Mangai binu: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 13:
 
=== Pelaksanaan ===
Para ''emali'' menjelajahi kampung-kampung yang jauh untuk mencari mangsa. Periode saat mereka berburu disebut ''bawa nemali.'' Jika ''mangai binu'' didasarkan balas dendam, maka ''emali'' melakukan tebasan ke tubuh lawan menggunakan ''tolögu'', mulai dari pangkal leher sebelah kiri lalu secara diagonal mengarah ke bagian bawah ketiak sebelah kanan. Tebasan ini menyisakan kepala dan bagian tangan kanan yang masih menyatu. Mereka akan pulang dengan menenteng potongan kepala di bahu sementara tangan kanan korban didekapkan ke dada.<ref name=":2">{{Cite web|url=https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailCatat=6821|title=Emali|last=|first=|date=|website=Warisan Budaya Takbenda Indonesia|access-date=17 Februari 2020}}</ref> Terkadang, 'pemesan' ''binu'' menyuruh ''emali'' untuk menangkap lawannya hidup-hidup untuk kemudian dipenggal di atas batu ''awina''. Para emali biasa diberi upah sebesar enam ekor babi berukuran lima ''alisi.{{efn|name=alisi}}'' atau bisa diganti dengan uang sebesar seratus hingga dua ratus [[Gulden Hindia Belanda|Gulden]]''.''{{Sfn|Sonjaya|2008|p=67b|ps="Bahkan ada binu yang ditangkap hidup-hidup dan baru dipenggal di atas awina dengan disaksikan orang banyak. (...) Harganya sangat mahal, yakni 6 x 5 alisi babi."}}{{Sfn|Kayser|1976|p=5152|ps="(...) betrug gewöhnlich um hundert bis zweihundert holländische Gulden für jeden erbeuteten Kopf."}} Selama masa damai, para ''emali'' akan bersembunyi di tikungan di jalan dan menyergap orang yang lewat.<ref name=":4" />
 
Jika ''binu'' didapatkan dari hasil perang, maka kepala kelompok musuh akan dipasang di atas sebuah batu tinggi sementara kepala para prajuritnya akan dikubur.{{Sfn|Wiradnyana|2010|p=49|ps="(…), biasanya kepala yang digantung adalah kepala dari pemimpin musuh dan yang dikubur adalah kepala dari kelompok masyarakat biasa."}} Dalam kasus lain, ''binu'' musuh yang tewas saat perang atau menjadi tawanan digantung di ''osale''.{{Sfn|Modigliani|1890|p=210|ps="Quando un nemico è fatto prigioniero o ucciso in guerra; la sua testa viene allora appesa sotto l'osalè."}}
Baris 38:
Orang Nias percaya bahwa ada [[kehidupan setelah kematian]], sehingga kematian seseorang perlu disiapkan sebaik mungkin. Agar dapat hidup dengan nyaman, maka orang meninggal membutuhkan pelayan. ''Binu'' yang disertakan dalam penguburan seseorang inilah yang dipercaya akan menjadi pelayan.{{Sfn|Modigliani|1890|p=214|ps=(...), che da un vivo in favore di se stesso e sempre dev'essere inteso come modo di procurare dei servi nella vita futura al morto oa sè stesso, (...)}} Dipercaya, tengkorak memiliki jiwa dan orang yang memiliki tengkorak seseorang adalah tuan atas jiwa tengkork tersebut.{{Sfn|Modigliani|1890|p=|ps="}}
 
Orang Nias melakukan justifikasi terhadap tradisi ini dengan beranggapan bahwa manusia adalah babi peliharaan Tuhan.{{Sfn|Baaren|1955|p=6|ps="On the Island Nias the people call themselves the pigs of Lature. Every time the god kills a pig, a man dies."}}{{Sfn|Beatty|1992|p=247|ps="-as well as obsolete practices and ideas such as head-hunting and the notion of men being the pigs of God-"}}{{Sfn|Frazer||p=}}<!-- diisi --> Hal yang sama terlihat seperti pada tradisi [[ngayau]] [[Suku Dayak]].{{Sfn|Sonjaya|2008|p=41|ps="Konon, yang tampak di depan orang Dayak, suku buruannya adalah binatang yang sudah selayaknya dipenggal."}}
 
Kebiasaan orang Nias membangun kampung di perbukitan yang susah dijangkau bisa jadi sebagai upaya untuk melindungi dan menghindari diri dari buruanjangkauan para ''emali''.{{Sfn|Sonjaya|2008|p=53|ps="Tradisi mangani binu (memburu kepala) makin mengukuhkan sikap ini sehingga masing-masing kampung terisolir oleh emali (pemburu kepala).}}
 
== Sejarah ==
Baris 54:
Tradisi ''mangai binu'' diadakan untuk beberapa alasan, yaitu memperoleh ''binu'' untuk melayani seseorang di alam kubur, fondasi bangunan, dan penanda status sosial.
 
Kepala manusia biasanya dimintakan oleh seorang ayah kepada putra sulungnya untuk diletakkan di sebelah mayatnya sebagai pelayan di alam baka. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa putranya tersebut akan menerima roh kepemimpinan setelah ayahnya meninggal. Jika putra sulung tidak bisa, maka sang ayah akan memilih putra lain untuk menjalankan tugas tersebut.{{Sfn|Frazer|1922|p=294|ps="But it from any bodily or mental defect the eldest son is disqualified for ruling, the father determines in his lifetime which of his son shall succeed him.}} Dalam [[Upacara pemakaman|upacara kematian]] tradisional, mayat orang tua tidak dikubur dan tubuhnya rutin dibersihkan. Ketika daging yang melekat pada mayat telah habis, tengkoraknya akan ditanam di bawah sebuah [[megalit]] yang didirikan di depan rumahnya. Mukanya dilediletakkan menghadap rumah dan dikuburkan bersama ''binu''.{{Sfn|Beatty|1992|p=43|ps="(..) were in the care of the eldest son. It was usually he who was instructed by the dying father to obtain human heads for the funeral ceremony."}}{{Sfn|Beatty|1992|p=230|ps="(...), a head might be taken for a funeral ovasa at which a stone was erected by the deceased man's successor."}}{{Sfn|Wiradnyana|2010|p=156|ps="Setelah daging yang melekat pada mayat itu habis, (…), lalu ditanam di bawah ''behu'' (batu berdiri). (…). Muka tengkorak itu menghadap ke depan rumah dan di antara tengkorak itu diletakkan binu untuk keperluan sebagai bantal, pembantu, penjaga."}} Kepala kampung meninggal {{Sfn|Modigliani|1890|p=282|ps="}}<!-- diisi -->
 
Jumlah ''binu'' yang diperoleh oleh seseorang akan menentukan [[status sosial]] seorang lelaki. Terlebih jika dia ingin meminang seorang wanita, dia harus menunjukkan kepala buruannya kepada keluarga calon istri. Keberhasilannya mendapatkan ''binu'' akan dikaitkan dengan keberhasilan orang tua dan leluhurnya dalam membesarkan dia. Hal ini menjadikan tradisi ini ajang peningkatan status sosial diri sendiri dan keluarga.<ref name=":0">{{Cite web|url=https://www.liputan6.com/lifestyle/read/2508078/kisah-emali-pemburu-kepala-manusia-untuk-teman-di-alam-kubur|title=Kisah Emali, Pemburu Kepala Manusia untuk Teman di Alam Kubur|last=Liputan6.com|date=2016-05-27|website=liputan6.com|language=id|access-date=2020-02-17}}</ref>
Baris 62:
''Binu'' juga dibutuhkan ketika seseorang mengadakan ''owasa,'' sumpah, dan pendirian batu tempat pengadilan, ''harefa''.{{Sfn|Modigliani|1890|p=210b|ps="Quando un Capo assume un nome più glorioso, che lo debba rendere maggiormente conosciuto.(...)Per dare maggiore forza ad un giuramento inviolabile, nel quale caso si decapita uno schiavo e la sua testa viene poi sotterrata insieme al corpo.}}{{Sfn|Modigliani|1890|p=477|ps="}} Dalam ''owasa'', didirikan megalit sejumlah satu hingga enam sekaligus. Pendirian ini mengharuskan pembuatan perhiasan emas dan dua ''binu'', satu pria dan satu wanita, dikuburkan di kaki batu terbesar untuk menghormati pelaksana pesta dan menurut tradisi, untuk "mencegah megalit jatuh". Di Nias tengah, jumlah kepala yang dibutuhkan untuk pendirian megalit bisa lebih banyak.<ref name=":4" />
 
Tujuan dari pengayauan adalah untuk mengambil jiwa orang mati, atau kekuatan hidup, dan untuk menawarkannya sebagai hadiah kepada roh-roh. Dengan cara ini, kepala suku memperoleh semacam jaminan untuk kehidupan setelah kematiannya. Jiwa korban juga berfungsi sebagai pengganti jiwa orang sakit dan digunakan untuk menyembuhkan yang sakit dan menenangkan roh pendendam, yang diduga menyebabkan penyakit.<ref>RAPPARD, Th. C. “''Verslag eener reis per gouvernements stoomschip Condor naar de Zuid- Oost en Zuidkust van Nias den 20 sten tot en met 28 October 1905''.” dalam ''Tijdschrift van het Kon. Ned. Aardrijkskundig Genootschap tweede serie, deel 23, Leiden'' (1906): 713–24.</ref>{{Sfn|Schröder|1917|p=|ps="}}{{Sfn|Kruijt|1906|p=294-295}}{{Sfn||1913|p=110}}<!-- diisi --><!-- diisi -->
 
Kepemilikan kepala terkait dengan kekuasaan dan, secara tradisional, pertunjukan kekuasaan berhubungan langsung dengan pemberian pesta dan pengambilan kepala. Bahkan, tidak ada penggunaan lain untuk kepala, di luar hari-hari raya ini, telah dicatat. Meskipun kepala yang dipenggal adalah komoditas yang mahal — kepemilikan dan penggunaannya dalam pesta-pesta jauh di luar jangkauan orang kebanyakan — di sana mengembangkan pasar yang asli dan menguntungkan bagi mereka. Pengambilan kepala adalah praktik yang secara langsung mengarah pada unjuk kekuatan karena, seperti memiliki budak, kepemilikan kepala berarti bahwa seseorang memiliki sarana finansial untuk mendapatkannya.{{Sfn|Sundermann|1905|p=345–54, 408–31, 442–60|ps="}}<!-- diisi -->
 
''Binu'' dibutuhkan pada kesempatan berikut.<ref name=":4" />
Baris 83:
 
=== Legenda ===
Beberapa [[Hoho|kisah]] tentang perburuan kepala menyebar di masyarakat Nias.<ref name=":1" />
 
Di selatan Nias, terdapat kisah tentang Awuwkha yang [[menhir]] kuburnya berdiri di [[Sifalago Gomo, Boronadu, Nias Selatan|Sifalagö Gomo]].{{Sfn|Sonjaya|2008|p=63|ps="Di antara batu-batu itu, yang paling menarik perhatian saya adalah sebuah behu berukuran sangat besar. (...) Oleh karena ukurannya yang besar itu, saya sangat tertarik untuk menelusuri asal-usulnya. (...), bernama Awuwukha.}}{{Sfn|Horor|2011|p=80|ps="Menhir Awuwukha merupakan situs yang terbuat dari batu."}} Dituturkan bahwa seorang pemuda tinggal bersama ibu dan tujuh orang saudaranya di [[Börönadu]] sekitar seratus lima puluh tahun lalu.{{Sfn|Afif|2018|p=176|ps="Menurut Sonjaya (2008:63), Awuwukha hidup sekitar lima generasi (setiap generasi sama dengan 25 tahun) lalu. Sementara menurut Thomsen (dalam Zebua, 2008), Awuwukha hidup jauh lebih lama, yaitu sekitar tujuh generasi yang lalu."}} Pada suatu hari, seorang pemuda dari kampung Susua mengajak warga Börönadu untuk menghadiri pelaksanaan pesta ''owasa'' di kampung mereka. Saat melewati rumah Awuwukha, ibu Awuwukha meneriaki pemuda tersebut dengan menghina kemaluannya. Pembawa pesan tersebut marah lalu kembali ke Börönadu. Beberapa hari kemudian, dia datang lagi ke Börönadu bersama beberapa pemuda kampungnya untuk membalas kemarahannya dengan membakar rumah sang pemuda dan saudaranya. Mereka juga membakar lumbung padi milik seorang tokoh adat bernama Laimba. Si pemuda hanya bisa menyaksikan kejadian tersebut tanpa berbuat apa-apa.<ref name=":1" /> Di depan ibunya, pemuda tersebut bersumpah akan memenggal kepala orang-orang yang terlibat dalam pembakaran tersebut. Meski tidak disetujui ibunya dan Laimba, dia nekat pergi untuk memenuhi janjinya menuju Susua. Beberapa hari kemudian, si pemuda pulang dengan membawa karung berisi belasan kepala manusia. Hal ini membuat Laimba takut akan terjadi pertumpahan darah selanjutnya. Para penduduk Susua menyusun rencana untuk membunuh sang pemuda, namun selalu gagal karena kekuatannya dalam bertarung. Kehebatan si pemuda pun tersiar di seluruh Nias dan dia dikukuhkan sebagai tokoh melalui ''owasa'', upacara tertinggi di masyarakat Nias. Dia diberi gelar ''Awuwukha'' yang berarti 'jurang yang terjal'.{{Sfn|Sonjaya|2008|p=65|ps="Awuwukha adalah gelar yang diperoleh saat penyelenggaraan pesta tersebut. Nama itu berarti "jurang yang terjal" (...)"}} Perkataan seseorang yang telah menunaikan ''owasa'' secara otomatis akan menjadi hukum.<ref name=":1" /> Menjelang kematiannya, Awuwukha berpesan bahwa ia ingin dikuburkan bersama lima orang yang akan melayaninya di alam kubur. Masing-masing bertugas menyiapkan minum, menyiapkan makanan, membuat [[Tradisi bersirih|sirih pinang]], memijat, dan menjagai kuburnya. Anak-anaknya segera mencarikan lima kepala untuk penguburan Awuwukha.{{Sfn|Afif|2018|p=179|ps="Hal ini berarti anak-anak Awuwukha harus melakukan mangai binu, karena tak kuasa menolak wasiat leluhur."}}<ref name=":1" />
Baris 99:
|notes={{efn
| name =alisi
| ''Alisi'' adalah satuan tradisional ukuran babi. 1 ''alisi'' sama dengan mengukurdiameter lingkarlingkaran dadanya.yang Alatterbentuk ukurnyadari adalahpertemuan kedua ujung jari jempol dan tangankelingking orang dewasa. Lebih lengkap baca di : {{harvnb|Beatty|1992|p=301}}
}}
{{efn
Baris 107:
{{efn
| name =mutasi
| Mutasi inisial terjadi pada kata benda yang berawalan konsonan atau vokal tertentu. Lebih lengkapnyalengkap dapat dibacabaca di : {{harvnb|Brown|2005|p=567-569}}
}}}}
 
Baris 153:
 
*{{Cite book|url=https://books.google.co.id/books/about/Aspekte_des_sozio_kulturellen_Wandels_au.html?id=KVgdAAAAMAAJ&redir_esc=y|title=Aspekte des sozio-kulturellen Wandels auf Nias: Schul- u. Gesundheitswesen d. Rhein. Mission 1865-1940|last=Kayser|first=Helga|date=1976|publisher=H. Kayser [Selbstverl.]|isbn=978-3-87673-049-3|location=|pages=|language=de|ref={{sfnref|Kayser|1976}}|url-status=live}}
 
*{{Cite book|url=https://archive.org/details/hetanimismeinden00kruiuoft|title=Het Animisme In den Indischen Archipel|last=Kruijt|first=Alb. C. (Albertus Christiaan), 1869-1949.|date=1906|publisher=M. Nijhoff|isbn=|location=|pages=|language=nl|oclc=576376879|ref={{sfnref|Kruijt|1906}}|url-status=live}}
 
*{{Cite book|url=http://worldcat.org/oclc/600943159|title=Anthropologie religieuse : l'homme et sa destinée à la lumière de l'histoire des religions|last=Baaren|first=Th. P. Van|date=1955|publisher=E.J. Brill|isbn=|location=|pages=|language=en,fr|chapter=Primitive Anthropology|oclc=600943159|ref={{sfnref|Baaren|1955}}|url-status=live}}
 
*{{Cite book|url=http://archive.org/details/b24874383|title=Die insel Nias bei Sumatra : Untersuchungen|last=Zwaan|first=Kleiweg de|last2=Pieter|first2=Johannes|date=1913|publisher=Haag : M. Nijhoff|others=Wellcome Library|isbn=|location=|pages=|language=de|ref={{sfnref|Zwaan|Pieter}}|url-status=live}}
 
[[Kategori:Nias]]