Laporan Portugis menjelaskan bahwa Sunda Kelapa terbujur sepanjang satu atau dua kilometer di atas potongan-potongan tanah sempit yang dibersihkan di kedua tepi sungai Ciliwung. Tempat ini ada di dekat muaranya yang terletak di teluk yang terlindung oleh beberapa buah pulau. Sungainya memungkinkan untuk dimasuki 10 kapal dagang yang masing-masing memiliki kapasitas sekitar 100 ton. Kapal-kapal tersebut umumnya dimiliki oleh orang-orang [[Suku Melayu|Melayu]], Jepang dan Tionghoa. Di samping itu ada pula kapal-kapal dari daerah yang sekarang disebut Indonesia Timur. Sementara itu kapal-kapal Portugis dari tipe kecil yang memiliki kapasitas muat antara 500 - 1.000 ton harus berlabuh di depan pantai. Tome Pires juga menyatakan bahwa barang-barang komoditas dagang Sunda diangkut dengan ''lanchara'', yaitu semacam kapal yang muatannya sampai kurang lebih 150 ton.<ref>Supratikno Rahardjo (1996:26).</ref>
Lalu pada tahun 1522 Gubernur [[Alfonso d'Albuquerque]] yang berkedudukan di Malaka mengutus Henrique Leme untuk menghadirimenaklukan undangan rajaKerajaan Sunda untukdan membangunmenguasai benteng keamanan diPelabuhan Sunda KalapaKelapa untuk melawanmenjadikan orang-orangpelabuhan CirebonSunda yangKelapa bersifatsebagai ekspansif.pintu Sementaramasuk ituPortugis kerajaandi Demakkepulauan sudahJawa. menjadiMaka pusatpada kekuatantanggal politik[[21 Islam.Agustus]] Orang-orang[[1522]] MusliminiPortugis padaMembuat awalnyaSebuah adalahMonumen pendatangyang daridisebut dengan ''[[Suku Jawa|Jawapadraõ]]'' danuntuk mengukuhkan Sunda Kelapa diantaranyasebagai merupakanWilayah keturunanJajahan ArabPortugis.
Kerajaan Demak melihat pergerakan orang Portugis di Malaka yang menjajah Wilayah tersebut, bermaksud untuk membebaskan warga kerajaan sunda dari Penjajahan Portugis. Lantas kerajaan [[Demak]] menugaskan [[Fatahillah]] untuk mengusir [[Portugis]] dan merebut kota ini. Maka pada tanggal [[22 Juni]] [[1527]], pasukan gabungan Demak - Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah (Faletehan) merebut Sunda Kelapa. Maka kejayaan Fatahilah anak dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) yang membebaskan kembali pelabuhan Sunda Kelapa dari Penjajahan Portugis pada tanggal 22 Juni 1527 inilah dikenal sebagai hari jadi Kota Jakarta. Sejak saat itu nama Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta yang terinspirasi dari kemenangan Fatahillah di Sunda Kelapa.
Maka pada tanggal [[21 Agustus]] [[1522]] dibuatlah suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda Kelapa, sedangkan Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang diperlukan. Raja Sunda akan memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada sebagai tanda persahabatan. Sebuah batu peringatan atau ''[[padraõ]]'' dibuat untuk memperingati peristiwa itu. [[Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal|Padrao dimaksud]] disebut sebagai layang salaka domas dalam cerita rakya Sunda [[Mundinglaya Dikusumah]]. Padraõ itu ditemukan kembali pada tahun 1918 di sudut Prinsenstraat (Jalan Cengkeh) dan Groenestraat (Jalan Nelayan Timur) di Jakarta.
Kerajaan Demak menganggap perjanjian persahabatan Sunda-Portugal tersebut sebagai sebuah provokasi dan suatu ancaman baginya. Lantas [[Demak]] menugaskan [[Fatahillah]] untuk mengusir [[Portugis]] sekaligus merebut kota ini. Maka pada tanggal [[22 Juni]] [[1527]], pasukan gabungan Demak-Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah (Faletehan) merebut Sunda Kelapa. Tragedi tanggal 22 Juni inilah yang hingga kini selalu dirayakan sebagai hari jadi kota Jakarta. Sejak saat itu nama Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta. Nama ini biasanya diterjemahkan sebagai kota kemenangan atau kota kejayaan, namun sejatinya artinya ialah "kemenangan yang diraih oleh sebuah perbuatan atau usaha" dari [[bahasa Sanskerta]], ''jayakṛta'' ([[aksara Dewanagari|Dewanagari]] जयकृत).<ref>Sesuai Gonda (1951:348) yang mengutip Hoessein Djajadiningrat.</ref>