Muwaqqit: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
k Bot: Perubahan kosmetika |
||
Baris 1:
{{italic title}}
[[Berkas:Dar al-Muwaqqit.jpg|jmpl|Darul Muwaqqit ("rumah sang ''muwaqqit''") di [[Universitas Al-Qarawiyyin]], [[Fes]], Maroko.]]
Dalam sejarah [[dunia Islam]], '''''muwaqqit''''' ({{lang-ar|موقت}}, kadang disebut juga '''''miqati''''') adalah seorang ilmuwan yang bertugas sebagai ahli [[astronomi]], juru waktu, dan penentu waktu [[salat]] di sebuah [[masjid]], [[madrasah]], atau institusi [[Islam]] lainnya.
Jabatan ini pertama kali tercatat di Mesir pada zaman [[Kesultanan Mamluk (Kairo)|Kesultanan Mamluk]] (1250–1517), dan menyebar ke berbagai masjid dan madrasah besar. Pada puncaknya pada abad ke-14 dan ke-15, posisi ini ditempati ilmuwan terkemuka seperti seperti [[Ibnu asy-Syathir]] (1304–1375) dan [[Syamsuddin al-Khalili]] (1320–1380) yang bertugas di [[Masjid Umayyah]], [[Damaskus]]. Pada masa ini, aktivitas ''muwaqqit'' terbesar berada di negeri [[Syam]] dan Mesir, dan posisi ini juga menyebar ke sekurangnya [[Palestina (wilayah)|Palestina]], [[Hijaz]], [[Tunis]], dan Yaman. Keberadaan posisi ini terus berlanjut hingga abad ke-19, walaupun tidak mengeluarkan karya ilmiah sebesar sebelumnya. Pada masa sekarang, masjid-masjid dapat menggunakan tabel jadwal salat yang dibuat lembaga-lembaga tertentu atau jam elektronik untuk mengetahui waktu salat dengan tepat tanpa membutuhkan keahlian khusus seorang ''muwaqqit''.
Baris 10:
Sebelum istilah ''muwaqqit'' muncul di catatan-catatan peninggalan Dunia Islam, jabatan yang paling terkait dengan waktu penyelenggaraan salat adalah [[muazin]] atau juru azan. Posisi muazin telah ada sejak masa hidup Muhammad dan disebutkan dalam banyak catatan sejarah. Tugasnya adalah mengumandangkan azan, sering kali dari atas sebuah [[minaret]] sebelum adanya pengeras suara.{{sfn|King|1996|p=286}} Minaret juga memudahkan sang muazin mengamati fenomena matahari terbenam yang merupakan pertanda waktu salat magrib.{{sfn|King|1996|p=289}} Ilmuwan terkemuka [[Al-Biruni]] (yang aktif di Asia Tengah abad ke-11, sebelum tercatatnya posisi ''muwaqqit'') menyebutkan ada dua sikap di kalangan muazin terhadap metode-metode astronomi: ada yang berusaha memperkirakan waktu salat dengan melihat bayangan, dan ada yang menurutnya "jijik mendengar kata bayangan, ketinggian, atau sinus dan merinding begitu melihat adanya perhitungan atau alat ilmiah". Al-Biruni mencatat percekcokannya dengan seorang muazin yang tidak mengizinkannya membawa peralatan astronomi ke dalam masjid karena adanya simbol-simbol [[zodiak]] dan penggunaan [[kalender Masehi]] dalam peralatan tersebut.{{sfn|King|1996|p=292}} Di sisi lain, terdapat juga muazin yang terampil di bidang astronomi, menulis makalah-makalah ilmiah, dan membuat peralatan-peralatan astronomi.{{sfn|King|1996|p=300}}
== Tugas ==
[[
Tugas utama seorang ''muwaqqit'' adalah mengatur jadwal waktu salat di sebuah masjid, madrasah, atau institusi islam lainnya berdasarkan astronomi (ilmu falak) dan ilmu pasti.{{sfn|King|1983|p=534}} Pada masa puncaknya di abad ke-14 dan ke-15, jabatan ini sering ditempati ilmuwan-ilmuwan terkemuka yang selain mengatur jadwal waktu salat juga menulis makalah-makalah astronomi, terutama di bidang
Sejarawan astronomi [[David A. King (sejarawan)|David A. King]] menggambarkan ''muwaqqit'' sebagai sebuah profesi khusus di masjid-masjid, yang ditempati para ahli astronomi "yang mengabdi demi Islam" dan menghasilkan karya-karya besar, walaupun tidak selalu berhasil mempengaruhi para muazin dan ahli fikih yang sering lebih mengandalkan ilmu tradisional. Pengetahuan seorang ''muwaqqit'' diteruskan kepada murid-muridnya yang belajar khusus untuk menjadi generasi ''muwaqqit'' selanjutnya. Gambaran King ini didasarkan oleh penelitiannya terhadap karya-karya para ''muwaqqit'' dan teks-teks hukum Islam yang ada pada masa yang sama.{{sfn|Brentjes|2008|p=130}} Sementara itu, sejarawan sains [[Sonja Brentjes]] berpendapat bahwa ''muwaqqit'' tidak harus dilihat sebagai profesi khusus, melainkan hanya sebagian tugas dari seorang guru (''mudarris'').{{sfn|Brentjes|2008|pp=130–131}} Penjadwalan waktu salat serta pembuatan dan pengurusan alat-alat astronomi di masjid hanyalah bagian normal dari kegiatan keilmuan di kota-kota Muslim saat itu. Seorang yang bergelar ''muwaqqit'' umumnya juga memiliki ilmu mendalam di bidang lain, termasuk [[fikih]] dan [[filsafat]]. '''Ilmu al-miqat'' diajarkan secara luas dan bukan hanya ditujukan pada seorang calon ''muwaqqit''; seorang muazin bisa saja memiliki pendidikan yang persis sama dengan seorang ''muwaqqit''.{{sfn|Brentjes|2008|p=145}} Brentjes mendasarkan pendapatnya ini kepada teks-teks biografi para muwaqqit yang dibuat pada masa Kesultanan Mamluk, terutama sejumlah biografi karya [[Syamsuddin as-Sakhawi]] (1427–1497), seorang penulis dan [[:wikt:perawi|perawi]] hadis terkemuka abad ke-15.{{sfn|Brentjes|2008|p=130}} King dan Brentjes menyebutkan
=== Gaji ===
Baris 20:
=== Hubungan dengan muazin ===
Tugas para ''muwaqqit'' di masjid terkait dengan para muazin yang mengumandangkan azan untuk menandai dimulainya waktu salat.{{sfn|King|1996|p=286}}{{sfn|Pedersen|1991|p=677}} Tak seperti ''muwaqqit'' yang membutuhkan keahlian khusus di bidang astronomi, jabatan [[muazin]] yang biasanya dipilih berdasarkan kesalehannya dan suaranya yang merdu. Tidak semua masjid memiliki ''muwaqqit'', bahkan masjid-masjid besar pun banyak yang hanya mengandalkan muazin untuk menentukan waktu salat berdasarkan metode-metode tradisional.{{sfn|King|1989|p=534}} Brentjes berspekulasi bahwa bisa jadi posisi ''muwaqqit'' muncul dari spesialisasi posisi muazin,{{sfn|Brentjes|2008|p=139}} dan bisa jadi tidak ada batasan mutlak antara kedua posisi ini.{{sfn|Brentjes|2008|p=141}} Beberapa ''muwaqqit'' terkemuka seperti Syamsuddin al-Khalili dan Ibnu asy-Syathir juga pernah menjabat sebagai muazin, dan terdapat tokoh-tokoh yang memegang dua jabatan ini sekaligus.{{sfn|Brentjes|2008|pp=139–140}}
== Sejarah ==
=== Awal mula ===
[[Berkas:Le Caire mosquée Amr ibn al-As.jpg|jmpl|
Tak seperti posisi muazin yang sejarah dan asal-usulnya banyak disebutkan dalam catatan sejarah, asal-usul posisi ''muwaqqit'' tidak begitu jelas. Catatan sejarah paling awal menunjukkan bahwa posisi ini telah ada di Mesir pada masa [[Kesultanan Mamluk (Kairo)|Kesultanan Mamluk]] abad ke-13.{{sfn|King|1996|p=288}} Menurut King, muwaqqit pertama yang diketahui tercatat adalah seorang bernama Abu al-Hasan Ali bin Abdul Malik bin Sim'un, yang wafat pada 685 H (1286/1287 M) dan menjabat sebagai ''muwaqqit'' di [[Masjid Amru bin Ash]] di [[Fustat|al-Fusthath]], Mesir. Putranya Muhammad al-Wajih (wafat 701 H atau 1301/1302 Masehi) dan cucunya Muhammad al-Majd juga menjabat sebagai ''muwaqqit'' di masjid yang sama.{{sfn|King|1996|p=298–299}} Pada saat yang sama posisi serupa juga kemungkinan ada di kawasan [[Al-Andalus]] dan [[Arab Maghrib|Maghribi]] tetapi dikenal dengan istilah berbeda.{{sfn|King|1996|p=288}} Di Al-Andalus pada akhir abad ke-13 terdapat pasangan ayah-anak bernama Ahmad dan Husain dengan nama keluarga "bin Baso", yang merupakan pakar astronomi yang bertugas menentukan waktu salat di Masjid Agung Granada. Tercatat gelar yang berbeda-beda dalam teks-teks yang menyebutkan kedua tokoh ini, di antaranya ''al-muadzdzin al-mubarak'', ''al-imam al-mu'addil al-mubarak'', ''al-syaikh al-mu'addil'', ''amin al-awqat'', serta ''muwaqqit''.{{sfn|King|1996|p=299}} Di [[Universitas Al-Qarawiyyin]] di [[Fes]] dikenal gelar ''al-mu'addil'' untuk astronom Muhammad al-Sanhaji (sekitar tahun 1317).{{sfn|King|1996|p=300}} Pada sekitar tahun 1300, penulis Mesir [[Ibnu al-Ukhuwwah]] menulis buku pedoman tentang profesi-profesi yang ada pada masa itu. Buku ini menyebutkan posisi muazin serta tugas-tugas dan persyaratannya, tetapi tidak menyebutkan posisi ''muwaqqit''.{{sfn|King|1983|p=534}}
Baris 31:
Jika benar posisi resmi ''muwaqqit'' pertama kali muncul di Mesir, posisi ini tak lama kemudian menyebar di daerah [[Palestina (wilayah)|Palestina]] dan [[Syam]]. Di Masjid [[Al-Haram Al-Khalil]] di [[Hebron]], tercatat seorang ''muwaqqit'' Ibrahim bin Ahmad yang pada sekitar 1306 membuat salinan naskah astronomi karya Nasiruddin bin Sim'un (wafat 1337), seorang anggota keluarga yang sama dengan para ''muwaqqit'' awal di al-Fusthath.{{sfn|King|1998|p=156}} Di Halab ([[Aleppo]]) tercatat seorang ''muwaqqit'' bernama [[Ibnu al-Sarraj]] (aktif sekitar 1325) yang juga merancang dan membuat berbagai peralatan astronomi serta menulis makalah tentang cara pembuatan dan penggunaannya.{{sfn|King|1998|p=157}}
Juga di Syam, [[Ibnu asy-Syathir]] (hidup 1304–1375) mengepalai sebuah tim ''muwaqqit'' yang bertugas di [[Masjid Umayyah]], Damaskus. Ia menyusun dua [[zij]] (tabel astronomi) serta membuat alat-alat astronomi seperti [[astrolab]] dan [[jam matahari]]. Di luar karyanya yang berkaitan dengan penentuan waktu, ia juga aktif di bidang teori planet-planet dan menulis sebuah makalah teoretis mengenai model pergerakan matahari, bulan, dan planet-planet. Model ini bersifat [[model geosentris|geosentris]] tetapi secara matematika setara dengan model yang dikemukakan [[Nicolaus Copernicus]] pada abad ke-16.{{sfn|King|1998|p=157}}{{sfn|King|1996|p=306}} Rekan Ibnu asy-Syathir yaitu [[Syamsuddin al-Khalili]] (1320–1380) yang awalnya merupakan ''muwaqqit'' di [[Masjid Yalbugha]] sebelum pindah ke Masjid Umayyah, menulis tabel-tabel waktu salat untuk Damaskus serta tabel berisi arah kiblat dari berbagai tempat.{{sfn|King|1998|p=157}} Tidak semua kalangan ulama fikih menyetujui aktivitas para ''muwaqqit'' ini. [[Kadi]] Damaskus [[Tajuddin as-Subuki]] (1327–1370) mencela para ''muwaqqit'' yang menurutnya dipenuhi tukang nujum (''munajjimun'') dan peramal (''kuhhan'').{{sfn|King|1996|p=306–307, 329 no. 8}} Topik ilmu nujum ([[astrologi]]) pada masa itu lumrah ditambahkan dalam buku-buku astronomi sehingga seorang ahli astronomi kemungkinan pernah membacanya, dan sejumlah kecil ''muwaqqit'' juga tercatat mempelajari ilmu tersebut secara khusus.{{sfn|Brentjes|2008|p=125}}
Hingga akhir abad ke-14, aktivitas para ''muwaqqit'' telah tercatat di Mesir, Syam, Palestina, [[Hijaz]] (termasuk [[Mekkah]] dan [[Medinah]]), [[Tunis]], dan [[Yaman]].{{sfn|Brentjes|2008|pp=141, 144–145}}{{sfn|King|1996|p=288}} Pada abad berikutnya praktek ini juga dikenal di Turki.{{sfn|King|1996|p=288}} Menurut King, tidak ditemukan bukti adanya posisi ini di kawasan Dunia Islam yang lebih timur, seperti Irak, Iran, India, dan Asia Tengah.{{sfn|King|1996|p=288}} Menurut Brentjes, ada kemungkinan '''ilmu al-miqat'' dan kegiatan para ''muwaqqit'' tersebar ke timur, dengan banyaknya interaksi akibat perdagangan, perjalanan haji dan perjalanan mencari ilmu, walaupun buktinya belum ditemukan di catatan tertulis.{{sfn|Brentjes|2008|pp=131, 144}}
|