Mangai binu: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 27:
Suku Nias secara tradisional gemar berperang meskipun pertanian telah berkembang. Masyarakat lebih mementingkan budaya perang dan membuat perlengkapan senjata seperti tombak, pedang, [[Baluse|perisai]], [[Baru Öröba|baju besi]] daripada bertani dan membuat peralatan pertanian. Mereka melindungi banua dengan membangun rumah-rumah mereka di atas bukit dan menanam semak-semak beracun di sekeliling atau di parit. Gerbang banua biasanya ditutup pada malam hari dan rutin diadakan pengawasan karena kekhawatiran akan serangan musuh. Lingkungan yang penuh bahaya ini meresap ke seluruh struktur sosial dan politik orang Nias.<ref name=":4">{{Cite journal|last=Viaro|first=Mario Alain|year=2001|title=Ceremonial Sabres of Nias Headhunters in Indonesia|url=https://archive-ouverte.unige.ch/unige:26443|journal=Arts et cultures|language=en|volume=3|issue=|page=150-171|pages=150|doi=|issn=1264-5265}}</ref> Salah satu alasan untuk berperang melawan banua lain adalah untuk mendapatkan budak dan menjarah harta mereka, terlebih perhiasan [[emas]]. Seseorang yang memiliki emas (''so'aya'') dianggap berstatus tinggi sampai-sampai mereka dianggap setara dengan dewa (''So'aya'').{{Sfn|Hämmerle|2008|p=12|ps="Das niassische Wort so' aya, womit nun in den christlichen Kirchen Gott, der HERR bezeichnet wird, bedeutet im Grunde genommen nur dies: jener, der Goldschmuck hat ( aya: Schmuck)."}} Prajurit musuh yang kalah akan dipenggal kepalanya atau dijadikan budak. Para penjelajah yang datang ke Nias selalu menceritakan keadaan perang abadi di sana.<ref name=":4" /> Kebiasaan orang Nias membangun banua di perbukitan yang susah dijangkau bisa jadi sebagai upaya untuk melindungi dan menghindari diri dari jangkauan para ''emali''.{{Sfn|Sonjaya|2008|p=53|ps="Tradisi mangani binu (memburu kepala) makin mengukuhkan sikap ini sehingga masing-masing kampung terisolir oleh emali (pemburu kepala).}}
 
Dahulu, pendidikan berpusat pada perang dan kekerasan. Di selatan pulau, para pemuda berlatih sejak kecil untuk melompati [[Fahombo|batu ''hombo'']] setinggi dua meter atau membersihkan selokan yang diisi dengan bambu yang tajam.<ref name=":4" /> Seorang laki-laki baru dianggap dewasa dan boleh masuk ke dalam ''osali'' setelah dia menjadi ''iramatua''.{{Sfn|UCLA|1985|p=76|ps="In order to st in the bale a person must have the title fobinu, which means "owner of a head."}} ''Iramatua'' adalah gelar yang diberikan kepada seorang pemuda setelah dia berhasil memperoleh setidaknya satu kepala untuk digantung di ''osali.''{{Sfn|Skira|2000|p=44|ps="In such circumstances the skulls were hung under the house, before being put up in the men's assembly house (bale or osali)."}} Seorang pemuda yang kembali membawa kepala manusia akan dielu-elukan sebagai seorang pahlawan melalui sebuah pesta yang mengorbankan banyak babi. Pada kesempatan tersebut, kepala banua akan memberikan ''[[kalabubu]]'' kepada si pemuda sebagai tanda bahwa dia sudah menjadi seorang ''Iramatua''.{{Sfn|Marschall|2013|p=128|ps="Ihre Berichte von den Kopfjägern von Nias und den kakabubu als Zeichen eines erfolgreichen Kopfjägers, (...)"}}{{Sfn|Modigliani|19801890|p=214|ps="Almeno una vittima devono essi avere sulla coscienza ed almeno un cranio devono aver appeso sotto la tettoia dell'osalè per arricchire la colezzion del villagio, prima di potersi chiamare guerrieri, Iramatúa, "}}{{Sfn|Modigliani|19801890|p=215|ps="Una gran festa, nella quale soglionsi uccidere molti maiali, deve celebrare quel fausto avvenimento ed il Capo villagio nell'ammettere il giovane tra gli Iramatua, gli da in dono il Calabubu , collare d'onore di cui d'ora innanzi egli può fregiarsi al pari dei più anziani guerrieri"}} Para [[misionaris]] yang datang ke Nias nantinya mengakali kebiasaan uji kedewasaan tersebut dengan cara lain, seperti olahraga ''[[fahombo]]''.{{efn|name=fahombo}}<ref name=":1" />
 
Orang Nias percaya bahwa ada [[kehidupan setelah kematian]], sehingga kematian seseorang perlu disiapkan sebaik mungkin. Agar dapat hidup dengan nyaman, maka orang yang meninggal membutuhkan pelayan. Dipercaya, ''binu'' memiliki jiwa dan orang yang memilikinya adalah tuan atas jiwa pemilik kepala tersebut.{{Sfn|Modigliani|1890|p=214b|ps="I selvaggi che cacciano teste credono che " il padrone del cranio è nell'altra vita padrone della persona, o meglio dell' anima dell'ucciso „3). Il conservarne il cranio quindi non è che il segno esterno del possesso (...)"}} Tengkorak yang disertakan dalam penguburan dipercaya akan menjadi pelayan di alam baka.{{Sfn|Modigliani|1890|p=214214c|ps=(...), che da un vivo in favore di se stesso e sempre dev'essere inteso come modo di procurare dei servi nella vita futura al morto oa sè stesso, (...)}} Orang Nias melakukan justifikasi terhadap tradisi ini dengan beranggapan bahwa manusia adalah babi peliharaan Tuhan.{{Sfn|Baaren|1955|p=6|ps="On the Island Nias the people call themselves the pigs of Lature. Every time the god kills a pig, a man dies."}}{{Sfn|Beatty|1992|p=247|ps="-as well as obsolete practices and ideas such as head-hunting and the notion of men being the pigs of God-"}} Hal yang sama terlihat pada tradisi [[ngayau]] [[Suku Dayak]].{{Sfn|Sonjaya|2008|p=41|ps="Konon, yang tampak di depan orang Dayak, suku buruannya adalah binatang yang sudah selayaknya dipenggal."}} Tradisi perburuan kepala juga terlihat pada suku-suku [[Rumpun bahasa Austronesia|Austronesia]], kerabat suku Nias, lainnya.{{Sfn|UCLA|1985|p=36|ps="Among all Austronesians the head is the locus power in the human body; it was there for the most potent offering possible."}}
 
== Sejarah ==
Baris 46:
Tradisi ''mangai binu'' awalnya terlaksana atas beberapa alasan, yaitu alasan magis dan pendirian fondasi bangunan.
 
Kepala manusia biasanya dimintakan oleh seorang ayah kepada putra sulungnya untuk diletakkan di sebelah mayatnya sebagai pelayan di alam baka. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa putranya tersebut akan menerima roh kepemimpinan setelah ayahnya meninggal. Jika putra sulung tidak bisa, maka sang ayah akan memilih putra lain untuk menjalankan tugas tersebut.{{Sfn|Frazer|1922|p=294|ps="But it from any bodily or mental defect the eldest son is disqualified for ruling, the father determines in his lifetime which of his son shall succeed him.}} Dalam [[Upacara pemakaman|upacara kematian]] tradisional, orang tua tidak dikubur dan tubuhnya rutin dibersihkan. Ketika daging yang melekat pada tubuh mayat telah habis, tengkoraknya akan ditanam di bawah sebuah [[megalit]] yang didirikan di depan rumahnya. Mukanya diletakkan menghadap rumah dan dikuburkan bersama ''binu''.{{Sfn|Beatty|1992|p=43|ps="(..) were in the care of the eldest son. It was usually he who was instructed by the dying father to obtain human heads for the funeral ceremony."}}{{Sfn|Beatty|1992|p=230|ps="(...), a head might be taken for a funeral ovasa at which a stone was erected by the deceased man's successor."}}{{Sfn|Wiradnyana|2010|p=156|ps="Setelah daging yang melekat pada mayat itu habis, (…), lalu ditanam di bawah ''behu'' (batu berdiri). (…). Muka tengkorak itu menghadap ke depan rumah dan di antara tengkorak itu diletakkan binu untuk keperluan sebagai bantal, pembantu, penjaga."}} Jika pemimpin banua meninggal, tubuhnya akan dibiarkan sampai ahli warisnya telah mengumpulkan jumlah babi yang diperlukan untuk pemakaman.{{Sfn|Modigliani|1890|p=209|ps="E la che si depone il corpo di un Capo defunto finche l'erede non abbia riunito il numero di maiali necessari alla festa funebre (...)"}} Mereka beranggapan ''mangai binu'' adalah cara untuk mengambil jiwa atau kekuatan hidup korban dan untuk menawarkannya sebagai hadiah kepada roh-roh. Dengan cara ini, kepala banua memperoleh semacam jaminan untuk kehidupan setelah kematiannya. Jiwa korban juga berfungsi sebagai pengganti jiwa orang sakit sebagai hadiah yang menenangkan roh pendendam, yang diduga menyebabkan penyakit.{{Sfn|Schröder|1917|p=|ps="}}{{Sfn|Kruijt|1906|p=294-295}}{{Sfn|Zwaan|1913Pieter|p=110|ps="}} Dengan alasan magis pula, seorang budak dipenggal dan kemudian dikubur bersama tubuhnya ketika tuannya mengadakan sumpah sakral.{{Sfn|Modigliani|1890|p=210c|ps="Per dare maggiore forza ad un giuramento inviolabile, nel quale caso si decapita uno schiavo e la sua testa viene poi sotterrata insieme al corpo."}}<!-- diisi --><!-- diisi -->
 
''Binu'' disertakan dalam pembangunan fondasi banyak bangunan seperti rumah seorang pemimpin ([[Omo Sebua|''omo sebua'']]) dan ''bale/osali.'' Pendirian megalit seperti bangku batu di depan rumah pemimpin (''darodaro''), batu tempat pengadilan (''harefa''), dan batu ''[[Fahombo|hombo]]'' juga sama''.'' Dipercaya bahwa dengan fondasi ''binu'' dan tubuh seorang anak kecil, tumpukan batu akan berdiri kokoh.<ref name=":0">{{Cite web|url=https://www.liputan6.com/lifestyle/read/2508078/kisah-emali-pemburu-kepala-manusia-untuk-teman-di-alam-kubur|title=Kisah Emali, Pemburu Kepala Manusia untuk Teman di Alam Kubur|last=Liputan6.com|date=2016-05-27|website=liputan6.com|language=id|access-date=2020-02-17}}</ref> Pendirian megalit paling jelas terlihat pada ''owasa'' pemberian gelar pelaksana pesta.{{Sfn|Modigliani|1890|p=210b|ps="Quando un Capo assume un nome più glorioso, che lo debba rendere maggiormente conosciuto.(...)}}{{Sfn|Modigliani|1890|p=477|ps="Le feste con le quali si esalta il nuovo titolo che il Capo si attribuisce, si bandiscono anche quando si erigono per la prima volta le pietre d'onore che ogni potente fa innalzare a testimonianza della propria importanza , (...)"}} Dalam ''owasa'' tersebut, didirikan megalit sejumlah satu hingga enam sekaligus. Pendirian ini mengharuskan tersedianya perhiasan emas dan dua ''binu'', satu pria dan satu wanita, dikuburkan di kaki batu terbesar untuk menghormati pelaksana pesta dan menurut tradisi, untuk "mencegah megalit jatuh". Di Nias tengah, jumlah kepala yang dibutuhkan untuk pendirian megalit bisa lebih banyak.<ref name=":4" /> Tidak luput pula, penetapan ''[[fondrakö]]'' pendirian suatu banua memerlukan ''binu''.<ref name=":4" />
Baris 60:
Di selatan Nias, terdapat kisah tentang Awuwkha yang [[menhir]] kuburnya berdiri di [[Sifalago Gomo, Boronadu, Nias Selatan|Sifalagö Gomo]].{{Sfn|Sonjaya|2008|p=63|ps="Di antara batu-batu itu, yang paling menarik perhatian saya adalah sebuah behu berukuran sangat besar. (...) Oleh karena ukurannya yang besar itu, saya sangat tertarik untuk menelusuri asal-usulnya. (...), bernama Awuwukha.}}{{Sfn|Horor|2011|p=80|ps="Menhir Awuwukha merupakan situs yang terbuat dari batu."}} Dituturkan bahwa seorang pemuda tinggal bersama ibu dan tujuh orang saudaranya di [[Börönadu]] sekitar seratus lima puluh tahun lalu.{{Sfn|Afif|2018|p=176|ps="Menurut Sonjaya (2008:63), Awuwukha hidup sekitar lima generasi (setiap generasi sama dengan 25 tahun) lalu. Sementara menurut Thomsen (dalam Zebua, 2008), Awuwukha hidup jauh lebih lama, yaitu sekitar tujuh generasi yang lalu."}} Pada suatu hari, seorang pemuda dari banua Susua mengajak warga Börönadu untuk menghadiri pelaksanaan pesta ''owasa'' di banua mereka. Saat melewati rumah sang pemuda, seorang wanita meneriaki pembawa pesan tersebut dengan menghina kemaluannya. Pembawa pesan tersebut marah lalu kembali ke Susua. Beberapa hari kemudian, dia datang lagi ke Börönadu bersama beberapa pemuda banuanya untuk membalas kemarahannya dengan membakar rumah sang pemuda dan saudaranya. Mereka juga membakar lumbung padi milik seorang tokoh adat bernama Laimba. Si pemuda hanya bisa menyaksikan kejadian tersebut tanpa berbuat apa-apa.<ref name=":1" /> Di depan ibunya, pemuda tersebut bersumpah akan memenggal kepala orang-orang yang terlibat dalam pembakaran tersebut. Meski tidak disetujui ibunya dan Laimba, dia nekat pergi untuk memenuhi janjinya menuju Susua. Beberapa hari kemudian, si pemuda pulang dengan membawa karung berisi belasan kepala manusia. Hal ini membuat Laimba takut akan terjadi pertumpahan darah selanjutnya. Para penduduk Susua menyusun rencana untuk membunuh sang pemuda, namun selalu gagal karena kelihaiannya dalam bertarung. Kehebatan si pemuda pun tersiar di seluruh Nias dan dia dikukuhkan sebagai tokoh melalui ''owasa'', upacara tertinggi di masyarakat Nias. Perkataan seseorang yang telah menunaikan ''owasa'' secara otomatis akan menjadi hukum.<ref name=":1" /> Dia diberi gelar ''Awuwukha'' yang berarti 'jurang yang terjal'.{{Sfn|Sonjaya|2008|p=65|ps="Awuwukha adalah gelar yang diperoleh saat penyelenggaraan pesta tersebut. Nama itu berarti "jurang yang terjal" (...)"}} Menjelang kematiannya, Awuwukha berpesan bahwa ia ingin dikuburkan bersama lima orang yang akan melayaninya di alam kubur. Masing-masing bertugas menyiapkan minum, menyiapkan makanan, membuat [[Tradisi bersirih|sirih pinang]], memijat, dan menjagai kuburnya. Anak-anaknya lalu mencarikan lima kepala untuk penguburan Awuwukha.{{Sfn|Afif|2018|p=179|ps="Hal ini berarti anak-anak Awuwukha harus melakukan mangai binu, karena tak kuasa menolak wasiat leluhur."}}<ref name=":1" />
 
Sementara itu, di Nias bagian utara terdapat kisah tentang bersaudara Gondiu dan Latitia. Gondiu lahir di Boto Niha Yöu, sementara Latitia di Mazingö.{{Sfn|Modigliani|20101890|p=212|ps="Un giorno nacquero due ragazzi, uno nel settentrione di Nias, in Boto niha giou e l'altro nel mezzogiorno, in Mazino; al primo fu dato il nome di Gondru sawai ana'a ed al secondo quello di Latitia sörömi.}} Ketika mereka beranjak dewasa, mereka berselisih dan berencana untuk saling memburu kepala. Pada suatu hari, mereka berjanji untuk berduel di bukit Botombawo yang terletak di tengah pulau. Mereka saling menyerang dari jarak jauh namun gagal. Ketika mereka berdua mendekat untuk saling menyerang lagi, entah bagaimana, tubuh mereka saling menempel sehingga tidak dapat bergerak. Mereka memutuskan untuk berdamai dan beristirahat. Latitia megambil [[pinang]] dari tasnya untuk diberi kepada Gondru tetapi tidak cukup. Dia melempar buahnya ke tanah dan seketika pohon pinang tumbuh. Mereka lalu membawa kabar ke masing-masing banua mereka bahwa mereka membawa banyak ''binu,'' dan ''binu'' tersebut adalah pinang. Para warga yang mencoba takjub dengan rasanya dan berkata bahwa ''binu'' tersebut lebih bermanfaat daripada ''binu'' manusia. Sejak saat itu, mereka mulai menanam pinang dan [[sirih]] untuk membuat campuran yang bisa dikunyah. Para pemburu kepala di Nias utara akhirnya beralih profesi sebagai petani.{{Sfn|Modigliani|19801890|p=213|ps="Gli abitanti delle due parti conclusero: "É meglio di gran lunga che voi ci rechiate simili teschi, teschi per la bocca; gli altri si appendono, questi invece possiamo mangiarli. „"
}}
 
Baris 122:
*{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/1090705175|title=Engaging Evil : A Moral Anthropology|last=Beatty|first=Andrew|date=2019|publisher=Berghahn Books|others=Olsen, William C.,, Csordas, Thomas J.,|isbn=1-78920-214-0|location=New York|pages=|language=en|chapter=Speak No Evil Inversion And Evasion in Indonesia|oclc=1090705175|ref={{sfnref|Beatty|2019}}|url-status=live}}
 
*{{Cite book|url=https://www.gutenberg.org/files/43605/43605-h/43605-h.html|title=The Golden Bough : A Study In Magic and Religion|last=Frazer|first=James George, 1854-194|date=1922|publisher=Macmillan Press LTD|isbn=0-333-05910-7|location=Basingstoke, Hampshire|pages=|language=en|oclc=1055690285|ref={{sfnref|Frazer|1922}}|author-link=James George Frazer|url-status=live}}
 
*{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/title/insel-nias-und-die-mission-daselbst-mit-anhang-niassische-literatur-eine-monographie/oclc/4617269|title=Die Insel Nias und die Mission daselbst: (mit Anhang, "Niassische Literatur") : eine Monographie|last=Sundermann|first=Heinrich|date=1905|publisher=Verlag des Missionhauses|isbn=|location=Barmen|pages=|language=de|oclc=4617269|ref={{sfnref|Sundermann|1905}}|url-status=live}}