Emha Ainun Nadjib: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika |
Perbaikan salah ketik, kata-kata yang kurang efektif, dan perbaikan referensi. |
||
Baris 22:
'''Muhammad Ainun Nadjib''' atau biasa dikenal '''Emha Ainun Nadjib''' atau '''Cak Nun''' atau '''Mbah Nun'''<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/foto/mozaik/riwayat-panggilan-mbah-nun/|title=Riwayat Panggilan 'Mbah Nun'|last=|first=|date=|website=CakNun.com|access-date=3 Desember 2019}}</ref> (lahir di [[Kabupaten Jombang|Jombang]], [[Jawa Timur]], [[27 Mei]] [[1953]]; umur 66 tahun) adalah seorang tokoh intelektual Muslim [[Indonesia]]. Ia menyampaikan gagasan pemikiran dan kritik-kritiknya dalam berbagai bentuk: puisi, esai, cerpen, film, drama, lagu, musik, talkshow televisi, siaran radio, seminar, ceramah, dan tayangan video. Ia menggunakan beragam media komunikasi dari cetak hingga digital dan sangat produktif dalam berkarya.<ref name=":25">{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2019/terus-berkarya/|title=Terus Berkarya|last=|first=|date=8 Oktober 2019|website=CakNun.com|access-date=3 Desember 2019}}</ref>
Ragam dan cakupan tema pemikiran, ilmu, dan kegiatan Cak Nun sangat luas, seperti dalam bidang sastra, teater, tafsir, tasawwuf, musik, filsafat, pendidikan, kesehatan, Islam, dan lain-lain.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2019/kata-mereka-tentang-cak-nun-kiaikanjeng-dan-maiyah/|title=Kata Mereka Tentang Cak Nun, KiaiKanjeng, dan Maiyah|last=|first=|date=18 Oktober 2019|website=CakNun.com|access-date=3 Desember 2019}}</ref> Selain penulis, ia juga dikenal sebagai seniman, budayawan, penyair, dan pemikir, juga kyai. Banyak orang mengatakan Cak Nun adalah manusia multi-dimensi.<ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=W55dUqZ9jDkC&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false|title=Jalan Sunyi Emha|last=Rahardjo|first=Toto|publisher=Kompas|year=2006|isbn=979-709-255-0|location=Jakarta|pages=xviii|chapter=Teman Siapa Saja|quote=Seorang host suatu talk show di sebuah stasiun televisi swasta, Jaya Suprana, bertanya kepada orang ini, "Orang selalu mengatakan bahwa Anda adalah manusia multi-dimensional. Sekurang-kurangnya kegiatan Anda di masyarakat memang sangat beragam. Apa pendapat Anda sendiri?"|url-status=live}}</ref>
Menjelang kejatuhan pemerintahan [[Soeharto]], Cak Nun merupakan salah satu tokoh yang diundang ke [[Istana Merdeka]] untuk dimintakan nasihatnya, yang kemudian celetukannya diadopsi oleh Soeharto berbunyi "''Ora dadi presiden ora pathèken''”.<ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=W55dUqZ9jDkC&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false|title=Jalan Sunyi Emha|last=Oetama|first=Jakob|publisher=Kompas|year=2006|isbn=979-709-255-0|location=Jakarta|pages=xvii|chapter=Pengantar Jakob Oetama|quote=Kehadiran buku ini tentu ditunggu khalayak pembaca, tidak hanya oleh para pengagum, tetapi juga pengritik sosok yang menyeletukkan kalimat 'ora dadi presiden ora pathèken', saat bersama sejumlah tokoh diundang Soeharto sebelum lengser.|url-status=live}}</ref> Setelah '''Reformasi 1998''', Cak Nun bersama [[Kiai Kanjeng]] memfokuskan berkegiatan bersama masyarakat di pelosok Indonesia.
== Kehidupan pribadi ==
Cak Nun merupakan anak keempat dari 15 bersaudara.<ref name=":0">{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib: Bentangan Pengembaraan Pemikiran|last=Hadi|first=Sumasno|publisher=Mizan|year=2017|isbn=978-602-441-010-0|location=Bandung|pages=50|url-status=live}}</ref> Lahir dari pasangan Muhammad Abdul Latief dan Chalimah. Ayahnya
Paman Cak Nun, adik ayahnya, yaitu almarhum K.H. Hasyim Latief<ref>{{Cite web|url=https://www.indonesiana.id/read/92581/kh-hasyim-latief-sang-komandan-tempur-hizbullah|title=KH Hasyim Latief, Sang Komandan Tempur Hizbullah|last=Masjkur|first=Ahmad Udi|date=27 April 2019|website=Indonesiana.id|access-date=4 Desember 2019}}</ref>,
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib dan Keluarga.jpg|jmpl|kiri|Emha Ainun Nadjib (berdiri paling kanan mengenakan kopiah) di masa kecil bersama keluarganya.]] Pendidikan formal Cak Nun dimulai dari Sekolah Dasar di desanya. Karena semenjak kecil ia sangat peka atas segala bentuk ketidakadilan, ia sempat dianggap bermasalah oleh para guru karena memprotes dan menendang guru yang dianggapnya tak berlaku adil.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/cak-nun-dalam-lanskap-sastra-dan-sabana-sosial/|title=Sepotong Dunia Emha|last=Nugraha|first=Latief S|publisher=Octopus|year=2018|isbn=978-602-727-437-2|location=Yogyakarta|pages=94|url-status=live}}</ref> Kemudian oleh ayahnya, ia dikirim ke [[Pondok Modern Darussalam Gontor]]. Pada masa tahun ketiganya di [[Gontor, Mlarak, Ponorogo|Gontor]], Cak Nun sempat menggugat kebijakan pihak keamanan Pondok yang dianggapnya tidak berlaku adil. Ia pun memimpin “demonstrasi” bersama santri-santri lain sebagai bentuk protes. Namun protes itu berujung pada dikeluarkannya Cak Nun dari Pondok.<ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=vZNkAAAAMAAJ&q=inauthor:%22Jabrohim%22&dq=inauthor:%22Jabrohim%22&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwi1-eWfubTmAhUEGs0KHdQbBGUQ6AEIPDAD|title=Tahajjud Cinta Emha Ainun Nadjib: Sebuah Kajian Sosiologi Sastra|last=Jabrohim|first=|publisher=Pustaka Pelajar|year=2003|isbn=|location=Yogyakarta|pages=1|url-status=live}}</ref> Kemudian ia pindah ke [[Yogyakarta]] melanjutkan sekolah di SMP Muhammadiyah 4 dan selanjutnya tamat [[SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta|SMA Muhammadiyah 1]]<ref name=":2">{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=53|url-status=live}}</ref> bersama dengan teman karibnya, [[M. Busyro Muqoddas|Busyro Muqoddas]]. Usai SMA, Cak Nun diterima di Fakultas Ekonomi [[Universitas Gadjah Mada|UGM]]. Di “[[Kampus Biru|kampus biru]]” ini, ia bertahan hanya satu semester, atau tepatnya empat bulan saja.<ref name=":2" /> Sebenarnya ia juga diterima di Fakultas Filsafat UGM namun tidak mendaftar ulang.
Istrinya, [[Novia Kolopaking]], dikenal sebagai seniman film, panggung, serta penyanyi. Bersama Novia, ia dikaruniai empat anak, yaitu Ainayya Al-Fatihah (meninggal di dalam kandungan)<ref>{{Cite news|url=|title=Novia Kolopaking: Lebih Baik Dia di Surga|last=Yuswanto|first=Teguh|date=1 Juli 1998|work=Tabloid BINTANG|access-date=
== Aktivitas ==
Baris 40:
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib dan Umbu Landu Paranggi.jpg|jmpl|Emha Ainun Nadjib di kediaman Umbu Landu Paranggi di Bali tahun 2017.]] Pada akhir tahun 1969 ketika masih SMA, Cak Nun memulai proses kreatifnya dengan hidup “menggelandang” di [[Malioboro]], Yogyakarta selama lima tahun hingga 1975.<ref name=":3">{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/cak-nun-dalam-lanskap-sastra-dan-sabana-sosial/|title=Sepotong Dunia Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=80-81|url-status=live}}</ref> Kala itu, Malioboro menjadi tempat bertemu para aktivis mahasiswa, sastrawan, dan seniman Yogyakarta.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/cak-nun-dalam-lanskap-sastra-dan-sabana-sosial/|title=Sepotong Dunia Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=84|url-status=live}}</ref> Malioboro menjadi salah satu poros dalam jalur Bulaksumur-Malioboro-Gampingan yang menandakan dialektika intelektual-sastra-seni rupa.<ref name=":4">{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/cak-nun-dalam-lanskap-sastra-dan-sabana-sosial/|title=Sepotong Dunia Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=85|url-status=live}}</ref> Di Malioboro ini, Cak Nun bergabung dengan '''PSK (Persada Studi Klub)''', sebuah ruang studi sastra bagi penyair muda Yogyakarta yang diasuh oleh [[Umbu Landu Paranggi]]<ref name=":3" />, seorang [[sufi]] yang hidupnya misterius. Banyak yang mengatakan pertemuan dengan Umbu memberikan pengaruh dalam perjalanan hidup Cak Nun selanjutnya.<ref>{{Cite book|url=https://www.goodreads.com/book/show/23715913-kitab-ketenteraman|title=Kitab Ketentraman: Dari Khasanah Emha Ainun Nadjib|last=Salam|first=Aprinus|last2=Alfian|first2=M Alfan|last3=Susetya|first3=Wawan|publisher=Penjuru Ilmu|year=2014|isbn=978-602-0967-07-3|location=Bekasi|pages=133|url-status=live}}</ref>
PSK yang didirikan tahun 1969 dan aktif hingga 1977, telah melahirkan sejumlah sastrawan terkemuka Indonesia, di antaranya Teguh Ranusastra Asmara, [[Iman Budhi Santosa]], [[Ragil Suwarna Pragolapati]], [[Linus Suryadi AG]], [[Korrie Layun Rampan]], dan Cak Nun sendiri.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/cak-nun-dalam-lanskap-sastra-dan-sabana-sosial/|title=Sepotong Dunia Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=88|url-status=live}}</ref> Keberadaan PSK tidak dapat dipisahkan
Semasa di Malioboro ini, Cak Nun yang masih SMA sering bolos sekolah karena asyik dengan dunia sastra. Ia pernah membolos hampir 40 hari dalam satu semester. Ini membuat ia mulai tidak disukai guru-gurunya, ditambah rambutnya gondrong yang dianggap melanggar peraturan sekolah. Tapi ia mengatakan bahwa dirinya lebih suka mencari hal-hal yang belum diketahuinya namun tidak didapatkannya di sekolah.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/cak-nun-dalam-lanskap-sastra-dan-sabana-sosial/|title=Sepotong Dunia Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=90|url-status=live}}</ref>
Baris 50:
=== Musik Puisi ===
Tahun 1977/1978, Cak Nun bergabung dengan '''Teater Dinasti''' yang didirikan oleh Fajar Suharno, Gajah Abiyoso, dan Tertib Suratmo. Pada masa ini, keterlibatan Cak Nun bersama Teater Dinasti, dan keikutsertaan Teater Dinasti bersama Cak Nun tidak bisa dipisahkan.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2017/fenomena-emha/|title=Terus Mencoba Budaya Tanding|last=H.D.|first=Halim|publisher=Pustaka Pelajar|year=1995|isbn=|location=Yogyakarta|pages=xvi|chapter=Fenomena Emha|url-status=live}}</ref> Bersama Teater Dinasti
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib, Musik Puisi, Karawitan Dinasti.jpg|jmpl|kiri|Pementasan Musik Puisi Emha Ainun Nadjib bersama Teater/Karawitan Dinasti di akhir tahun 1970-an.]] Pada tanggal 8 Desember 1980, Cak Nun dan Teater Dinasti mementaskan puisi di Teater Arena [[Taman Ismail Marzuki|Taman Ismail Marzuki (TIM)]] yang berjudul ''Tuhan''. Pembacaan puisi yang diiringi musik gamelan Jawa pada masa itu merupakan bentuk musikalisasi puisi yang tidak lazim. Karena itu, Cak Nun menyebut pementasan seperti itu sebagai “musik puisi”, bukan musikalisasi puisi.<ref name=":6">{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=58|url-status=live}}</ref> Model pertunjukan demikian diakui Cak Nun sebagai terobosan dan merupakan strategi agar mendekatkan puisi kepada masyarakat di kampung-kampung. Hal ini lazim karena masyarakat pedesaan masih lekat dengan seni tradisi yang memposisikan gamelan Jawa sebagai instrumen utama.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2019/maiyah-sebagai-pendidikan-alternatif-sosial-kemasyarakatan-3/|title=Maiyah Sebagai Pendidikan Alternatif Sosial Kemasyarakatan (3)|last=Pratama|first=Rony K|date=22 Maret 2019|website=CakNun.com|access-date=4 Desember 2019}}</ref> Gamelan yang digunakan berbeda dengan gamelan pada umumnya, yaitu menggunakan besi, bukan kuningan. Pembacaan puisi dengan menggunakan gamelan besi oleh Cak Nun ini adalah bentuk pembelaan dan perhatiannya pada golongan masyarakat kelas bawah. Konsep bunyi gamelan besi mewakili kelas bawah, dibanding gamelan kuningan dan perunggu yang mewakili golongan elite, bangsawan, ningrat, dan semacamnya.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=59|url-status=live}}</ref>
Baris 64:
PSK di masa aktifnya sering mengadakan kegiatan dialog sastra bersama [[Umar Kayam]] dan sastrawan lainnya yang dipandang mapan di wilayah sastra nasional. Cak Nun dan Linus Suryadi AG dikenal memiliki kedekatan dengan beliau. Tahun 1981<ref>{{Cite web|url=https://iwp.uiowa.edu/residency/participants-by-year/1981|title=1981 Participants|last=|first=|date=|website=International Writing Program|access-date=19 Desember 2019}}</ref>, Umar Kayam merekomendasikan Cak Nun untuk mengikuti ''[[Iowa International Writing Program|International Writing Program]]'' di [[Universitas Iowa]], [[Amerika Serikat]].<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/cak-nun-dalam-lanskap-sastra-dan-sabana-sosial/|title=Sepotong Dunia Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=194|url-status=live}}</ref>
Sebagai sastrawan, Cak Nun juga diundang dalam beberapa acara internasional. Tahun 1984, Cak Nun diundang untuk mengikuti ''The International Poetry Reading Festival'' di [[Rotterdam]] [[Belanda]]. Seorang profesor di [[Universitas Leiden]]
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib di ISS Den Haag.jpg|jmpl|Emha Ainun Nadjib berorasi dalam Dies Natalies 2008 Institute of Social Studies (ISS) di Den Haag.]] Berawal hanya diundang untuk mengisi festival, keberadaan Cak Nun di Belanda kemudian berlanjut. Profesor Ben White dari '''ISS (Institute of Social Studies)''' [[Den Haag]] menyukai pemikiran Cak Nun sehingga didukung untuk berkegiatan di ISS Den Haag selama setahun.
Tahun 1985, Cak Nun mengikuti ''Festival Horizonte III'' di [[Berlin]], [[Jerman]]. Pada festival ini, ia membacakan puisi-puisinya yang dipadukan dengan ayat-ayat Al-Qur`an.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2016/soto-handuk-celupan-sepatu-ala-chef-pipit-rochiyat/|title=Soto Handuk Celupan Sepatu Ala Chef Pipit Rochiyat|last=Agustian|first=Fahmi|date=17 Oktober 2016|website=CakNun.com|access-date=13 Desember 2019}}</ref> Seperti ketika di Rotterdam, Cak Nun juga kemudian menetap lama di Jerman. Tahun 1983, Cak Nun bersama Gus Dur dan rombongan berkunjung ke Jerman, mereka menginap di kediaman Adnan Buyung Nasution yang sedang studi. Di sini Cak Nun bertemu dengan Pipit Rochiyat Kartawidjaja yang kemudian saling menemukan kecocokan pemikiran. Ketika berkelana di Jerman tahun 1985 itu, Cak Nun tinggal di rumah Pipit. Sebagian tulisan dalam buku ''Dari Pojok Sejarah'' juga ditulis di sana.<ref>{{Cite news|url=https://www.caknun.com/2016/diskusi-bersama-pak-pipit-rochiyat-kartawidjaja/|title=Diskusi bersama Pak Pipit Rochiyat Kartawidjaja|last=|first=Kenduri Cinta|date=27 September 2016|work=CakNun.com|access-date=13 Desember 2019}}</ref>
=== Mandar ===
Di Yogyakarta, seorang asli [[Mandar]] [[Sulawesi Barat]], alumni APMD Yogyakarta yang kemudian menjadi Pegawai Negeri Sipil yang suka sastra, bersahabat dengan Cak Nun. Namanya Alisjahbana.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2017/pak-nevi-asisten-pengobatan-cak-nun/|title=Pak Nevi Asisten Pengobatan Cak Nun|last=Mustofa|first=Helmi|date=1 April 2017|website=CakNun.com|access-date=12 Desember 2019}}</ref> Di kampungnya sekitar tahun 1983, di [[Tinambung, Tinambung, Polewali Mandar|Tinambung]], Alisjahbana menghimpun puluhan anak muda yang setiap malam mangkal dan bernyanyi-nyanyi di pinggir jalan, liar dan suka mabuk-
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib dan Nevi Budianto di Tinambung.jpg|jmpl|kiri|Emha Ainun Nadjib dan Nevi Budianto bersama Teater Flamboyant di Tinambung, April 1989.]] Alisjahbana membina mereka agar bisa terarah dan mempunyai prospek dalam hidupnya ke depan. Secara pelan dan bertahap, anak-anak muda liar dan suka mabuk-
Tahun 1987, atas inisiatif anak-anak itu, Cak Nun diundang ke Mandar. Ia disambut dengan gembira. Selama di Mandar, ia melakukan berbagai aktivitas. Memimpin langsung workshop teater, memandu anak-anak muda dalam diskusi dengan aneka topik, mandi ke sungai Mandar, sambil menantang anak-anak Mandar berlomba menyelam.<ref name=":10" /> Tidak hanya bagi anak-anak muda ini, kedatangan Cak Nun juga punya arti besar bagi masyarakat Tinambung. Ketika itu Tinambung sedang mengalami kemarau panjang. Cak Nun lalu mengajak masyarakat bersama-sama sembahyang minta hujan. Begitu rampung shalat, hujan turun dengan lebatnya. Dan Cak Nun dianggap membuat keajaiban hingga banyak orang-orang tua mendatanginya di penginapan untuk meminta berkah doa dan pengobatan.<ref name=":11">{{Cite news|url=|title=Di Tinambung Mandar, Sulawesi Selatan, Emha Dimintai Berkah dan Pengobatan|last=Budianto|first=Nevi|date=11-17 Juni 1989|work=Minggu Pagi|access-date=
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib dan Baharuddin Lopa.jpg|jmpl|kiri|Emha Ainun Nadjib bersama Baharuddin Lopa dalam sebuah acara di Polewali Mandar.]] Tanggal 23-26 April 1989, Cak Nun datang kembali ke Tinambung bersama Nevi Budianto untuk kembali mengadakan workshop teater. Kegiatan ini juga diikuti pemuda-pemuda sekitar Tinambung: [[Polewali Mandar|Polewali]], Wonorejo, dan [[Campalagian, Polewali Mandar|Campalagian]].<ref name=":11" /> Cak Nun pun sering ke Mandar pada tahun-tahun berikutnya hingga terjalin hubungan persaudaran yang sangat kuat antara mereka.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2018/contoh-hubungan-erat-antar-dua-etnis/|title=Contoh Hubungan Erat Antar Dua Etnis|last=Mustofa|first=Helmi|date=24 Maret 2018|website=CakNun.com|access-date=12 Desember 2019}}</ref> Cak Nun
Tahun 2011, bertempat di Gedung [[Cak Durasim]] [[Kota Surabaya|Surabaya]], Cak Nun bersama Masyarakat Maiyah memberikan '''Ijazah Maiyah''' dan '''Syahadah Maiyah''' kepada mereka yang meneguhkan 5 prinsip nilai-nilai kehidupan: '''Kebenaran, Kesungguhan,
Kedekatannya dengan masyarakat Mandar, membuat Cak Nun diminta memediasi pertemuan pejuang pembentukan Sulawesi Barat dengan Gus Dur yang ketika itu menjadi Presiden. Dengan terlibatnya Cak Nun, masyarakat Mandar yakin perjuangan pembentukan Sulawesi Barat yang sudah lama diupayakan akan membuahkan hasil. Akhirnya September 2004, Provinsi Sulawesi Barat bisa terwujud.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2016/rihlah-cammanallah-perjalanan-ke-bunda-cammana/|title=Rihlah Cammanallah: Perjalanan ke Bunda Cammana|last=Rahardjo|first=Toto|date=29 April 2016|website=CakNun.com|access-date=12 Desember 2019}}</ref>
=== Lautan Jilbab ===
Selain bersama Teater Dinasti, di era tahun 1980-an dan awal 1990-an, Cak Nun juga menghasilkan karya-karya naskah pementasan drama seperti ''Santri-santri Khidlir'', ''Sunan Sableng dan Baginda Faruq'', ''Keluarga Sakinah'', ''Lautan Jilbab'', ''Pak Kanjeng'', dan ''Perahu Retak''.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=63|url-status=live}}</ref> Pementasan '''''Lautan Jilbab''''' diangkat dari judul puisi berjudul sama. Puisi ini tercipta pada 16 Mei 1987 secara spontan, sore hari sebelum Cak Nun mengisi acara “Ramadlan in Campus” yang diselenggarakan Jamaah Shalahuddin UGM.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=64|url-status=live}}</ref> Setelah penampilan penyair [[Taufiq Ismail]] di ''boulevard'' UGM, pentas puisi ''Lautan Jilbab'' mendapat sambutan hangat 6000-an orang yang hadir.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=65|url-status=live}}</ref> Puisi ini kemudian mengalami revisi, dari satu judul berkembang menjadi 33 sub judul
Pada masa [[Orde Baru]] ketika itu, pemakaian jilbab di kalangan muslimah Indonesia, terutama di sekolah dan
[[Berkas:Lautan Jilbab Naskah Emha Ainun Nadjib.jpg|jmpl|Pementasan drama Lautan Jilbab, naskah Emha Ainun Nadjib, disutradarai Agung Waskito dengan supervisi Dr. Kuntowijoyo.]] Drama ''Lautan Jilbab'' pertama kali dipentaskan kelompok Sanggar Shalahuddin UGM, disutradarai oleh Agung Waskito dengan ''supervisor'' [[Kuntowijoyo|Dr. Kuntowijoyo]]. Pementasan ini dianggap memecahkan rekor jumlah penonton. Tidak kurang dari 3000 penonton
Puisi dan pementasan teater ''Lautan Jilbab'' tak ubahnya sebuah ajakan perlawanan. Sejak itu pemakaian jilbab punya arti perlawanan terhadap otoritarianisme Orde Baru.<ref name=":13">{{Cite web|url=https://www.caknun.com/foto/mozaik/lautan-jilbab/|title=Lautan Jilbab|last=|first=|date=|website=CakNun.com|access-date=5 Desember 2019}}</ref> Cak Nun mengungkapkan alasan perlawanannya:<ref name=":13" /> <blockquote>“''Pakai jilbab atau tak berjilbab adalah otoritas pribadi setiap wanita. Pilihan atas otoritas itu silahkan diambil dari manapun: dari studi kebudayaan, atau langsung dari kepatuhan teologis. Yang saya perjuangkan bukan memakai jilbab atau membuang jilbab, melainkan hak setiap manusia untuk memilih.''” </blockquote>Menurut [[Niels Mulder|Niels Murder]], seorang sosiolog Belanda yang perhatian kepada perkembangan sosiokultural Indonesia, sejak pentas ''Lautan Jilbab'' oleh Cak Nun bersama Sanggar Shalahuddin digelar, busana muslimah berjilbab menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia.<ref>{{Cite book|title=Ruang Batin Masyarakat Indonesia|last=Mulder|first=Niels|publisher=LKiS|year=2001|isbn=978-979-896-634-7|location=Yogyakarta|pages=27|url-status=live}}</ref><ref>{{Cite book|url=https://www.goodreads.com/book/show/13097709-di-jawa?rating=2&utm_medium=api&utm_source=blog_book|title=Di Jawa: Petualangan Seorang Antropolog|last=Mulder|first=Niels|publisher=Kanisius|year=2007|isbn=978-979-211-467-6|location=Yogyakarta|pages=268|url-status=live}}</ref>
=== ICMI ===
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib dan B. J. Habibie.jpg|jmpl|kiri|Pertemuan Emha Ainun Nadjib dan B. J. Habibie tahun 1991.]] Cak Nun tidak menamatkan kuliah, tetapi ia dipandang sebagai salah satu intelektual terkemuka di Indonesia. Dekan [[Fakultas Psikologi Universitas Indonesia|Fakultas Psikologi UI]] tahun 1991, Dr. Yaumil Agus Akhir, mengatakan bahwa Cak Nun layak diberi gelar Doktor ''Honouris Causa'', atau bahkan profesor karena pikiran dan wawasannya yang luas dan didukung analisis yang tajam.<ref>{{Cite news|url=|title=Emha Layak Dapat Gelar Doktor HC|last=|first=|date=12 Mei 1991|work=Kedaulatan Rakyat|access-date=
Cak Nun kemudian menerima dijadikan Ketua Bidang Dialog Kebudayaan, lantaran B.J. Habibie menjanjikan ICMI mampu menyelesaikan persoalan [[Waduk Kedungombo]].<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=70|url-status=live}}</ref> Namun, ICMI tidak berhasil membantu masyarakat Kabupaten [[Kabupaten Sragen|Sragen]], [[Kabupaten Boyolali|Boyolali]], dan [[Kabupaten Grobogan|Grobogan]], yang tertindas karena tidak mendapatkan ganti rugi tanah yang digunakan Orde Baru untuk pembangunan waduk.<ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=W55dUqZ9jDkC&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false|title=Jalan Sunyi Emha|last=Betts|first=Ian Leonard|publisher=Kompas|year=2006|isbn=979-709-255-0|location=Jakarta|pages=28|url-status=live}}</ref> Karena itu, Cak Nun memutuskan keluar dari ICMI.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2018/wah-mbah-nun-mundur-dari-icmi/|title=Wah, Mbah Nun Mundur Dari ICMI|last=Mustofa|first=Helmi|date=12 Maret 2018|website=CakNun.com|access-date=5 Desember 2019}}</ref> Bulan Februari 1991, secara resmi Cak Nun mengirimkan surat pengundurannya langsung kepada B.J. Habibie.<ref>{{Cite news|url=|title=Setelah Pengurus Diumumkan|last=|first=|date=23 Februari 1991|work=Majalah TEMPO|access-date=
=== Pak Kanjeng ===
''Pak Kanjeng'' merupakan naskah Cak Nun, yang dipentaskan untuk mengkritik dan merespons kesemena-menaan penguasa rezim Orde Baru ketika membangun Waduk Kedungombo.<ref name=":14">{{Cite web|url=https://www.caknun.com/foto/mozaik/pak-kanjeng/|title=Pak Kanjeng|last=|first=|date=|website=CakNun.com|access-date=5 Desember 2019}}</ref> Setelah sebelumnya sangat sulit sekali mendapat izin pentas, tanggal 16 dan 17 November 1993 di Purna Budaya Yogyakarta (sekarang menjadi Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri UGM]), lakon ''Pak Kanjeng'' dipentaskan. Lakon ini memotret perlawanan seorang warga, yaitu Pak Jenggot, dalam menolak pembangunan Waduk Kedungombo di Boyolali, Jawa Tengah. Pementasan ini ditampilkan dengan bahasa yang sangat deras, keras, tajam, pintar, dan sarkastis.<ref>{{Cite news|url=|title=Lakon Politik Pak Kanjeng|last=|first=|date=27 November 1993|work=Majalah TEMPO|access-date=
[[Berkas:Pak Kanjeng Naskah Emha Ainun Nadjib.jpg|jmpl|Pementasan lakon Pak Kanjeng, naskah Emha Ainun Nadjib tahun 1993.]] ''Pak Kanjeng'' diperankan oleh tiga aktor yaitu Joko Kamto, Nevi Budianto, dan [[Butet Kertaradjasa]]. Ketiganya, masing-masing menggambarkan sebuah pribadi yang terpecah menjadi tiga: yang keras melawan, yang lunak toleran, dan yang ragu-ragu. Itu merupakan tiga faset kejiwaan ''Pak Kanjeng'' dalam menghadapi kekuasaan Orde Baru.<ref name=":14" /> Pementasan ini digarap oleh '''Komunitas Pak Kanjeng''' (yang memang diambil dari judul naskah ini) dengan forum penyutradaraan oleh sembilan sutradara.<ref name=":14" /> Selain ketiga pemainnya, dalam forum sutradara ini turut terlibat pula [[Agus Noor]], Indra Tranggono, [[Djaduk Ferianto|Djadug Ferianto]], dan Cak Nun sendiri.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/cak-nun-dalam-lanskap-sastra-dan-sabana-sosial/|title=Sepotong Dunia Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=118|url-status=live}}</ref> Gagasan berani dan keras dalam pementasan lakon yang mengkritik Orde Baru ini menyebabkan pertunjukannya dilarang di berbagai kota.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=76|url-status=live}}</ref>
Bagi Cak Nun sendiri, ''Pak Kanjeng'' bukan terutama sebuah pertunjukan. Melainkan sebuah laboratorium budaya, '''Laboratorium Pak Kanjeng''' yang kemudian dalam pementasan-pementasan selanjutnya menjadi Komunitas Pak Kanjeng (KPK). Komunitas ini pada akhirnya mengalami perubahan format, bermetamorfosa menjadi '''Gamelan Kiai Kanjeng''' yang diinisiasi oleh [[Toto Rahardjo]]. Personel awal adalah Nevi Budianto, Joko Kamto, Bayu Kuncoro, Narto Piul. Selanjutnya beberapa personel baru pun direkrut ketika itu seperti Bobiet, Joko SP, Azied Dewa, Yoyok Prasetyo, Imoeng, Ismarwanto, Ardhani, dan Giyanto. Kemudian Kiai Kanjeng pada tahun-tahun selanjutnya selalu bersama Cak Nun dalam melayani masyarakat.<ref name=":15">{{Cite web|url=http://kenduricinta.com/v5/penabuh-gong/|title=Penabuh Gong|last=Majid|first=Munzir|date=10 Oktober 2016|website=KenduriCinta.com|access-date=5 Desember 2019}}</ref>
=== Televisi dan Radio ===
Setelah sebelumnya Cak Nun banyak menyampaikan gagasan dan kritiknya lewat media cetak, seminar, ceramah, pementasan musik puisi dan pertunjukan drama, pada pertengahan 1990-an ia memanfaatkan media audio-visual. Bersama Kiai Kanjeng, pada 29 April 1996 Cak Nun mementaskan musik puisi ''Talbiyah Cinta'' di [[RCTI]] untuk menyambut [[Iduladha|Idul Adha]].<ref name=":15" /> Beberapa seniman terlibat seperti [[Ita Purnamasari]], [[Novia Kolopaking]], [[Gito Rollies]], [[Dewi Gita]], [[Amak Baldjun]], [[Amoroso Katamsi]], dan Wiwiek Sipala.
Masih di tahun 1996, stasiun televisi [[Indosiar]] setiap hari menyiarkan program acara ''Cermin'', yang digagas Cak Nun dan Uki Bayu Sejati.<ref name=":16">{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=78|url-status=live}}</ref> Dengan pembawaannya, Cak Nun mengajak para penonton untuk tenang dan rileks ketika menikmati tontonan berdurasi sangat singkat, sekitar satu atau dua menit.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2017/masih-di-depan-cermin/|title=Masih di Depan 'Cermin'|last=Kurniawan|first=Didik W|date=10 April 2017|website=CakNun.com|access-date=6 Desember 2019}}</ref> Cak Nun muncul di antara tayangan iklan atau acara-acara lainnya, sebanyak 70 episode. Pesan yang disampaikannya cukup variatif. Tak lepas dari sentuhan moral agama dan masalah sosial.<ref>{{Cite news|url=|title=Emha Ainun Nadjib Tampil di Indosiar|last=|first=Akhmadi|date=20 Januari 1996|work=Majalah GATRA|access-date=
Cak Nun dilibatkan dalam sebuah perhelatan besar di masa Orde Baru yang mendapat porsi tayangan media sangat penting. Yaitu siaran malam takbiran tahun 1997. Bertempat di kawasan [[Monumen Nasional|Monumen Nasional (Monas)]], acara yang bertajuk ''Gema Zikir dan Takbir'' digelar.<ref name=":17">{{Cite news|url=|title=Silatnas Politik Cak Nun|last=|first=|date=1 Maret 1997|work=Majalah SINAR|access-date=
Takbiran yang memang bernuansa politis, namun juga kental dengan unsur budaya. Hadirnya 'raja dangdut' Rhoma Irama dan Cak Nun menjadi magnet tersendiri. Takbir dan zikir penuh warna kesenian nuansa Islami yang tidak monoton.<ref name=":18" /> Sebuah penggalan zikir pencerahan di masa menjelang krisis moneter itu disampaikan Cak Nun:<ref name=":17" /> <blockquote>“''Wahai Engkau pembuka segala pintu. Mohon. Jangan lagi bukakan pintu kelaliman di hati kami. Jangan bukakan lagi pintu kekerasan dan kebrutalan. Jangan bukakan pintu benci dan dengki di dalam jiwa kami. Mohon. Mohon. Jangan bukakan api dari lubuk nafsu kami. Ya Allah. Jangan bukakan pintu kerusuhan-kerusuhan lagi.''”</blockquote>Selain televisi, Cak Nun berkomunikasi kepada masyarakat lewat frekuesi radio. Rekaman suara pemikirannya pernah disiarkan Radio Delta FM dalam tajuk ''Catatan Kehidupan''.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=80|url-status=live}}</ref> Bulan Ramadlan tahun 2018 dan 2019, Cak Nun juga menyampaikan pesan-pesannya dalam program Radio [[Suara Surabaya]] bertajuk ''Tasbih''.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2018/ramadlan-di-suara-surabaya/|title=Ramadlan di Suara Surabaya|last=|first=|date=|website=CakNun.com|access-date=6 Desember 2019}}</ref>
Baris 159:
Yusril dan Saadilah pasca pertemuan itu tetap menjalankan perintah Soeharto untuk memformulasikan 45 nama-nama anggota Komite Reformasi. Namun orang-orang yang dihubungi, mayoritas menolak. Fahmi Idris yang awalnya mau, lantas mulai ragu-ragu. Ismail Sunny juga mengiyakan, tapi kemudian tidak mengontak lagi.<ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=0YXf3zA8gsUC&printsec=frontcover&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false|title=Mereka Mengkhianati Saya: Sikap Anak-anak Emas Soeharto di Penghujung Orde Baru|last=Soempeno|first=Femi Adi|publisher=Galang Press|year=2008|isbn=978-979-249-954-4|location=Yogyakarta|pages=172|url-status=live}}</ref>
Berbeda dengan Cak Nur, Cak Nun, dan Gus Dur yang mendukung adanya Komite Reformasi,<ref name=":27">{{Cite news|url=|title=Pak Harto: Saya Kapok Jadi Presiden|last=|first=|date=20 Mei 1998|work=Kompas|access-date=
=== ''Ora Pathèken'' ===
Baris 171:
=== Empat Sumpah Soeharto ===
Presiden Soeharto sudah turun, dan B.J. Habibie menjadi presiden. Di masa kepresidenan Habibie, krisis multidimensi terjadi. Pemimpin-pemimpin politik tidak bisa bersatu. Menurut Cak Nun ketika itu, siapapun bisa bicara apa saja dan bahkan para pemimpin pun sulit dipercaya. Himbauan ulama untuk tidak berbuat rusuh tidak dihiraukan. Kerusuhan terjadi di mana-mana. Karena itu Cak Nun yang resah dengan keadaan ini memandang keluarga besar bangsa Indonesia perlu melakukan '''''Ikrar Husnul Khatimah'''.'' Ikrar yang digagas Cak Nun ini rencananya diselenggarakan pada 14 Februari 1999, bertempat di [[Masjid Baiturrahman Jakarta|Masjid Baiturrahman]] Komplek DPR/MPR. Mulanya, ide ini dilontarkan Cak Nun pada saat shalat tarawih Ramadlan, awal tahun 1999, bersama [[Ginandjar Kartasasmita|Ginanjar Kartasasmita]], [[Abdul Latief (pengusaha)|Abdul Latief]], [[A.M. Hendropriyono]], dan [[Akbar Tanjung]]. Menurutnya, ini satu-satunya cara untuk mencoba membuka pintu krisis legitimasi yang dialami Indonesia.<ref name=":28">{{Cite news|url=|title=Husnul Khatimah Ide Cak Nun Bukan Pak Harto|last=|first=|date=15-28 Februari 1999|work=Majalah GARDA|access-date=
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib dan Soeharto di Jalan Cendana.jpg|jmpl|Emha Ainun Nadjib mengundang Soeharto di rumahnya di Jalan Cendana untuk menghadiri Ikrar Husnul Khatimah, Februari 1999.]] Dalam rencana acara Pertobatan Nasional bertajuk ''Ikrar Husnul Khatimah'' itu, para tokoh nasional diundang. Selain tiga tokoh di atas, tokoh-tokoh yang diundang antara lain: Presiden B.J. Habibie, Wiranto, Gus Dur, Megawati, Amien Rais, para menteri dan tokoh-tokoh lainnya, termasuk Soeharto.<ref name=":28" /> Cak Nun mengundang Soeharto secara langsung ketika bertemu dengannya di Cendana sebanyak dua kali. Tanggal 26 Januari 1999, Soeharto mengundang Cak Nun. Sebelumnya, beberapa kali, orang-orang lain, termasuk anak-anaknya, [[Tommy Soeharto|Hutomo Mandala Putra]] dan [[Bambang Trihatmodjo]], mencoba menghubungkan Cak Nun dengan Soeharto, tetapi tidak berhasil. Menurut Soeharto, Cak Nun termasuk orang yang dia percayai karena di tengah-tengah hujatan kepadanya, Cak Nun dianggap cukup objektif.<ref>{{Cite news|url=|title=Membawa Ember ke Cendana|last=|first=|date=13 Februari 1999|work=Majalah GATRA|access-date=
Dalam pertemuan pertama selama tiga jam di kediamannya, Soeharto menyanggupi untuk hadir pada acara tanggal 14 Februari. Tidak hanya akan hadir, ia setuju untuk membayar semua dosanya dan mengakhiri sisa kehidupan dengan kebaikan-kebaikan dengan menandatangani rumusan '''''Empat Sumpah Soeharto''''', di hadapan Cak Nun.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib: Bentangan Pengembaraan Pemikiran|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=96|url-status=live}}</ref> Sumpah yang rencananya dinyatakan di hadapan seluruh masyarakat, tokoh, dan semua wartawan media cetak dan televisi yang akan hadir itu berisi:<ref>{{Cite news|url=|title=4 Sumpah Pak Harto|last=Nadjib|first=Emha Ainun|date=22 Mei 2002|work=Jawa Pos|access-date=
'''(1)''' Bahwa saya, Soeharto, bersumpah tidak akan pernah menjadi Presiden Republik Indonesia lagi. '''(2)''' Bahwa saya, Soeharto, bersumpah tidak akan pernah turut campur dalam setiap proses pemilihan Presiden Republik Indonesia. '''(3)''' Bahwa saya, Soeharto, bersumpah siap dan ikhlas diadili oleh Pengadilan Negara untuk mempertanggungjawabkan kesalahan saya selama 32 tahun menjadi Presiden Republik Indonesia. '''(4)''' Bahwa saya, Soeharto, bersumpah siap dan ikhlas mengembalikan harta rakyat yang dibuktikan oleh Pengadilan Negara.
Ide Cak Nun agar Soharto melakukan pertobatan ini lantas menjadi pemberitaan. Termasuk, menurut Cak Nun, ada pemberitaan miring dengan tuduhan yang penuh curiga dan tafsir aneh-aneh tanpa mengerti inti acara sebenarnya. Berita yang dimaksud dimuat antara lain di ''Pos Kota'' dan ''Terbit'' pada 3 Februari 1999. Berita-berita itu menggiring opini bahwa acara ini digagas Soeharto sebagai langkahnya menghindari upaya hukum yang sedang diproses untuk menghukumnya.<ref name=":28" /> Cak Nun juga mendapat tanggapan bernada negatif dari para tokoh politik yang menganggap Cak Nun telah menjadi “mesin politik” Soeharto.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=97|url-status=live}}</ref> Gus Dur juga tampaknya kurang antusias dengan ide acara tersebut.<ref name=":29" />
Baris 196:
=== Padhangmbulan ===
Embrio atau cikal bakal Maiyah berawal dari sebuah pengajian tahun 1994 yang digagas Adil Amrullah (adik Cak Nun). Pengajian ini diselenggarakan di rumah orang tua Cak Nun di Jombang sebagai jalan silaturahmi Cak Nun dengan keluarga.<ref>{{Cite book|url=https://www.goodreads.com/en/book/show/13607108-spiritual-journey-pemikiran-perenungan-emha-ainun-nadjib|title=Spiritual Journey: Pemikiran dan Permenungan Emha Ainun Nadjib|last=Saputra|first=Prayogi R|publisher=Kompas|year=2016|isbn=978-602-412-092-4|location=Jakarta|pages=30|url-status=live}}</ref> Karena padatnya jadwal undangan Cak Nun, maka keinginan teman-teman di Jawa Timur untuk bertemu dengannya diputuskan bisa satu bulan sekali. Cak Dil—panggilan akrab Adil Amrullah—butuh waktu dua tahun sejak 1992 merayu Cak Nun. Setelah disepakati, akhirnya mulai bulan Oktober 1994 diselenggarakan pengajian rutin.<ref>{{Cite news|url=|title=Pengajian Padang Mbulan, Dari Mengaji Hingga Membuat Bank Syariah|last=|first=|date=9 Februari 1996|work=Republika|access-date=
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib di Padhangmbulan 1990-an.jpg|jmpl|kiri|Suasana Padhangmbulan di tahun 90-an.]] Pengajian itu dinamakan '''Padhangmbulan''' yang secara kebetulan diadakan setiap pertengahan bulan [[Kalender Hijriyah|Hijriah]], dan hari kelahiran Cak Nun adalah 15 [[Ramadan|Ramadlan]] ketika bulan purnama.<ref name=":34">{{Cite news|url=|title=Emha 'Kyai Mbeling' Ainun Nadjib: Bukan Organisasi, tapi Laboratorium Alam Pikir, Iman dan Sikap|last=|first=|date=9 Februari 1996|work=Republika|access-date=
Desa Menturo setiap Padhangmbulan diadakan menjadi sangat ramai. Sebenarnya pada masa lalu desa ini juga cukup ramai pada saat Muhammad Abdul Latief—akrab dipanggil Cak Mad, ayah Cak Nun masih hidup. Almarhum mewarnai kegiatan kehidupan masyarakat Menturo.<ref name=":38" /> Cak Mad mendirikan Madrasah Islamiyah “Mansyaul ‘Ulum” di Menturo Timur tahun 1958.<ref name=":37" /> Namun sepeninggal Cak Mad pada tahun 1975, keramaian saat itu perlahan meredup. Pun Cak Nun bersaudara banyak beraktivitas di luar Jombang. Hanya kakak keduanya, Miftahus Surur (Cak Mif) yang mendapat amanah melanjutkan perjuangan Cak Mad mengurus madrasah.<ref name=":37" /> Padhangmbulan merupakan bentuk pengabdian anak-anak Cak Mad untuk melanjutkan perjuangan dan menjadi amal jariyah dalam permberdayaan masyarakat.
Baris 244:
*''Juguran Syafaat,'' Banyumas Raya.
*''Maneges Qudroh,'' Magelang.
*''Waro` Kaprawiran,'' Madiun, Ngawi, Magetan, Ponorogo.
*''Damar Kedhaton,'' Gresik.
*''Majelis Gugur Gunung'', Ungaran.
Baris 301:
=== Puisi ===
#''“M” Frustasi dan Sajak-sajak Cinta'' (1975). Diterbitkan sederhana oleh Pabrik Tulisan.<ref name=":
#''Sajak-Sajak Sepanjang Jalan'' (1978). Diterbitkan oleh Tifa Sastra UI.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/buku/puisi/sajak-sajak-sepanjang-jalan/|title=Sajak-Sajak Serpanjang Jalan|last=|first=|date=|website=CakNun.com|access-date=12 Desember 2019}}</ref>
#''Tak Mati-Mati'' (1978). Dibacakan di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.<ref name=":
#''Nyanyian Gelandangan'' (1982). Dibacakan bersama Teater Dinasti di Taman Budaya Surakarta.<ref name=":
#''99 Untuk Tuhanku'' (1983). Dibacakan di [[Bentara Budaya Yogyakarta]].<ref name=":30" /> Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Pustaka-Perpustakaan Salman ITB. Diterbitkan kembali oleh Bentang tahun 1993 dan 2015.
#''Iman Perubahan'' (1986).
Baris 406:
=== Musik Puisi ===
#''Tuhan Aku Berguru Kepada-Mu'' (1980). Dimusikpuisikan berrsama Teater Dinasti di Taman Ismail Marzuki (TIM).<ref name=":
#''Isro` Mi’roj Yang Asyik'' (1986). Dimusikpuisikan di UGM, Yogyakarta.<ref name=":
# ''Satria Natpala'' (1995).
# ''Talbiyah Cinta'' (1996). Dipentaskan di [[RCTI]].<ref name=":15" />
# ''Jangan Cintai Ibu Pertiwi'' (2001).
# ''Kesaksian Orang Biasa'' (2003).
Baris 434:
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib menerima Anugerah Adam Malik.jpg|jmpl|kiri|Emha Ainun Nadjib ketika menerima Anugerah Adam Malik tahun 1991.]] [[Berkas:Emha Ainun Nadjib menerima HIPIIS Award 2017.jpg|jmpl|Emha Ainun Nadjib menerima HIPIIS Social Science Awards 2017.]] September 1991, Cak Nun menerima penghargaan '''Anugerah Adam Malik''' di Bidang Kesusastraan yang diberikan Yayasan Adam Malik. Penyerahan anugerah ini diselenggarakan di Gedung Sekretariat ASEAN, Jakarta. Keputusan anugerah ini berdasarkan hasil seleksi lima orang juri, yaitu [[Rosihan Anwar]], Adiyatman, Lasmi Jahardi, [[Wiratmo Soekito]], dan [[Ami Prijono|Amy Prijono]].<ref>{{Cite news|url=|title=Anugerah Adam Malik Untuk Emha|last=|first=|date=5 September 1991|work=Jawa Pos|access-date=15 Desember 2019}}</ref><ref>{{Cite news|url=|title=Barangkali Saya Memang Konservatif|last=|first=|date=10 September 1991|work=Jawa Pos|access-date=15 Desember 2019}}</ref>
Bulan Maret 2011,
Pada pergelaran [[Festival Film Indonesia 2012|Festival Film Indonesia (FFI) 2012]], Cak Nun dinominasikan dalam kategori penulis [[Cerita Asli Terbaik Festival Film Indonesia|Cerita Asli Terbaik]] untuk cerita film [[Rayya, Cahaya di Atas Cahaya]]. Film ini juga mendapatkan dua nominasi lain yaitu [[Tio Pakusadewo]] sebagai [[Pemeran Utama Pria Terbaik Festival Film Indonesia|Pemeran Utama Pria Terbaik]], dan [[Christine Hakim]] sebagai [[Pemeran Pendukung Wanita Terbaik Festival Film Indonesia|Pemeran Pendukung Wanita Terbaik]].<ref>{{Cite news|url=https://regional.kompas.com/read/2012/11/27/13280058/diunggulkan.dapat.penghargaan.reaksi.tio.datar|title=Diunggulkan Dapat Penghargaan, Reaksi Tio Datar|last=|first=|date=27 November 2012|work=Kompas.com|access-date=13 Desember 2019}}</ref>
|