Mangai binu: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
{{Sedang ditulis}}
 
[[Berkas:Divinatory_Skulls;_1Dyke_Bay_and_2Nias_Island_Wellcome_M0012302.jpg|al=|jmpl|Tengkorak dari Nias (kanan) yang dipasangidiberi alathiasan agarjanggut mudahdari dibawaserabut tumbuhan]]
 
'''Mangai binu''' atau '''mangani binu''' adalah tradisi [[Pemburuan kepala|berburu kepala]] oleh ''emali'' [[Suku Nias|Nias]] di [[Pulau Nias]], [[Sumatra Utara|Sumatera Utara]]. Tradisi ini awalnya merupakan bentuk penghormatan terhadap leluhur namun di kemudian hari berkembang sebagai penanda [[status sosial]].{{Sfn|Afif|2018|p=175|ps="(...), di Nias juga terdapat tradisi penghormatan terhadap leluhur yang disebut mangani binu atau tradisi memburu kepala."}} Istilah lain seperti ''möi ba danö, mofanö ba danö, mangai hög''ö'', ''dan ''möi emali'' juga digunakan selain ''mangai binu''. Orang yang menjalankan tradisi ini disebut ''emali.'' Tradisi ini telah ditinggalkan oleh masyarakat Nias seiring dengan masuknya pengaruh [[Kekristenan]] ke daerah Nias.
Baris 28:
Suku Nias secara tradisional gemar berperang meskipun pertanian telah berkembang. Masyarakat lebih mementingkan budaya perang dan membuat perlengkapan senjata seperti tombak, pedang, [[Baluse|perisai]], [[Baru Öröba|baju besi]] daripada bertani dan membuat peralatan pertanian. Mereka melindungi banua dengan membangun rumah-rumah mereka di atas bukit dan menanam semak-semak beracun di sekeliling atau di parit. Gerbang banua biasanya ditutup pada malam hari dan pengawasan diadakan rutin setiap malam karena kekhawatiran akan serangan musuh. Lingkungan yang penuh bahaya ini meresap ke seluruh struktur sosial dan politik orang Nias.<ref name=":4">{{Cite journal|last=Viaro|first=Mario Alain|year=2001|title=Ceremonial Sabres of Nias Headhunters in Indonesia|url=https://archive-ouverte.unige.ch/unige:26443|journal=Arts et cultures|language=en|volume=3|issue=|page=150-171|pages=150|doi=|issn=1264-5265}}</ref> Salah satu alasan untuk berperang melawan banua lain adalah untuk mendapatkan budak dan menjarah harta mereka, terlebih perhiasan [[emas]]. Seseorang yang memiliki emas (''so'aya'') dianggap berstatus tinggi sampai-sampai mereka dianggap setara dengan dewa (''So'aya'').{{Sfn|Hämmerle|2008|p=|ps="Das niassische Wort so' aya, womit nun in den christlichen Kirchen Gott, der HERR bezeichnet wird, bedeutet im Grunde genommen nur dies: jener, der Goldschmuck hat ( aya: Schmuck)."}} Prajurit musuh yang kalah akan dipenggal kepalanya atau dijadikan budak. Para penjelajah yang datang ke Nias selalu menceritakan keadaan perang abadi di sana.<ref name=":4" /> Kebiasaan orang Nias membangun banua di perbukitan yang susah dijangkau bisa jadi sebagai upaya untuk melindungi dan menghindari diri dari jangkauan para ''emali''.{{Sfn|Sonjaya|2008|p=53|ps="Tradisi mangani binu (memburu kepala) makin mengukuhkan sikap ini sehingga masing-masing kampung terisolir oleh emali (pemburu kepala).}}
 
Dahulu, pendidikan berpusat pada perang dan kekerasan. Di selatan pulau, para pemuda berlatih sejak kecil untuk melompati [[Fahombo|batu ''hombo'']] setinggi dua meter atau membersihkan selokan yang diisi dengan bambu yang tajam.<ref name=":4" /> Seorang laki-laki baru dianggap dewasa dan boleh masuk ke dalam ''osali'' setelah dia menjadi ''iramatua''.{{Sfn|UCLA|1985|p=76|ps="In order to st in the bale a person must have the title fobinu, which means "owner of a head."}} ''Iramatua'' adalah gelar yang diberikan kepada seorang pemuda setelah dia berhasil memperoleh setidaknya satu kepala untuk digantung di ''osali.''{{Sfn|Skira|2000|p=44|ps="In such circumstances the skulls were hung under the house, before being put up in the men's assembly house (bale or osali)."}} Seorang pemuda yang kembali membawa kepala manusia akan dielu-elukan sebagai seorang pahlawan melalui sebuah pesta yang mengorbankan banyak babi. Pada kesempatan tersebut, kepala banua akan memberikan ''[[kalabubu]]'' kepada si pemuda sebagai tanda bahwa dia sudah menjadi seorang ''Iramatua''.{{Sfn|Marschall|2013|p=128|ps="Ihre Berichte von den Kopfjägern von Nias und den kakabubu als Zeichen eines erfolgreichen Kopfjägers, (...)"}}{{Sfn|Modigliani|1980|p=214|ps="Almeno una vittima devono essi avere sulla coscienza ed almeno un cranio devono aver appeso sotto la tettoia dell'osalè per arricchire la colezzion del villagio, prima di potersi chiamare guerrieri, Iramatúa, "}}{{Sfn|Modigliani|1980|p=215|ps="Una gran festa, nella quale soglionsi uccidere molti maiali, deve celebrare quel fausto avvenimento ed il Capo villagio nell'ammettere il giovane tra gli Iramatua, gli da in dono il Calabubu , collare d'onore di cui d'ora innanzi egli può fregiarsi al pari dei più anziani guerrieri"}} Para [[misionaris]] yang datang ke Nias nantinya mengakali kebiasaan uji kedewasaan tersebut dengan cara lain, seperti olahraga ''[[fahombo]]''.{{efn|name=fahombo}}<ref>{{Cite book|urlname=https"://books.google.co.id/books?id=r3zVAgAAQBAJ&printsec=copyright&hl=id#v=onepage&q&f=false|title=Archiv 61-62|last=Friends|first=Weltmuseum Wien|date=|publisher=LIT Verlag Münster|isbn=978-3-643-99837-8|location=|pages=|language=de|url-status=live|ps=1"Zwei emblematische Paneele in einem Haus in Süd Nias (Indonesien)}}</ref>
 
Orang Nias percaya bahwa ada [[kehidupan setelah kematian]], sehingga kematian seseorang perlu disiapkan sebaik mungkin. Agar dapat hidup dengan nyaman, maka orang meninggal membutuhkan pelayan. Dipercaya, ''binu'' memiliki jiwa dan orang yang memiliki sebuah ''binu'' seseorang adalah tuan atas jiwa orang tersebut.{{Sfn|Modigliani|1890|p=|ps="}} Tengkorak yang disertakan dalam penguburan dipercaya akan menjadi pelayan di alam baka.{{Sfn|Modigliani|1890|p=214|ps=(...), che da un vivo in favore di se stesso e sempre dev'essere inteso come modo di procurare dei servi nella vita futura al morto oa sè stesso, (...)}} Orang Nias melakukan justifikasi terhadap tradisi ini dengan beranggapan bahwa manusia adalah babi peliharaan Tuhan.{{Sfn|Baaren|1955|p=6|ps="On the Island Nias the people call themselves the pigs of Lature. Every time the god kills a pig, a man dies."}}{{Sfn|Beatty|1992|p=247|ps="-as well as obsolete practices and ideas such as head-hunting and the notion of men being the pigs of God-"}} Hal yang sama terlihat pada tradisi [[ngayau]] [[Suku Dayak]].{{Sfn|Sonjaya|2008|p=41|ps="Konon, yang tampak di depan orang Dayak, suku buruannya adalah binatang yang sudah selayaknya dipenggal."}} Tradisi perburuan kepala juga terlihat dari suku-suku [[Rumpun bahasa Austronesia|Austronesia]], kerabat suku Nias, lainnya.{{Sfn|UCLA|1985|p=36|ps="Among all Austronesians the head is the locus power in the human body; it was there for the most potent offering possible."}}