Kadipaten Jipang: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
||
Baris 73:
Nama Jipang tampak dicantumkan pada plakat yang diumumkan pada tanggal 1 September 1818 oleh komisaris Belanda Muntinghe, yang isinya menjamin bahwa bagi Palembang pemerintah Hindia Belanda akan mempertahankan undang-undang, terkenal dengan nama “Piagam Pangeran Jipang” (de wet, bekend onder de naam van Pejagem van dan Pangerang van Djiepan).[13] Dalam riwayat Palembang yang bersifat sejarah, berkali-kali terdapat kata-kata yang menunjuk pada hubungan dengan Jawa, khususnya dengan Jawa Timur.
Suatu undang-undang yang terkenal sebagai piyagem Pangeran ing Jipang tidak dikenal dalam kesusastraan Jawa. Yang pasti ialah bahwa di berbagai daerah Sumatera Selatan telah dipakai buku-buku hukum Jawa yang disusun di keraton raja-raja Demak. Salah satu di antaranya, yang paling terkenal, dikarang oleh Senapati Jimbun; ini salah satu dari nama Raden Fatah. Besar sekali kemungkinan kitab hukum Senapati Jimbun, atau yang lain, seperti buku Jugul Mudha, juga telah dipakai di Keraton Djipang masa Arya Panangsang (kerabat Sultan Tranggana). Konon, sesudah jatuhnya Kerajaan Jipang pada pertengahan abad ke-16, keturunan atau pengikut pangeran yang terakhir ([[ Arya Mataram]]) dalam pengungsian juga membawa naskah tulisan buku hukum itu bersama dengan pusaka-pusaka lain. Mereka mengungsi ke timur, ke Surabaya lalu ke Palembang. Dengan memiliki buku yang penting itu, mereka akan dapat membuktikan hubungan keluarga mereka dengan keturunan maharaja Demak.
________
Daftar Isi.
[1] Dalam Pigeaud, Literature (jil. III, di bawah “Blora”, “Boja Nagara”, dan pada narna lain yang tersebut dalam teks), telah dicantumkan keterangan-keterangan singkat tentang cerita-cerita yang bersifat legenda ini, dan petunjuk tentang naskah-naskah Jawa yang menampilkan cerita-cerita tersebut. (Mengenai Matahun lihat juga Pigeaud, Java, jil. V, di bawah “Matahun”, dan juga Noorduyn, “Ferry”, hlm. 480).
[2] Dalam Pigeaud, Java, (jil. V, di bawah “Lasem”), telah ditunjuk tempat-tempat dalam Nagara Kertagarna, tempat daerah ini disebutkan sebagai “tanah raja” milik anggota keluarga raja Majapahit.
[3] Mengenai pengusahaan garam dan perdagangan garam di Jawa pada masa sebelum zaman Islam, terdapat pemberitaan-pemberitaan pada beberapa piagam “Biluluk” Jawa kuno, yang telah diterjemahkan dan dibicarakan dalam Pigeaud, Java (jil. V, di bawah “Biluluk”, dan dalam Indeks, hlm. 42: “salt”).
[4] Dr. Meilink Roelofsz berkali-kali menceritakan Rembang, Pati, dan Juwana dalam karangannya (Meilink-Roelofzs, Asian Trade) sementara ia menunjuk pada Pires, Suma Oriental.
[5] Mengenai pengelolaan hutan dan tentang hutan-hutan jati di Jawa pada masa sebelum zaman Islam, diuraikan dalam piagam Jawa Kuno Katiden (Pigeaud, Java, jil. V, di bawah “Jati” dan dalam Indeks, hlm. 44: “tree”).
[6] Pigeaud, Literature (jil.III di bawah “Kalang”), memuat petunjuk-petunjuk singkat tentang naskah-naskah Jawa, tempat golongan orang-orang ini dibicarakan. Dalam Pigeaud, Volksvertoningen (lihat indeksnya: “Kalang”) dicantumkan pandangan-pandangan sementara tentang arti mitos asal orang Kalang (asal usulnya dari anjing).
[7] Mengenai Jipang, Rajeg Wesi, dan Bojonegoro telah dikumpulkan keterangan-keterangan penting oleh Dr. Noorduyn (Noorduyn, “Ferry”, dan Noorduyn, “Solo Ferries”). Panangsang ini mungkin nama tempat, yang belum dapat dipastikan lokasinya.
[8] Lihat Berg, “Pandji-verhalen” (hlm. 42). Dalam Graaf, Senapati (hlm. 42) dikemukakan adanya berita Belanda yang mungkin dapat dihubungkan dengan Aria Panangsang dari Jipang.
[9] Cerita tentang Aria Penangsang ini disebutkan dalam kumpulan legenda Melayu tentang para wali di Jawa dan tempat tinggalnya (Wardi, Kumpulan).
[10] Tahun-tahun peristiwa ini, yang disebut dalam Babad Momana dari Yogya, telah dibicarakan dalam Graaf, Senapati, hlm. 114. Lihat juga Bab XX-5 mengenai perluasan Kerajaan Mataram pada perempat terakhir abad ke-16.
[11] Buku Sadjarah Dalem (Padmasoesastra, Sadjarah Dalem) dalam bahasa Jawa, yang berwujud daftar keturunan nenek moyang dan sanak saudara para raja Surakarta dan Yogyakarta dari abad ke-19 (baik yang bersifat legenda maupun sejarah) berisi banyak cerita yang amat menarik, yang tentu telah dikumpulkan oleh Padmasoesastra dari catatan-catatan keluarga milik orang-orang terdahulu. Karena ia seorang pegawai, lagi pula anak emas Patih Surakarta, dia banyak menaruh perhatian lagi pula anak emas Patih Surakarta, dia banyak menaruh perhatian pada keturunan Matahun. Keturunan itu dilukiskan dalam bukunya sebagai Carangan Matahunan (Cabang Matahun, hlm. 250-261). Moyang keturunan para patih ternyata seseorang yang bernama Bagus Sangka, cucu seorang Aria dari Dadap Tulis, yang menjabat tumenggung carik di Keraton Kartasura. Paku Buwana
|