Mangai binu: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 2:
 
== Dekskripsi ==
''Mangai'' (atau ''mangani'' dalam dialek selatan) ''binu/högö'' dalam [[bahasa Nias]] berarti 'mengambil kepala'. Istilah kiasan seperti ''möi ba danö'' 'pergi ke ladang''', mofanö ba danö'' 'berangkat ke ladang' digunakan untuk memperhalus. Istilah m''öi emali'' 'pergi melakukan ''emali''<nowiki/>' juga digunakan.<ref name=":1">{{Cite web|url=https://tirto.id/cerita-memburu-kepala-di-nias-cycj|title=Cerita Memburu Kepala di Nias|last=Raditya|first=Iswara N.|website=tirto.id|language=id|access-date=2020-02-17}}</ref>
 
=== Persiapan ===
Baris 14:
Para ''emali'' dilarang berburu kepala sesama ''[[Daftar marga Nias|mado]]'' mereka.{{Sfn|Beatty|1992|p=31|ps="(...) in the days of head-hunting, in the ban on taking the head of fellow-clansman."}} Mereka hanya boleh memburu kepala ''niha bö'ö'', orang yang tidak memiliki pertalian saudara dengan mereka dan warga kampungnya.{{Sfn|Beatty|1992|p=75|ps="A niha bö'ö is someone with whom there are no ascribed relations, no rights or obligations, and no prescribed form of behaviour. Niha bö'ö are quintesentially strangers, outsiders who are therefore potential enemies from whom (formerly) heads may be taken, and also potential spouses."}}
 
== SejarahLatar Belakang ==
 
=== Latar BelakangSejarah ===
Menurut ''[[hoho]],'' tradisi beburu kepala di Nias pertama kali dilakukan oleh seorang pemuda dari [[Börönadu]] sekitar seratus lima puluh tahun lalu.{{Sfn|Afif|2018|p=176|ps="Menurut Sonjaya (2008:63),Menhir Awuwukha hidup sekitar lima generasi (setiap generasi sama dengan 25 tahun) lalu. Sementara menurut Thomsen (dalam Zebua, 2008), Awuwukha hidup jauh lebih lama, yaitu sekitarhingga tujuhsekarang generasiberdiri yangdi lalu."}}
 
Dituturkan bahwa pemuda ini tinggal di Börönadu bersama ibu dan tujuh orang saudaranya. Pada suatu hari, seorang pemuda dari kampung Susua mengajak warga Börönadu untuk menghadiri pelaksanaan pesta ''owasa'' di kampung mereka. Saat melewati rumah Awuwukha, ibu Awuwukha meneriaki pemuda tersebut dengan menghina kemaluannya. Pembawa pesan tersebut marah dan memukulkan kemaluannya ke tiang rumah. Ia lalu kembali ke Börönadu dengan keadaan masih marah. Beberapa hari kemudian, dia datang lagi ke Börönadu bersama serombongan orang untuk menuntaskan kemarahannya dengan membakar rumah sang pemuda dan saudaranya. Mereka juga membakar lumbung padi milik Laimba, tokoh adat masyarakat Börönadu. Si pemuda hanya bisa menyaksikan kejadian tersebut tanpa berbuat apa-apa.<ref name=":1">{{Cite web|url=https://tirto.id/cerita-memburu-kepala-di-nias-cycj|title=Cerita Memburu Kepala di Nias|last=Raditya|first=Iswara N.|website=tirto.id|language=id|access-date=2020-02-17}}</ref>
 
Di depan ibunya,pemuda tersebut bersumpah akan menuntut balas dengan memenggal kepala orang-orang yang terlibat dalam pembakaran tersebut. Meski tidak disetujui ibunya dan Laimba, dia nekat pergi untuk menuntut balas ke Susua. Beberapa hari kemudian, dia pulang membawa belasan kepala manusia di dalam karung yang kemudian ditunjukkannya pada Laimba. Ternyata Laimba tidak berkenan. Ia sebenarnya menghendaki musuhnya hidup-hidup karena takut jika kejadian tersebut akan memicu pertumpahan darah lanjutan. Penduduk Susua merencanakan pembunuhan terhadap dirinya, namun gagal. Kehebatan pemuda tersebut kemudian tersiar sampai ke seluruh penjuru Nias. Kehebatannya itu kemudian dikukuhkan melalui upacara ''owasa'', upacara tertinggi di masyarakat Nias dan dia diberi gelar ''Awuwukha'' yang berarti 'jurang yang terjal'.{{Sfn|Sonjaya|2008|p=65|ps="Awuwukha adalah gelar yang diperoleh saat penyelenggaraan pesta tersebut. Nama itu berarti "jurang yang terjal" (...)"}} Jika seseorang telah menunaikan ''owasa'', setiap perkataannya dengan sendirinya menjadi hukum. Sejak saat itu, setiap perkataan Awuwukha harus diikuti, bahkan sampai menjelang kematiannya.<ref name=":1" />
 
Sebelum meninggal, Awuwukha berpesan bahwa ia ingin ditemani oleh lima orang yang akan melayaninya di alam kubur. Masing-masing bertugas menyiapkan minum, menyiapkan makanan, membuat [[Tradisi bersirih|sirih pinang]], memijat, dan menjagai kuburnya. Anak-anaknya segera mencarikan lima kepala untuk penguburan Awuwukha dan tradisi ''mangai binu'' dimulai.{{Sfn|Afif|2018|p=179|ps="Hal ini berarti anak-anak Awuwukha harus melakukan mangai binu, karena tak kuasa menolak wasiat leluhur."}}<ref name=":1" /> Menhir Awuwukha hingga sekarang berdiri di [[Sifalago Gomo, Boronadu, Nias Selatan|Börönadu]]{{Sfn|Sonjaya|2008|p=63|ps="Di antara batu-batu itu, yang paling menarik perhatian saya adalah sebuah behu berukuran sangat besar. (...) Oleh karena ukurannya yang besar itu, saya sangat tertarik untuk menelusuri asal-usulnya. (...), bernama Awuwukha.}}{{Sfn|Horor|2011|p=80|ps="Menhir Awuwukha merupakan situs yang terbuat dari batu."}}
 
Orang Nias melakukan justifikasi terhadap tradisi ini dengan beranggapan bahwa manusia adalah babi peliharaan Tuhan.{{Sfn|Beatty|1992|p=247|ps="-as well as obsolete practices and ideas such as head-hunting and the notion of men being the pigs of God-"}} Hal ini juga terlihat seperti pada tradisi [[ngayau]] [[Suku Dayak]].{{Sfn|Sonjaya|2008|p=41|ps="Konon, yang tampak di depan orang Dayak, suku buruannya adalah binatang yang sudah selayaknya dipenggal."}}
Baris 43 ⟶ 37:
''Binu'' juga digunakan untuk mendirikan batu ''[[Fahombo|hombo]].'' Dipercaya bahwa fondasi dengan ''binu'' dan tubuh seorang anak kecil, tumpukan batu akan berdiri kokoh. ''Binu'' juga digunakan dalam pembangunan [[Omo Sebua|''omo sebua'']].<ref name=":0" />
 
== Pada Masa KiniPeningalan ==
Kedatangan para [[misionaris]] Nias memberi [[Fangesa Sebua|kesadaran kepada masyarakat]] untuk tidak lagi melanjutkan tradisi ini. Namun, pemenggalan kepala dengan motif perebutan [[harga diri]].{{Sfn|Afif|2018|p=183c|ps="(...), pemenggalan kepala saat ini lebih banyak disebabkan oleh pertikaian dalam mempertahankan harga diri."}} Sonjaya dalam bukunya ''Melacak batu menguak mitos''{{Citation-needed}} menceritakan bahwa dia masih mendengar berita pembunuhan dengan kepala korban dibelah di Gomo hingga tahun 2008.<ref name=":0" />
 
Ketakutan akan ''emali'' juga masih dirasakan beberapa penduduk. Beberapa keluarga melarang anak-anak kecil bermain di luar rumah pada malam hari dan beberapa pemuda Nias selalu membawa senjata tajam ketika keluar rumah di malam hari sebagai bentuk kewaspadaan.{{Sfn|Afif|2018|p=183b|ps="Hal ini juga bisa dilihat dari cara para lelaki dewasa di Nias ketika akan berpergian di malam hari. Mereka selalu membawa senjata tajam untuk jaga diri."}}
 
Beberapa tengkorak dari Nias dikumpulkan oleh para penjelajah [[Eropa]] seperti [[Elio Modigliani]] dan menjadi koleksi museum.{{Sfn|Puccioni|2013|p=29|ps=}}
 
=== Legenda ===
Beberapa [[Hoho|kisah]] tentang perburuan kepala menyebar di masyarakat Nias.
 
Di Nias selatan, terdapat kisah tentang Awuwkha yang [[menhir]] kuburnya berdiri di [[Sifalago Gomo, Boronadu, Nias Selatan|Sifalagö Gomo]]{{Sfn|Sonjaya|2008|p=63|ps="Di antara batu-batu itu, yang paling menarik perhatian saya adalah sebuah behu berukuran sangat besar. (...) Oleh karena ukurannya yang besar itu, saya sangat tertarik untuk menelusuri asal-usulnya. (...), bernama Awuwukha.}}{{Sfn|Horor|2011|p=80|ps="Menhir Awuwukha merupakan situs yang terbuat dari batu."}} Dituturkan bahwa pemudaseorang inipemuda tinggal di Börönadu bersama ibu dan tujuh orang saudaranya di [[Börönadu]] sekitar seratus lima puluh tahun lalu.{{Sfn|Afif|2018|p=176|ps="Menurut Sonjaya (2008:63), Awuwukha hidup sekitar lima generasi (setiap generasi sama dengan 25 tahun) lalu. Sementara menurut Thomsen (dalam Zebua, 2008), Awuwukha hidup jauh lebih lama, yaitu sekitar tujuh generasi yang lalu."}} Pada suatu hari, seorang pemuda dari kampung Susua mengajak warga Börönadu untuk menghadiri pelaksanaan pesta ''owasa'' di kampung mereka. Saat melewati rumah Awuwukha, ibu Awuwukha meneriaki pemuda tersebut dengan menghina kemaluannya. Pembawa pesan tersebut marah dan memukulkan kemaluannya ke tiang rumah. Ia lalu kembali ke Börönadu dengan keadaan masih marah. Beberapa hari kemudian, dia datang lagi ke Börönadu bersama serombongan orang untuk menuntaskan kemarahannya dengan membakar rumah sang pemuda dan saudaranya. Mereka juga membakar lumbung padi milik Laimba, tokoh adat masyarakat Börönadu. Si pemuda hanya bisa menyaksikan kejadian tersebut tanpa berbuat apa-apa.<ref name=":1">{{Cite web|url=https://tirto.id/cerita-memburu-kepala-di-nias-cycj|title=Cerita Memburu Kepala di Nias|last=Raditya|first=Iswara N.|website=tirto.id|language=id|access-date=2020-02-17}}</ref>
 
Di depan ibunya, pemuda tersebut bersumpah akan menuntut balas dengan memenggal kepala orang-orang yang terlibat dalam pembakaran tersebut. Meski tidak disetujui ibunya dan Laimba, dia nekat pergi untuk menuntut balas ke Susua. Beberapa hari kemudian, dia pulang membawa belasan kepala manusia di dalam karung yang kemudian ditunjukkannya pada Laimba. Ternyata Laimba tidak berkenan. Ia sebenarnya menghendaki musuhnya hidup-hidup karena takut jika kejadian tersebut akan memicu pertumpahan darah lanjutan. Penduduk Susua merencanakan pembunuhan terhadap dirinya, namun gagal. Kehebatan pemuda tersebut kemudian tersiar sampai ke seluruh penjuru Nias. Kehebatannya itu kemudian dikukuhkan melalui upacara ''owasa'', upacara tertinggi di masyarakat Nias dan dia diberi gelar ''Awuwukha'' yang berarti 'jurang yang terjal'.{{Sfn|Sonjaya|2008|p=65|ps="Awuwukha adalah gelar yang diperoleh saat penyelenggaraan pesta tersebut. Nama itu berarti "jurang yang terjal" (...)"}} Jika seseorang telah menunaikan ''owasa'', setiap perkataannya dengan sendirinya menjadi hukum. Sejak saat itu, setiap perkataan Awuwukha harus diikuti, bahkan sampai menjelang kematiannya.<ref name=":1" />
 
Sebelum meninggal, Awuwukha berpesan bahwa ia ingin ditemani oleh lima orang yang akan melayaninya di alam kubur. Masing-masing bertugas menyiapkan minum, menyiapkan makanan, membuat [[Tradisi bersirih|sirih pinang]], memijat, dan menjagai kuburnya. Anak-anaknya segera mencarikan lima kepala untuk penguburan Awuwukha dan tradisi ''mangai binu'' dimulai.{{Sfn|Afif|2018|p=179|ps="Hal ini berarti anak-anak Awuwukha harus melakukan mangai binu, karena tak kuasa menolak wasiat leluhur."}}<ref name=":1" /> Menhir Awuwukha hingga sekarang berdiri di [[Sifalago Gomo, Boronadu, Nias Selatan|Börönadu]]{{Sfn|Sonjaya|2008|p=63|ps="Di antara batu-batu itu, yang paling menarik perhatian saya adalah sebuah behu berukuran sangat besar. (...) Oleh karena ukurannya yang besar itu, saya sangat tertarik untuk menelusuri asal-usulnya. (...), bernama Awuwukha.}}{{Sfn|Horor|2011|p=80|ps="Menhir Awuwukha merupakan situs yang terbuat dari batu."}}
 
Sementara itu, di Nias bagian utara terdapat kisah tentang bersaudara Gondiu dan Latitia. Gondiu lahir di Boto Niha Yöu, sementara Latitia di Mazingö. Ketika mereka beranjak dewasa, mereka berselisih dan berencana untuk saling memburu kepala. Pada suatu hari, mereka berjanji untuk berduel di Gunung Botombawo di tengah pulau. Mereka saling menyerang dari jarak jauh namun gagal. Ketika mereka berdua mendekat untuk saling menyerang lagi, entah bagaimana, tubuh mereka saling menempel sehingga tidak dapat bergerak. Mereka memutuskan untuk berdamai dan beristirahat.{{Sfn|Modigliani|1980|p=212-213|ps=}}
 
== Adu Mbinu ==