Politik Devide Et Impera Di Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Adinda Sagala (bicara | kontrib)
←Membuat halaman berisi 'Politik devide et impera adalah strategi yang digunakan oleh penjajah kolonial (Belanda) untuk menggagalkan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pasca...'
Tag: tanpa kategori [ * ] VisualEditor-alih
 
Adinda Sagala (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 9:
Terjadi kekosongan pemerintahan yang berkuasa Indonesia yang diakibatkan kekalahan Jepang. Oleh karena itu, para pemuda (Golongan Muda) melakukan penculikan terhadap Soekarno-Hatta yang kemudian membawa keduanya ke Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945.
Peristiwa Rengasdengklok terjadi pada 16 Agustus 1946, yakni penculikan kepada dua bapak proklamator Republik Indonesia, Soekarno dan Hatta, ke Karawang, Jawa Barat, dengan tujuan supaya cepat mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Tetapi Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia 1945, karena ingin kembali berkuasa. Hal inilah yang mengawali agresi militer I tahun 1947 dan agresi militer II tahun 1948.
 
= Agresi Militer Belanda I Dan II =
Setelah Indonesia Merdeka pada 1945, Belanda masih mempunyai urusan dengan Indonesia, yakni pengembalian semua wilayah yang dulu bekas jajahan Belanda menjadi bagian dari Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI). Untuk menjadi negara berdaulat, beberapa tahapan melawan Belanda dilakukan untuk mempertahankan teritori yang sudah dideklarasikan dari Sabang- Merauke.
 
==== Perjanjian Linggarjati 1946 ====
Perjanjian yang terjadi di Linggarjati, Jawa Barat, dihadiri oleh pihak dari Indonesia yang diwakili Sutan Syahrir dan dari pihak Belanda diwakili Wim Schermerhorn, dimana menghasilkan resolusi yang melemahkan Indonesia secara de Facto. Pada perjanjian tersebut hanya akan mengakui Jawa, Sumatera dan Madura sebagai bagian dari negara Indonesia.
 
==== Agresi Militer Belanda I 1947 ====
Pada 21 Juli 1947, Letnan Gubernur Jenderal Belanda Johannes van Mook menegaskan bahwa hasil Perundingan Linggarjati tidak berlaku lagi dan memulai operasi militer yang dikenal dengan nama Agresi Militer Belanda I yang berlangsung sampai 5 Agustus 1947. Belanda menamakan operasi militer ini sebagai Aksi Polisionil dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri. Tujuan utama agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak.
 
==== Perjanjian Renville 1948 ====
Akibat agresi militer 1 yang dilakukan Belanda, Amerika Serikat turun tangan untuk menetralkan situasi dengan menjadi penengah antara Indonesia dan Belanda. Keduanya lalu menandatangani perjanjian Renville pada 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral USS Renville, yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Hasil dari perjanjian ini, Indonesia berhasil memaksakan gencatan senjata, tapi kehilangan sebagian wilayahnya. Belanda hanya mengakui kedaulatan RI di Jawa tengah, Yogyakarta, dan Sumatera, serta meminta TNI menarik pasukannya dari wilayah pendudukan.
 
==== Agresi Militer Belanda II 1948 ====
Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda melanggar gencatan senjata dan isi Perjanjian Renville. Belanda mengerahkan 80.000 pasukannya kemudian menyerang ibu kota Indonesia yang pada saat itu di Yogyakarta dan melakukan penangkapan kepada Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya.
 
==== Konferensi Meja Bundar 1949 ====
Akibatnya, Amerika Serikat kembali  menekan Belanda untuk berunding dengan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada 2 November 1949, terkait pengembalian seluruh wilayah jajahan Belanda kepada Indonesia, termasuk Papua didalamnya. Perjanjian ini menyatakan Belanda setuju untuk mentransfer kedaulatan politik mereka atas seluruh wilayah bekas Hindia Belanda menjadi Indonesia. Khusus untuk Papua Barat menjadi satu-satunya bagian dari Hindia Belanda yang tidak dipindahkan ke Indonesia dan status Papua Barat akan dibahas setahun kemudian, yakni 1950.
 
= Politik Devide et Impera Belanda Di Indonesia =
Meski telah sepakat dalam KMB, Belanda berupaya menggagalkan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia lewat politik devide et impera. Secara definitif Devide et impera atau Politik pecah belah adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat.
 
Devide et Impera pada dasarnya merupakan cara yang digunakan oleh Belanda pada saat itu guna mencapai tujuannya untuk mengadu domba kelompok-kelompok kecil di Indonesia, sehingga Belanda bisa dengan mudahnya menguasai kekayaan Indonesia (saat itu bernama Hindia Belanda).  Belanda menggunakan politik Devide et Impera atau politik pecah belah di Indonesia untuk memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan. Politik pecah belah ini dilakukan oleh Belanda dengan pendirian negara boneka Belanda dijanjikan untuk merdeka.   
 
= Negara Boneka di Indonesia Timur (saat ini Papua) di Indonesia =
Selama 1947-1948, pihak Belanda sengaja ingin menguasai Indonesia dengan mudah, dan membagi-baginya menjadi kelompok kecil, dengan total 6 bagian, diantaranya diantaranya Negara Indonesia Timur (sekarang Papua), Negara Sumatera Timur, Negara Madura, Negara Pasundan, Negara Sumatra Selatan, dan Negara Jawa Timur.
 
Sejak 1950 sampai 1961, Belanda masih belum mengembalikan Papua sampai 1961, dimana Belanda seharusnya mengembalikan Papua menjadi bagian dari Indonesia sesuai kesepakatan hasil konferensi Meja Bundar (KMB), di Den Haag, Belanda, yang akan dibahas satu tahun setelahnya, yakni pada 1950. Belanda masih menguasai Papua Barat sebagai wilayah jajahannya, Alasannya karena Belanda masih mau mempertahankan pengaruhnya di kawasan Asia Pasifik sekaligus bertekad memperkuat basis ekonominya di Papua. Belanda diam-diam mendirikan negara boneka Papua. Belanda memulai dengan membentuk komite bernama New Guinea Council pada tanggal 19 Oktober 1961. Adapun tugasnya merancang Manifesto untuk Kemerdekaan dan Pemerintahan Mandiri, bendera nasional (Bendera Bintang Kejora), cap negara, memilih "Hai Tanahku Papua" sebagai lagu kebangsaan, dan meminta masyarakat untuk dikenal sebagai orang Papua.  Belanda mengakui bendera dan lagu ini pada tanggal 18 November 1961, dan peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 1961. Ditahun yang sama, Belanda sekaligus mendirikan pasukan Papoea Vrijwilligers Korps atau Korps Relawan Papua (PVK), tentara buatan Belanda yang terdiri dari pribumi Papua.
 
= Kembalinya Papua Menjadi Bagian dari Indonesia =
Setelah Belanda mendirikan negara boneka di Papua, maka pada 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mengumumkan  Trikora (Tri Komando Rakyat) dengan isi :
 
''Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda.''
 
''Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat, tanah air Indonesia.''
 
''Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.''
Melalui hal tersebut, tindakan konfrontasi dengan Belanda tidak bisa dihindarkan. Panglima Mandala menyusun tiga strategi guna melaksanakan instruksi tersebut;
 
# Tahap Infiltrasi (penyusupan) (sampai akhir 1962), yaitu dengan memasukkan 10 kompi di sekitar sasaran-sasaran tertentu untuk menciptakan daerah bebas de facto yang kuat sehingga sulit dihancurkan oleh musuh dan mengembangkan penguasaan wilayah dengan membawa serta rakyat Irian Barat
# Tahap Eksploitasi (awal 1963), yaitu mengadakan serangan terbuka terhadap induk militer lawan dan menduduki semua pos-pos pertahanan musuh yang penting.
# Tahap Konsolidasi (awal 1964), yaitu dengan menunjukkan kekuasaan dan menegakkan kedaulatan Republik Indonesia secara mutlak di seluruh Irian Barat.
 
Namun setelah Trikora dilaksanakan, Amerika memfasilitasi perundingan Indonesia-Belanda yang menghasilkan New York Agreement tahun 1962.
 
== Referensi ==