Profesi utama Suku Osing adalah mayoritas petani, dengan sebagian kecil lainya adalah pedagang, nelayan, buruh dan pegawai di bidang formal seperti karyawan, guru dan pegawai pemda.
== Stratifikasi Sosialsosial ==
Suku Osing berbeda dengan [[Suku Bali]] dalam hal stratifikasi sosial. Suku Osing tidak mengenal [[kasta]] seperti halnya Suku Bali, hal ini banyak dipengaruhi oleh agama Islam yang dianut oleh sebagian besar penduduknya.
Kesenian lain yang masih dipelihara adalah tembang dolanan, khususnya oleh kalangan anak usia sekolah. Contohnya adalah Jamuran dan Ojo Rame-Rame. Sesuai dengan sebutannya, tembang-tembang yang pada umumnya bersyair pendek ini digunakan mengiringi permainan anak-anak. Selain menambah keceriaan anak saat bermain berkelompok, tembang dolanan dapat berfungsi mengajarkan nilai-nilai positif sejak dini. Tembang Jamuran, misalnya, mengajarkan tentang gotong-royong dan Ojo Rame-Rame mengajarkan patriotisme<ref>Nurhidayatullah, MT, Sukatman, Wuryaningrum, R. 2013. Tembang Dolanan Dalam Masyarakat Osing Kabupaten Banyuwangi (Kajian Etnografi). Skripsi. Universitas Jember. [http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/62990/Moch%20Tsalis.pdf?sequence=1]</ref>.
== [[Kemiren, Glagah, Banyuwangi|Desa Adat Kemiren]] ==
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menyadari potensi budaya suku Osing yang cukup besar dengan menetapkan Desa Kemiren di kecamatan Glagah sebagai desa adat yang harus tetap mempertahankan nilai-nilai budaya suku Osing. Desa Kemiren merupakan tujuan wisata yang cukup diminati di kalangan masyarakat Banyuwangi dan sekitarnya. Festival budaya dan acara kesenian tahunan lainnya sering diadakan di desa ini
<!--- ''Osing''' atau '''sing''', berdasarkan ejaan Bahasa Osing, berarti "tidak". Kata "tidak" awalnya untuk menyebut sekolompok orang asli Banyuwangi yang tidak mau diajak kerja sama dengan Belanda. Sebagai bentuk kekuatan integritas orang Banyuwangi terhadap prinsip kedaerahnya, orang Banyuwangi selalu mengatakan "tidak" apabila diajak orang lain atau orang asing untuk melakukan sesuatu.
Menurut sejarahwan dari Belanda Pegeot (dalam Bukunya Runtuhnya Kerajaan Islam [[Mataram]]), orang [[Blambangan]], cikal bakal [[Banyuwangi]], sangat kuat istrigatsnya kepada wilayah dan pimpinannya. Sehingga, meski Mataram berhasil menguasai Blambangan dan Kerajaan Mengwi mundur, namun tidak serta-merta orang Blambangan ini tunduk terhadap Mataram sebagai penguasa baru di Tlatah Blambangan. Sebaliknya, mereka justru lari atau mengungsi dalam kelompok-kelompok kecil ke daerah pedalaman. Ini terbukti, dialek Bahasa Osing sangat banyak. Lain kampung, maka lain dialeknya, meski hanya dibatasi sungai atau jalan. Maka orang Banyuwangi asli (Osing) akan mudah dikenali asal daerah mereka, dengan mengenali cara mereka berbicara dan menggunakan Bahasa Osing, baik intonasi maupun kosakatanya. Misalnya antara orang Mangir dengan Melik atau Gambor, atau juga dengan orang Penataban.
Sementara ketika Mengwi kembali menguasai Blambangan, maka orang asli Banyuwangi ini lebih condong ke Bali yang mengaku masih satu keturunan. Maka pada kesimpulannya, Pigeud akhirnya mengatakan, "Suatu ketika pengaruh Mataram kuat, baik secara budaya maupun dalam kehidupan sehari. Namun suatu saat juga melemah, ketika Mengwi berhasil menguasai lagi sebagian wilayah Blambangan". Tidak heran, dalam kesenian Banyuwangi banyak percampuran antara Bali dan Jawa.
Konon kesenian "Janger" yang berkembang di Banyuwangi hingga saat ini, itu hasl rekayasa Mataram untuk menarik orang-orang Osing. Mereka meski sudah dikuasai, namun masih sulit menerima perintah dan pengaruh budaya Mataram. Sehingga penguasa Mataram perlu mengadaptasi kesenian "Langendrian" yang sudah ada di Mataram. Dalam perkembangannya, kesenian ini seperti Ketroprak. Namun Janger di Banyuwangi pada waktu itu hanya menampilkan lakon Damarwulan dengan ''setting'' daerah Majapahi dan Blambangan. Tujuan idologisnya, agar orang Osing tidak menghargai pemimpinannya atau rajanya, yaitu Menakjinggo yang digambarkan buruk muka dan tidak punya tatakrama.
Namun untuk menarik minat orang Osing mendatangi pertunjukan "Janger Langendrian" ini, sengaja musik pengiring bukan gemelan jawa dan kostum pelakunya seperti layaknya raja-raja Jawa, melainkan menggunakan gemaelan dan kostum Bali. Sehingga kesenian yang selalu dibuka dengan tari Legong ini seakan membius orang Osing, bahwa mereka sedang menikmati kesenian dari saudara tuanya, yaitu Bali. Namun setelah memasuki cerita, baru penguasa Mataram memasukkan unsur-unsur Jawa-Mataram dan bahasa dialog dan "ontowacononya". Cara ini sangat efektif, karena orang Osing akhirnya tidak memedulikan siapa pemimpinnya, bahkan keranjingan menggunakan bahasa Jawa untuk dialog sehari-hari. Ada semacam gengsi tersendiri di kalangan orang Osing, apabila bila berbicara menggunakan bahasa Jawa.
Setelah masa penjajahan Belanda, sikap orang Osing terhadap penjajah tidak jauh berbeda ketika ditujukan kepada Mataram. Bahkan mereka tidak mau mengikuti perintah keras Belanda untuk kerja paksa. Akibat sulitnya Belnada menundukan orang-orang Osing ini, akhirnya muncul julukan orang Banyuwangi asli sebagai orang "Osing", karena "sing" atau "tidak" mau diajak kompromi dalam berbagai hal untuk mendukung penjajah. Bahkan dalam perang habis-habisan, atau "Puputan Bayu" ribuan orang Osing dibantai Belanda hingga kepalanya dipajang di sepanjang Lincing Rogojampi, untuk membuat jera yang lain agar mau bekerja sama dengan Belanda.
Namun secara sosiolinguistik, bahasa Osing bukan dari Bahasa Jawa, melainkan dari Bahasa Jawa Kuno. Terbukti dalam bahasa Jawa Kuno dan Osing itu tidak ada strata bahasa, atau unggah-ungah seperti halnya Bahasa Jawa. Jadi antara Bahasa Osing dan Bahasa Jawa sama satu induk, buka sebagai subordinat. Namun akibat letak geografi Banyuwangi (sebelum ada jalan penghubung dengan Jember dan Situbondo) bahasa Osing cenderung statis dibanding bahasa Jawa yang diawali dari bahasa Kraton yang ada unggah-ungguhnya. Bahkan budayawan Banyuwangi Hasan Ali berani menyatakan, kosa-kata Bahasa Osing banyak digunakan dalam kosa kata Bahasa Bali. Karena sebelum menyusun Kamus Bali-Belanda, Lackercker puluhan tahun tinggal di Banyuwangi. Disinyalir, saat itu sudah menyusun kata-kata yang ditemukan diBanyuwangi dan digunakan dalam Bahasa Bali. Sehingga kata "sing" Bahsa Bali dan Bahasa Osing sama artinya, yaitu "tidak. --->
* [[Bahasa Osing]]
* [[Pegon|Aksara Pegon]]
* [[Suku Bali]]
== SumberReferensi ==
{{reflist}}
{{Commonscat|Osing people}}
|