Albertus Soegijapranata: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 117:
Soegijapranata tidak dapat menghentikan disiksanya [[tahanan perang]], termasuk para klerus,{{efn|Antara tahun 1942 dan 1945 sebanyak 74 pastor, 47 bruder, dan 160 biarawati dibunuh Jepang. Misalkan, Uskup Maluku dan Papua Barat Giovanni Aerts, bersama dengan sebelas bruder dan pendeta, [[Eksekusi kilat|dieksekusi kilat]] {{harv|Gonggong|2012|p=50}}. Beberapa klerus, termasuk Willekens, memanfaatkan hubungan diplomatik antara Vatikan dan Jepang untuk menyatakan diri sebagai duta, sehingga mereka dilindungi dari kekejaman Jepang {{harv|Subanar|2005|p=57}}.}}{{sfn|Subanar|2003|p=136}} tetapi diri Soegijapranata diperlakukan dengan baik oleh Jepang. Ia kerap diundang untuk upacara Jepang, tetapi tidak pernah hadir; sebagai ganti, ia mengirim karangan bunga.{{sfn|Gonggong|2012|p=48}} ia menggunakan kedudukannya itu untuk memastikan bahwa tahanan perang diperlakukan dengan baik. Ia berhasil membujuk penguasa Jepang untuk membiarkan para biarawati bekerja di rumah sakit dan tidak diwajibkan untuk mengikuti paramiliter. Ia dan warga Katolik lain juga mengumpulkan makanan untuk klerus yang ditahan, dan Soegijapranata terus menjaga hubungannya dengan para tahanan; ia memberikan informasi dan berita kepada mereka.{{sfn|Subanar|2005|pp=64–66}}
 
Karena jumlah klerus terbatas sekali, Soegijapranata pergi dari gereja ke gereja untuk berkhotbah secara aktif; hal ini juga menangkal desas-desus bahwa ia telah ditangkap Jepang.{{sfn|Subanar|2003|p=140}} iaIa pergi jalandengan berjalan kaki, naik sepeda, atau naik kereta kuda, sebab mobilnya telah disita.{{sfn|Gonggong|2012|p=52}} Ia juga dapat mengirimkan pastorimam ke [[prefektur apostolik]] lainnya, antara lain dike [[Bandung]], [[Surabaya]], dan [[Malang]] untuk menghadapi kurangnya jumlah klerus di sana.{{sfn|Subanar|2003|p=142}} Soegijapranata juga menentukan agar seminari terus menghasilkan pastor baru, dengan menentukan Pr. Hardjawasita, yang baru ditahbiskan pada tahun 1942, sebagai rektor.{{sfn|Subanar|2003|pp=143–144}} Ia juga memberi pastor lokal kekuasaan untuk memimpin acara pernikahan.{{sfn|Aritonang|Steenbrink|2008|p=705}} Supaya masyarakat Katolik tetap tenang, Soegijapranata mengunjungi rumah mereka dan menyatakan bahwa semuanya aman-aman saja.{{sfn|Subanar|2005|p=63}}
 
=== Revolusi Nasional ===