Muwaqqit: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 12:
Tugas utama seorang ''muwaqqit'' adalah mengatur jadwal waktu salat di sebuah masjid, madrasah, atau institusi islam lainnya berdasarkan astronomi (ilmu falak) dan ilmu pasti.{{sfn|King|1983|p=534}} Pada masa puncaknya di abad ke-14 dan ke-15, jabatan ini sering ditempati ilmuwan-ilmuwan terkemuka yang selain mengatur jadwal waktu salat juga menulis makalah-makalah astronomi, terutama di bidang '''ilmu al-miqat'' dan penggunaan alat-alat astronomi terkait, terutama [[kuadran (alat)|alat kuadran]] dan [[jam matahari]].{{sfn|King|1996|p=286}}{{sfn|King|1998|p=159}}{{sfn|Brentjes|2008|p=130}} Selain itu, mereka juga bertugas dalam hal-hal lain yang memerlukan ilmu astronomi, terutama penentuan [[hilal]] (awal [[kalender Hijriyah|bulan hijriyah]]) dan arah [[kiblat]].{{sfn|King|1998|p=159}}
Sejarawan astronomi [[David A. King (sejarawan)|David A. King]] menggambarkan ''muwaqqit'' sebagai sebuah profesi khusus di masjid-masjid, yang ditempati para ahli astronomi "yang bertugas demi Islam" dan menghasilkan karya-karya besar, walaupun tidak selalu berhasil mempengaruhi para muazin dan ahli fikih yang sering lebih mengandalkan ilmu tradisional. Pengetahuan seorang ''muwaqqit'' diteruskan kepada murid-muridnya yang belajar khusus untuk menjadi generasi ''muwaqqit'' selanjutnya. Gambaran King ini didasarkan oleh penelitiannya terhadap karya-karya para ''muwaqqit'' dan teks-teks hukum Islam yang ada pada masa yang sama.{{sfn|Brentjes|2008|p=130}} Sementara itu, sejarawan sains [[Sonja Brentjes]] berpendapat bahwa ''muwaqqit'' tidak harus dilihat sebagai profesi khusus, melainkan hanya sebagian tugas dari seorang guru (''mudarris'').{{sfn|Brentjes|2008|pp=130–131}} Penjadwalan waktu salat serta pembuatan dan pengurusan alat-alat astronomi di masjid hanyalah bagian normal dari kegiatan keilmuan di kota-kota Muslim saat itu. Seorang yang bergelar ''muwaqqit'' umumnya juga memiliki ilmu mendalam di bidang lain, termasuk [[fikih]] dan [[filsafat]]. '''Ilmu al-miqat'' diajarkan secara luas dan bukan hanya ditujukan pada seorang calon ''muwaqqit''; seorang muazin bisa saja memiliki pendidikan yang persis sama dengan seorang ''muwaqqit''.{{sfn|Brentjes|2008|p=145}} Brentjes mendasarkan pendapatnya ini kepada teks-teks biografi para muwaqqit yang dibuat pada masa Kesultanan Mamluk, terutama sejumlah biografi karya [[Syamsuddin as-Sakhawi]] (1427–1497), seorang penulis dan [[:wikt:perawi|perawi]] hadis terkemuka abad ke-15.{{sfn|Brentjes|2008|p=130}} King dan Brentjes menyebutkan sulitnya mengetahui perannya secara pasti dengan sumber-sumber yang telah ditemukan,
=== Gaji ===
Belum banyak data yang diketahui tentang gaji para ''muwaqqit'', dan King hanya dapat menyebutkan beberapa angka dari ''waqfiyah'' atau dokumen-dokumen keuangan masjid di Kairo pada abad ke-15 dan 16. Di antaranya disebutkan gaji sebesar 200 dirham/bulan di Masjid Amir Qanim pada tahun 1446 (pada dokumen yang sama, gaji seorang imam disebutkan 900 dirham/bulan, khatib 500/bulan, muazin 200/bulan, dan pelayan 300/bulan). Dokumen-dokumen lain menjunjukkan angka kumulatif, yaitu 1400 dirham (yang dibagi antara sekitar 16 muazin dan ''muwaqqit'') 600 dirham (tidak diketahui berapa jumlah pembaginya).{{sfn|King|1998|p=302}}{{sfn|King|1996|p=160}} Menurut Brentjes, angka-angka ini relatif kecil sehingga seorang ''muwaqqit'' biasanya juga harus melakukan pekerjaan-pekerjaan lain, seperti mengajar.{{sfn|Brentjes|2008|pp=134–135}} King menyebutkan data-data ini sangat terbatas karena hanya mencakup Kairo dan tidak mencakup masjid-masjid dengan ''muwaqqit'' terkemuka, seperti Masjid Umayyah di Damaskus.{{sfn|King|1996|pp=302–303}}
|