{{Cite book|url=https://www.goodreads.com/en/book/show/13607108-spiritual-journey-pemikiran-perenungan-emha-ainun-nadjib|title=Spiritual Journey|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=73|url-status=live}}</ref> Setelah lebih dari 14 bulan diselenggarakan, pada awal tahun 1996 membludak hingga 10.000 orang yang puncaknya ketika menjelang Reformasi, pernah dihadiri 35.000 orang.<ref name=":34" /> Dilihat dari pelat kendaraan mereka, ada yang dari Surabaya, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo, Cirebon, Malang, Brebes, dan lain-lain.<ref name=":38">{{Cite news|url=|title=Satu Purnama di Tepi Jombang|last=Anam|first=Saiful|date=6 Maret 1999|work=Majalah GATRA|access-date=}}</ref>
 
Desa Menturo setiap Padhangmbulan diadakan menjadi sangat ramai. Sebenarnya pada masa lalu desa ini juga cukup ramai pada saat Muhammad Abdul Latief—akrab dipanggil Cak Mad, ayah Cak Nun masih hidup. Almarhum mewarnai kegiatan kehidupan masyarakat Menturo.<ref name=":38" /> Cak Mad mendirikan Madrasah Islamiyah “Mansyaul ‘Ulum” di Menturo Timur tahun 1958.<ref name=":37" /> Namun sepeninggal Cak Mad pada tahun 1975, keramaian saat itu perlahan meredup. Pun Cak Nun bersaudara banyak beraktivitas di luar Jombang. Hanya kakak keduanya, Miftahus Surur (Cak Mif) yang mendapat amanah melanjutkan perjuangan Cak Mad mengurus madrasah.<ref name=":37" /> Padhangmbulan merupakan bentuk pengabdian anak-anak Cak Mad untuk melanjutkan perjuangan dan menjadi amal jariyah dalam permberdayaan masyarakat.
Baris 244:
*''Juguran Syafaat,'' Banyumas Raya.
*''Maneges Qudroh,'' Magelang.
*''Waro` Kaprawiran,'' Madiun, Ngawi, Magetan, Ponorogo.
*''Damar Kedhaton,'' Gresik.
*''Majelis Gugur Gunung'', Ungaran.
Baris 301:
=== Puisi ===
 
#''“M” Frustasi dan Sajak-sajak Cinta'' (1975). Diterbitkan sederhana oleh Pabrik Tulisan.<ref name=":3039">{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/cak-nun-dalam-lanskap-sastra-dan-sabana-sosial/|title=Sepotong Dunia Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=33-3432|url-status=live}}</ref>
#''Sajak-Sajak Sepanjang Jalan'' (1978). Diterbitkan oleh Tifa Sastra UI.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/buku/puisi/sajak-sajak-sepanjang-jalan/|title=Sajak-Sajak Serpanjang Jalan|last=|first=|date=|website=CakNun.com|access-date=12 Desember 2019}}</ref>
#''Tak Mati-Mati'' (1978). Dibacakan di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.<ref name=":3039" />
#''Nyanyian Gelandangan'' (1982). Dibacakan bersama Teater Dinasti di Taman Budaya Surakarta.<ref name=":3039" />
#''99 Untuk Tuhanku'' (1983). Dibacakan di [[Bentara Budaya Yogyakarta]].<ref name=":30" /> Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Pustaka-Perpustakaan Salman ITB. Diterbitkan kembali oleh Bentang tahun 1993 dan 2015.
#''Iman Perubahan'' (1986).
Baris 406:
=== Musik Puisi ===
 
#''Tuhan Aku Berguru Kepada-Mu'' (1980). Dimusikpuisikan berrsama Teater Dinasti di Taman Ismail Marzuki (TIM).<ref name=":3039" />
#''Isro` Mi’roj Yang Asyik'' (1986). Dimusikpuisikan di UGM, Yogyakarta.<ref name=":3039" />
# ''Satria Natpala'' (1995).
# ''Talbiyah Cinta'' (1996). Dipentaskan di [[RCTI]].<ref name=":15" />
# ''Jangan Cintai Ibu Pertiwi'' (2001).
# ''Kesaksian Orang Biasa'' (2003).
Baris 434:
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib menerima Anugerah Adam Malik.jpg|jmpl|kiri|Emha Ainun Nadjib ketika menerima Anugerah Adam Malik tahun 1991.]] [[Berkas:Emha Ainun Nadjib menerima HIPIIS Award 2017.jpg|jmpl|Emha Ainun Nadjib menerima HIPIIS Social Science Awards 2017.]] September 1991, Cak Nun menerima penghargaan '''Anugerah Adam Malik''' di Bidang Kesusastraan yang diberikan Yayasan Adam Malik. Penyerahan anugerah ini diselenggarakan di Gedung Sekretariat ASEAN, Jakarta. Keputusan anugerah ini berdasarkan hasil seleksi lima orang juri, yaitu [[Rosihan Anwar]], Adiyatman, Lasmi Jahardi, [[Wiratmo Soekito]], dan [[Ami Prijono|Amy Prijono]].<ref>{{Cite news|url=|title=Anugerah Adam Malik Untuk Emha|last=|first=|date=5 September 1991|work=Jawa Pos|access-date=15 Desember 2019}}</ref><ref>{{Cite news|url=|title=Barangkali Saya Memang Konservatif|last=|first=|date=10 September 1991|work=Jawa Pos|access-date=15 Desember 2019}}</ref>
 
Bulan Maret 2011, EmhaCak Nun memperoleh Penghargaan Satyalancana Kebudayaan 2010 dari [[Negara Kesatuan Republik Indonesia]].<ref name="antaranews.com_MenbudparSematk" /> Menurut Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) [[Jero Wacik]], penghargaan diberikan berdasarkan pertimbangan bahwa penerima penghargaan inipenerimaya memiliki jasa besar di bidang kebudayaan yang telah mampu melestarikan kebudayaan daerah atau nasional serta hasil karyanya berguna dan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara.<ref name="antaranews.com_MenbudparSematk">{{Cite web |title=Menbudpar Sematkan Satyalencana Kebudayaan 2010 |author= |work=antaranews.com |date=24 Maret 2011 |accessdate={{date|2016-08-24}} |url=http://www.antaranews.com/berita/251216/menbudpar-sematkan-satyalencana-kebudayaan-2010 |quote= |archivedate= |archiveurl= |dead-url=no}}</ref> Penerimaan penghargaan ini diwakili oleh putranya, [[Noe (Letto)|Noe Letto]].<ref>{{Cite news|url=https://www.kapanlagi.com/showbiz/selebriti/noe-letto-berkarya-tak-hanya-demi-penghargaan.html|title=Noe Letto: Berkarya Tak Hanya Demi Penghargaan|last=|first=Anton|date=24 Maret 2011|work=KapanLagi.com|access-date=13 Desember 2019}}</ref>
 
Pada pergelaran [[Festival Film Indonesia 2012|Festival Film Indonesia (FFI) 2012]], Cak Nun dinominasikan dalam kategori penulis [[Cerita Asli Terbaik Festival Film Indonesia|Cerita Asli Terbaik]] untuk cerita film [[Rayya, Cahaya di Atas Cahaya]]. Film ini juga mendapatkan dua nominasi lain yaitu [[Tio Pakusadewo]] sebagai [[Pemeran Utama Pria Terbaik Festival Film Indonesia|Pemeran Utama Pria Terbaik]], dan [[Christine Hakim]] sebagai [[Pemeran Pendukung Wanita Terbaik Festival Film Indonesia|Pemeran Pendukung Wanita Terbaik]].<ref>{{Cite news|url=https://regional.kompas.com/read/2012/11/27/13280058/diunggulkan.dapat.penghargaan.reaksi.tio.datar|title=Diunggulkan Dapat Penghargaan, Reaksi Tio Datar|last=|first=|date=27 November 2012|work=Kompas.com|access-date=13 Desember 2019}}</ref>