Rāhula: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 44:
Mūlasarvāstivāda dan teks-teks Tionghoa pada masa berikutnya seperti ''[[Dharmaguptaka#Sūtra Abhiniṣkramaṇa|Sūtra Abhiniṣkramaṇa]]'' memberikan dua jenis penjelasan untuk periode kandungan jangka panjang.{{sfn |Meeks |2016 |pp=139{{en dash}}40}}{{sfn |Sasson |Law |2008 |p=69}} Jenis pertama melibatkan [[karma (Buddhisme)|karma]] dari Putri Yaśodharā dan Rāhula itu sendiri.<!--139-40--> Menurut penafsiran tersebut, Yaśodharā mengalami kesakitan saat mengandung anaknya dalam janinnya selama enam tahun, karena pada kehidupan sebelumnya sebagai penggembala sapi enggan menolong ibunya membawa segentong susu dan membiarkan ibunya membawa gentong tambahan sepanjang enam ''[[yojana]]''.{{sfn |Meeks |2016 |pp=139{{en dash}}40}}{{sfn |Sasson |Law |2008 |pp=69{{en dash}}70}} Sementara untuk Rāhula, karmanya adalah bahwa pada kehidupan sebelumnya sebagai raja, ia membiarkan orang bijak menunggu selama enam hari.{{sfn |Meeks |2016 |p=140}}{{sfn |Ohnuma |2012 |p=143}} Pada kehidupan tersebut, ia merupakan seorang raja bernama Sūrya dan saudaranya, [[Bodhisattva#Buddhisme awal dan Theravāda|kehidupan Buddha pada masa sebelumnya]],{{sfn |Rahula |1978 |p=136}} merupakan seorang [[rishi|eremit]] bernama Candra atau Likhita yang mengambil sumpah bahwa ia hanya hidup dari apa yang diberikan oleh masyarakat. Pada suatu hari, saudaranya melanggar sumpahnya untuk mengambil beberapa air, dan merasa bersalah, meminta raja untuk menghukumnya.{{refn |group=note |Dalam teks-teks tradisi Mūlasarvāstivāda, saudaranya adalah eremit yang lain, bukan raja, namun ia mengirim saudaranya untuk melihat raja menghukumnya.{{sfn |Péri |1918 |p=8}}}} Raja enggan memberikan hukuman hanya karena masalah sepele semacam itu, namun suadaranya menunggui keputusan akhirnya dan bertahan di taman istana. Setelah enam hari, raja mendadak menyadari bahwa ia melupakan perihal eremit tersebut dan langsung berniat membebaskannya, yang termasuk permintaan maaf dan hadiah-hadiah. Akibatnya, Rāhula menunggu selama enam tahun sebelum lahir.{{refn |Lihat {{harvtxt |Sasson |Law |2008 |p=69}} dan {{harvtxt |Strong |1997 |p=117}}. Untuk nama dua bersaudara tersebut, lihat {{harvtxt |Deeg |2010 |pp=59, 62}}.}} Dalam beberapa versi, raja tak mengijinkan orang bijak untuk memasuki kerajaannya dan mendapatkan karma buruk yang sama yakni masa kandungan yang panjang.{{sfn |Shirane |2013 |pp=168{{en dash}}9}} Karya komentar Mahāyāna pada masa berikutnya ''[[Mahāprajñāpāramitāupadeśa]]'' ({{zh|t=大智度論|p=Dazhidulun}}) tak menghiraukan karma Yaśodharā untuk masa kandungan selama enam tahun, namun tak menyebut karma Rāhula yang sama sebagai raja. Namun, dalam teks devosional Jepang abad ke-13 ''Raun Kōshiki'', kelahiran Rāhula dipandang sebagai bukti mukjizat, ketimbang buah karma.{{sfn |Meeks |2016 |p=141}}{{sfn |Sergeevna |2019 |p=81}}{{refn |group=note |Dalam teks-teks Pāli, tidak disebutkan periode kandungan yang lama dari Rāhula, namun motif serupa muncul dalam cerita Suppāvāsā, dengan karya serupa pada kehidupan masa lampau.{{sfn |Rahula |1978 |p=136}}}}
Jenis penjelasan kedua meliputi argumen [[naturalisme agama|naturalistik]] bahwa Yaśodharā menerapkan [[Asketisisme#Buddhisme|pertapaan relijius]] yang meliputi puasa dan tidur di kasur jerami, yang menyebabkan pertumbuhan Rāhula melambat. Ia menerapkan praktek tersebut ketika Siddhārtha menerapkan penarikan diri. Kemudian, Raja Śuddhodana mencegah Yaśodharā untuk mendengar kabar apapun dari mantan suaminya, dan perlahan ia menjadi sehat, sehingga kehakiman berlanjut dengan normal. Namun, beberapa waktu berikutnya, rumor palsu menyatakan bahwa mantan pangeran tersebut meninggal akibat pertapaannya.<!--118--> Yaśodharā menjadi sangat tertekan dan depresi, yang membahayakan kehamilannya sendiri. Saat kabar menjabat istana bahwa Siddhārtha telah mencapai pencerahan, Yaśodharā sangat gembira dan melahirkan Rāhula. Cendekiawan Kajian Buddhis [[John S. Strong]] menyatakan bahwa catatan tersebut mengaitkan antara pertanyaan untuk pencerahan dan peran Yaśodharā sebagai ibu, dan kemudian, keduanya disertai secara bersamaan.<!--119-->{{sfn |Meeks |2016 |p=140}}{{sfn |Strong |1997 |pp=118{{en dash}}9}}
[[File:Rāhula seeing the Buddha.png|thumb|Sang Buddha kembali ke rumah usai pencerahannya, disambut oleh Rāhula. Sang Buddha diwakili oleh jejak kaki dan takhtanya. [[Amaravati|Amarāvatī]], abad ke-3. [[Museum Nasional, New Delhi]].]]
Kelahiran anak tersebut berujung pada keraguan dalam klan Śākya soal siapa ayahnya, seperti yang dikisahkan dalam tradisi Mūlasarvāstivāda, dalam ''Mahāprajñāpāramitāupadeśa'' dan kemudian ''Zabaozang jing'' ({{zh|t=雜寶藏經}}).{{sfn |Meeks |2016 |p=139}} Karena kelahiran Rāhula tak diakui oleh umat Buddha sebagai kelahiran perawan atau mukjizat, tradisi menjelaskan bahwa Pangeran Siddhārtha sebenarnya adalah ayahnya.{{sfn |Strong |1997 |p=119}} Yaśodharā menanggapinya dengan menempatkan anaknya di atas batu di kolam air dan melakukan [[sacca-kiriya]] agar jika Rāhula benar-benar anaknya, maka Rāhula dan batut ersebut tidaklah tenggelam, namun mengambang. Usai ia menyatakan deklarasi tersebut, anak tersebut diambangkan sesuai dengan sumpahnya.{{sfn |Ohnuma |2012 |p=142}}{{sfn |Strong |1997 |p=120}} Strong menyatakan bahwa ini adalah persamaan simbolik dengan pencapaian pencerahan oleh sang Buddha{{em dash}}yang dideskripsikan sebagai "mendekat ketepian"{{em dash}}dan kembali untuk mengajari umat manusia.{{sfn |Meeks |2016 |p=140}}{{sfn |Strong |1997 |p=120}} ''Mahāprajñāpāramitāupadeśa'' berisi catatan lain, dimana Pangeran Siddhārtha memiliki banyak istri,<!--140--> dan seorang istri selain Yaśodharā adalah orang yang membelanya, menjadi saksi dari kemurnian penjelasannya.<!--141-->{{sfn |Meeks |2016 |pp=139{{en dash}}41}}
Selain itu, dalam teks-teks Mūlasarvāstivāda dan ''Mahāprajñāpāramitāupadeśa'', terdapat catatan ketiga yang menyatakan soal pembuktian kemurnian penjelasan Yaśodharā: dalam versi ini, sang Buddha membuat setiap orang di sekitarnya melihat keidentikannya, melalui [[ṛddhi|peran andil supranatural]]. Rāhula menyatakan bahwa sang Buddha adalah ayahnya yang sebenarnya saat ia mendekati sang Buddha yang sebenarnya menjauh.{{sfn |Strong |1997 |p=120}}{{sfn |Edkins |2013 |pp=32{{en dash}}3}}{{refn |group=note |Yaśodharā memberikan hadiah Rāhula kepada ayahnya yang sebenarnya, dan ia memutuskan untuk menjauhinya. Dalam satu versi dari cerita tersebut, hadiahnya adalah penanda cincin.{{sfn |Edkins |2013 |pp=32{{en dash}}3}} Dalam versi lain, hadiahnya adalah alat perangsang nafsu berahi.{{sfn |Strong |1997 |p=120}} (''Lihat [[Rāhula#Penahbisan|§ Penahbisan]], di bawah.'')}} Dalam cerita keempat soal pembuktian kemurnian Yaśodhara, muncul dalam teks-teks Tionghoa bergaya [[Avadana|Avadāna]] sejak abad ke-5 M, ia dibakar hidup-hidup, namun selamat secara ajaib. Dalam catatan tersebut, Raja Śuddhodana memerintahkan agar ia dibinasakan dengan cara dibakar hidup-hidup sebagai hukuman atas dukaan ketidakmurniannya. Namun alih-alih tersakiti oleh percikan api, ia melakukan sacca-kiriya dan api berubah menjadi sekolam air. Śuddhodana menyambutnya dan putranya kembali ke klannya, dan Rāhula kemudian menjadi sangat digemari.{{sfn |Meeks |2016 |p=142}} Beberapa [[Jataka|Jātaka]] Tionghoa menyatakan bahwa ia mengakui putranya Siddhārtha pada masa kecil, dan memutuskan untuk lebih menyoroti kehilangan Pangeran Siddhārtha.{{sfn |Péri |1918 |p=22}} Cendekiawan agama Reiko Ohnuma memandang penghukuman dengan api tersebut sebagai kiasan yang menyamakan pencerahan sang Buddha, sebuah argumen serupa yang dibuat oleh Strong.{{sfn |Ohnuma |2012 |p=142}}
== Catatan ==
|