Muhammad Al-Maghfur: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
→Murid-muridnya: sanad-sanadnya |
Buku |
||
Baris 1:
'''''Al-'Alim Al-'Allamah Al-Syaikh Al-Faqih Al-Nahwi K.H. Muhammad Al-Maghfur bin H. Sukandi Al-Syijambawiy Al-Syibarigbigiy Al-Syibabariy Al-Syanjuriy Al-Jawiy Al-Indunisiy''''' ([[bahasa Arab]] : العالم العلامة الشيخ الفقيه النحوي الناظم كياهي الحاجي محمد المغفور بن الحاج سوكندي الشجمبوي الشبارقبقي الشببري الشنجوري الجاوي الإندونيسي) lahir di kampung Nyalempet, [[Cilaku, Cianjur|Cilaku]], [[Cianjur, Cianjur|Cianjur]], [[Jawa Barat]], [[Hindia Belanda]] tahun 1928 Masehi dan wafat di Cijambe, [[Cibaregbeg, Cibeber, Cianjur|Cibaregbeg]], [[Cibeber, Cianjur|Cibeber]], [[Cianjur, Cianjur|Cianjur]], [[Jawa Barat]], [[Indonesia]] pada Sabtu 2 Dzul Qa'dah 1413 H, atau bertepatan dengan tanggal 25 April tahun 1993.<ref>{{Cite book|title=al-Kitab al-Mastur fi al-Tarjamah al-Syaikh Muhammad Al-Maghfur|last=Makhyaruddin|first=Deden Muhammad|location=Bogor|pages=3|url-status=live}}</ref>
== Nama dan Julukan ==
Pada mulanya K.H. Muhammad Al-Maghfur bernama Ahmad Syahim dan terus menyandang nama tersebut selama lebih kurang 46 tahun. Para santrinya di periode awal dan pertengahan memanggilnya dengan sebutan Kang Ahim dan masyarakat menyebutnya dengan nama Ajengan Ahim. Ajengan adalah sebutan untuk [[Kyai]] atau ulama di tatar [[Kerajaan Sunda|Pasundan]]. Mulai menyandang nama Muhammad Al-Maghfur setelah pulang dari menunaikan [[Haji|ibadah Haji]] tahun 1974. Setelah itu masyarakat menyebutnya dengan sebutan Ajengan Cijambe, Ajengan Maghfur dan Bapak Cijambe oleh para keturunan dan santri-santrinya pada generasi akhir. Nama Muhammad Al-Maghfur ditahqiq dan ditetapkan langsung olehnya dalam dua buah buku terakhir karangannya, yaitu Thariq al-Sa'adah fi al-Hayat wa Ba'da al-Mamat<ref>{{Cite book|title=Thariq al-Sa'adat fi al-Hayat wa Ba'da al-Mamat|last=Al-Maghfur|first=Muhammad|location=Cianjur|pages=I|url-status=live}}</ref> dan Raja al-Najah fi Hifzh al-Shalah.<ref>{{Cite book|title=Raja al-Najah fi Hifzh al-Shalah|last=Al-Maghfur|first=Muhammad|location=Cianjur|pages=I|url-status=live}}</ref> Sedang dalam salah satu buku periode awal namanya ditulis dengan nama Muhammad Maghfur tanpa Al.<ref>{{Cite book|title=Tashil al-Thullab fi Tarjamah Mulhah al-'I'rab|last=Al-Maghfur|first=Muhammad|location=Cianjur|pages=I|url-status=live}}</ref>
== Nasab dan Kelahiran ==
K.H. Muhammad Al-Maghfur lahir tahun 1928. Tidak diketahui tanggal dan bulannya. Berdasarkan perhitungan salah seorang anaknya, Muhammad Nawawi, bahwa K.H. Muhammad Al-Maghfur wafat tahun 1993 pada usia 64 tahun. Jika 1993 dikurangi 64 maka akan muncul angka 1928. Ayahnya bernama H. Sukandi bin H. Mansur. Tidak diketahui silsilah nasabnya setelah H. Mansur. Hanya saja diketahui H. Sukandi berasal dari Cilaku. Bahkan, H. Mansur dikenal sebagai tokoh masyarakat yang ahli bertani padi. Dan, yang disebut beras [[Cianjur, Cianjur|Cianjur]] pada mulanya berasal dari [[Cilaku, Cianjur|Cilaku]] dan [[Jambudipa, Warungkondang, Cianjur|Jamudipa]]. H. Sukandi wafat tahun 1958 berdasarkan titimangsa K.H. Muhammad Maghfur, bahwa pada saat itu dia tidak dapat menemani ayahnya yang sedang sakit di [[Cilaku, Cianjur|Cilaku]] karena terdesak pulang ke Cijambe menemani istrinya yang sedang hamil besar mengandung anak pertama. Dia hanya menitipkan ayahnya kepada santrinya yang bernama Jahid. Lalu, sebelum istrinya melahirkan terdengar kabar sang ayah meninggal dunia di pangkuan Mang Jahid. Kemudian, tidak berselang lama, sang istri melahirkan anak pertamanya tahun 1958.<ref>{{Cite book|title=al-Kitab al-Mastur fi al-Tarjamah al-Syaikh Muhammad Al-Maghfur|last=Makhyaruddin|first=Deden Muhammad|location=Bogor|pages=5|url-status=live}}</ref>
Ibunya bernama Hj. Umi Kulsum binti H. Nawawi. Dipanggil Nek Ucum. Juga, tidak diketahui silsilahnya setelah H. Nawawi. Tapi, keluarga hafal betul bahwa H. Nawawi adalah Tubagus keturunan Sultan [[Banten]]. Berdasarkan riwayat keluarga, H. Nawawi mengembara dari [[Kabupaten Garut|Garut]] ke [[Cianjur, Cianjur|Cianjur]], lalu menikah dengan wanita asli Nyalempet. Hal ini sesuai dengan cerita dalam babad [[Banten]] bahwa keturunan [[Kesultanan Banten]] banyak yang pindah ke [[Kabupaten Garut|Garut]], [[Jawa Barat]] dengan menyembuyikan identitasnya untuk menghindari intervensi Pemerintah Kolonial [[Belanda]]. Makam H. Nawawi terdapat di bukit kecil antara kampung Geger dan kampung Nyalempet. Penduduk menyebutnya '''Pasir Pogor'''. Semasa hidupnya H. Nawawi dikenal sebagai orang yang pertama kali naik Haji di daerah itu. Bahkan, banyak membantu ulama berangkat Haji. Di antaranya, adalah Ajengan Noled. Tercatat H. Nawawi sendiri menunaikan Haji sebanyak 17 kali karena selain merupakan seorang ulama dia pun menjabat sebagai Syaikh yang mengurus Haji. Hj. Umi Kulsum wafat tahun 1932 pada saat K.H. Muhammad Al-Maghfur berusia empat tahun. Lalu, sang ayah menikah lagi dengan perempuan asli [[Cilaku, Cianjur|Cilaku]] yang menyebabkan dia pindah dari Nyalempet ke [[Cilaku, Cianjur|Cilaku]].<ref>{{Cite book|title=Melacak Nasab Ulama Cianjur, K.H. Muhammad Al-Maghfur dari Cianjur ke Banten|last=Makhyaruddin|first=Deden Muhammad|date=7 Maret 2020|location=Bogor|pages=1-10|url-status=live}}</ref> K.H. Muhammad Al-Maghfur mempunyai adik kandung perempuan bernama Olih. Namun, setelah ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi dia ikut ayahnya bersama ibu barunya di Cilaku. Pada saat itu, umur adiknya kurang dari dua tahun. Sementara, K.H. Muhammad Al-Maghfur bertahan di Geger bersama kakak dari ibunya yaitu H. Putoni. K.H. Muhammad Al-Maghfur sering bercerita kepada anak-anaknya tentang sang adik yang sama-sama hidup sebagai piatu yang terpisah jarak antara Geger dan [[Cilaku, Cianjur|Cilaku]]. Adakalanya, K.H. Muhammad Al-Maghfur kecil datang ke [[Cilaku, Cianjur|Cilaku]] == Tumbuh Kembang ==
K.H. Muhammad Al-Maghfur diasuh kedua orangtuanya H. Sukandi dan Hj. Umi Kulsum sampai usia empat tahun saat sang ibu meninggal dunia. Pengasuhan pindah ke kakak dari ibunya, atau dalam [[bahasa Sunda]] disebut Uwa. Yaitu, H. Putoni bin H. Nawawi di Geger. Di bawah asuhannya K.H. Muhammad Al-Maghfur tak hanya diasuh tapi juga dididik mental dan agamanya bersama anak-anak kandung dari sang Uwa.
== Perjalanan Menuntut Ilmu ==
=== Di Geger ===
Di bawah asuhan sang Uwa, H. Putoni bin H. Nawawi, K.H. Muhammad Al-Maghfur belajar membaca [[Al-Qur'an]] sampai baik dan lancar dalam waktu yang singkat. Hal ini bukan hanya ketelatenan dan tempaan H. Putoni dan Umi Geger yang hebat tapi juga karena potensi dan bakat keulamaan yang dimiliki K.H. Muhammad Al-Maghfur. Di antara tempaan H. Putoni pada suatu hari K.H. Muhammad Al-Maghfur pulang dari [[Pesantren]] Gentur ke Geger karena kondisi Gentur sedang tidak aman mengingat penjajah mulai bergerak menguasai pesantren dengan menampilkan tindakan-tindakan pengrusakan, mengancam, menindas, bahkan tak segan membunuh. Lalu, K.H. Muhammad Al-Maghfur sampai di Geger dan mengutarakan alasan kepulangannya dari [[pesantren]], H. Putoni bukannya malah menyambutnya dengan senyuman dan belas kasihan melainkan memerintahkan untuk pulang ke Gentur seraya menyerahkan sebilah [[golok]] untuk melawan [[penjajah]].<ref>{{Cite book|title=al-Kitab al-Mastur fi al-Tarjamah al-Syaikh Muhammad Al-Maghfur|last=Makhyaruddin|first=Deden Muhammad|location=Bogor|pages=6|url-status=live}}</ref>
=== Di Nyalempet ===
Setelah fasih membaca [[Al-Qur'an]] K.H. Muhammad Al-Maghfur belajar nyantri ke K.H. Muhammad Musoffa Yahya di Nyalempet. Yaitu, ayah dari Aa Nyalempet K.H. Ahmad Shofiullah. Di sana K.H. Muhammad Al-Maghfur mengkhatamkan Kitab Safinah al-Naja karya Syaikh Salim bin Sumair al-Hadromi yang makamnya di belakang Masjid Al-Makmur, [[Tanah Abang, Jakarta Pusat|Tanah Abang]], [[Kota Administrasi Jakarta Pusat|Jakarta Pusat]], dan kitab Tijan al-Darori karya Syaikh [[Nawawi al-Bantani|Nawawi Al-Bantani]] yang makamnya di Al-Ma'la, Makah Al-Karamah. Bukan sekedar khatam membaca tapi paham memahami berikut tahqiq i'rab dan balagahnya. Bersamaan dengan nyantri di Nyalempet K.H. Muhammad Al-Maghfur juga masuk [[Sekolah Rakyat]] (SR). Masuk di usia delapan tahun. Periode belajar di tempuh dalam lima tahun. Sehingga, lulus dalam usia 13 tahun. K.H. Muhammad Al-Maghfur pernah bercerita pada anak-anaknya tentang pelajaran menggambar di [[Sekolah Rakyat]]. Guru meletakan sebuah gelas dari kaca berisi air putih. Lalu, mencelupkan setangkai daun [[genjer]] ke dalamnya. Lalu, murid-murid harus menggambar daun [[genjer]] di dalam gelas bening itu semirip mungkin. Dan, hasilnya, K.H. Muhammad Al-Maghfur yang selalu menonjol dalam setiap mata pelajaran harus mengakui kelemahannya bahwa dirinya tidak bisa menggambar.<ref>{{Cite book|title=al-Kitab al-Mastur fi al-Tarjamah al-Syaikh Muhammad Al-Maghfur|last=Makhyaruddin|first=Deden Muhammad|location=Bogor|pages=7|url-status=live}}</ref>
=== Di Gelar ===
Setelah lulus [[Sekolah Rakyat]] (SR) pada usia kira-kira 13 tahun K.H. Muhammad Al-Maghfur berangkat mondok di Gelar, [[Peuteuycondong, Cibeber, Cianjur|Peuteuycondong]], [[Cibeber, Cianjur|Cibeber]], [[Cianjur, Cianjur|Cianjur]]. Belajar kepada K.H. Sopandi bin Husen, ayah dari K.H. Zein Abdul Somad yang dikenal dengan nama Mama Gelar. Di sana dia menetap selama enam bulan. Memang tergolong singkat tetapi dia dapat menyerap ilmu-ilmu yang diajarkan dengan baik dalam bidang [[bahasa Arab]], ilmu ''<nowiki/>'Arudh'' (العروض) dan ilmu ''Qawafi'' (القوافي) tentang mengarang dan menilai karya nazham (syair) dalam bahasa Arab.
=== Di Gentur ===
Kemudian pindah ke Gentur dan Mengaji ke Mama Gentur yang dikenal kealiman, kezuhudan dan kewara'annya
=== Di Rajamandala ===
Di antara santri senior yang dilayani selama di Gentur adalah K.H. Hasbullah [[Rajamandala Kulon, Cipatat, Bandung Barat|Rajamandala]], [[Cipatat, Bandung Barat|Cipatat]], [[Kabupaten Bandung Barat|Bandung Barat]]. Ketika seniornya itu hendak pulang ke Rajamandala untuk menikah maka K.H. Muhammad Al-Maghfur ikut ke Rajamandala untuk membantu menyebarkan ilmu sekaligus mengejar ilmu-ilmu Gentur ke senior tersebut yang terlewatkan selama di Gentur. Di sana dia mondok selama delapan bulan. Lalu, K.H. Hasbullah memanggilnya seraya menguji kemampuan sang juniornya itu. Setelah diuji pengetahuan dan kemampuannya dalam memahami [[Kitab kuning|Kitab Kuning]] lalu berhasil menjawabnya dengan sempurna tanpa ada yang salah sedikit pun. Bahkan, jawaban tersebut diucapkan dalam bentuk hafalan bukan melihat kitab, maka K.H. Hasbullah berkata: "Tak tersisa lagi sedikit pun ilmu dariku kecuali kamu telah mengambilnya lebih baik dari apa yang aku ambil dan kamu telah memahaminya lebih banyak dari apa yang aku fahami, Silahkan kamu pulang sekarang." Hj.Maisurah mengatakan, "Saya pernah membaca syair yang indah gubahan Bapak tentang kisah mesantren di Gentur dan Rajamandala tapi hilang."<ref>{{Cite book|title=al-Kitab al-Mastur fi al-Tarjamah al-Syaikh Muhammad Al-Maghfur|last=Makhyaruddin|first=Deden Muhammad|location=Bogor|pages=10|url-status=live}}</ref>
=== Di Jamudipa ===
Sepulang dari Rajamandala K.H. Muhammad Al-Maghfur belajar ijazah wirid-wirid, dzikir-dzikir, doa-doa, hizb-hizb kepada K.H. Fakhruddin yang merupakan ayah dari K.H. Aang Endang [[Jambudipa, Warungkondang, Cianjur|Jamudipa]], [[Warungkondang, Cianjur|Warungkondang]], [[Cianjur, Cianjur|Cianjur]]. Diceritakan K.H. Muhammad Al-Maghfur pun berguru kepada Aang Endang atau kemudian disebut dengan Ajengan Jamudipa. Di sana dia mondok selama satu tahun. Maka, jadilah dia ulama muda yang mahir dalam berbagai disiplin ilmu keislaman sebelum usianya sampai 20 tahun. Salah seorang putra K.H. Muhammad Al-Maghfur, Muhammad Nawawi mengisahkan tentang pengalaman sang ayah menuntut ilmu. Suatu hari pernah berkata: "Aku mondok tidak lama. Hanya tiga tahun saja. Tapi, atas izin Allah dan pertolongan-Nya, aku bisa. Padahal, aku tidak punya kitab karena mahal dan lingkunganku dalam penjajahan Belanda dan Jepang."<ref>{{Cite book|title=al-Kitab al-Mastur fi al-Tarjamah al-Syaikh Muhammad Al-Maghfur|last=Makhyaruddin|first=Deden Muhammad|location=Bogor|pages=11|url-status=live}}</ref>
== Menikah ==
Ketika mencapai pada umur 21 tahun K.H. Muhammad Al-Maghfur menikah dengan seorang gadis asal Cijambe, [[Cibaregbeg, Cibeber, Cianjur|Cibaregbeg]], [[Cibeber, Cianjur|Cibeber]], [[Cianjur, Cianjur|Cianjur]] yang bernama Fatimah Masbarah binti Abdurrohim (H. Zakaria) bin H. Sapandi tanggal 4 Oktober 1949 M bertepatan dengan tanggal 11 Dzul Hijjah tahun 1368 H. Dikisahkan, pada zaman itu, dalam rentang waktu K.H. Muhammad Al-Maghfur mondok, di kampung Cijambe ada tokoh Agama yang bernama Mama Qomar. Dan, Cijambe menjadi pusat transformasi ilmu [[Agama]] ke masyarakat sekitar dalam radius sekira lima kilo meter dari delapan penjuru angin. Mama Qomar mempunyai seorang istri bernama Asiyah. Asiah adalah kakak pertama sekaligus menjadi pengasuh Fatimah Mashbarah karena ditinggal sang ibu ketika masih kecil. Dalam pengasuhan sang kakak, Fatimah mendapatkan tarbiyah yang baik. Dia sangat disayangi oleh Mama Qomar karena kepintarannya dalam mengaji dan kematangannya dalam keshalihahan. Memang Mama Qomar ini mengingkan
== Setelah Menikah ==
K.H. Muhammad Al-Maghfur pergi ke Cilaku Hilir, Cianjur. Untuk memperdalam apa yang sudah dipelajari di Gelar, di Gentur, di Rajamandala dan di Jamudipa kepada Syaikh Al-Faqih Mama Cilaku, K.H. Munawar. Beliau belajar di sana selama dua tahun sampai Allah membukakan pemahaman dan ilmu untuknya, yang sebelumnya, belum beliau dapatkan ketika belajar di Gelar, Gentur, Rajamandala, dan Jamudipa. Di berbagai kesempatan, K.H. Muhammad Al-Maghfur sering memuji gurunya ini, Mama Cilaku. Hingga, salah seorang muballigh kondang Cianjur saat itu, Habib Ali, mempertanyakan mengapa Ajengan memberikan penghormatan yang berbeda kepada Mama Cilaku seakan melebihkan di atas guru-guru beliau yang lain. K.H. Muhammad Al-Maghfur menjawab: "Bab Fiqih yang paling tidak dikuasai kebanyakan orang adalah Bab 'Itqi, karena tidak ada lagi kasusnya, dan Mama Cilaku memahami Bab 'Itqi seperti orang biasa memahami Bab Wudhu."<ref>{{Cite book|title=al-Kitab al-Mastur fi al-Tarjamah al-Syaikh Muhammad Al-Maghfur|last=Makhyaruddin|first=Deden Muhammad|location=Bogor|pages=13|url-status=live}}</ref>
== Pendirian Pondok Pesantren ==
Kemudian K.H. Muhammad Al-Maghfur mendirikan pesantren di Cijambe, Ciberegbeg, Cibeber, Cianjur setelah beliau menyelesaikan belajar di Cilaku sekitar tahun 1951, dan beliau pada saat itu berumur 23 tahun. Pesantrenya tidak diberi nama, tapi para santri datang dari berbagai penjuru meski tanpa publikasi. Beliau pun masih terus belajar ke Mama Cilaku dengan mengikuti program ngaji mingguan khusus para ajengan setiap malam Jumat. Di antara kitab yang dikhatamkan dalam ngaji mingguan tersebut adalah Kitab Jam'ul Jawami' tentang Ushul Fiqih. Pengajian Mama Cilaku selesai pukul satu (01:00) dini hari. Tapi, khusus K.H. Muhammad Al-Maghfur, Mama Cilaku melanjutkan ngajinya berdua di rumah sampai jam 4 pagi. Pada tahun 1967 K.H. Muhammad Al-Maghfur berkunjung ke Ciomas, Bogor untuk menghadiri Multqo al-Ilmi. Di sana bertemu seorang alim asli Bogor yang bernama K.H. Abdullah yang sebagian putranya dikirim untuk nyantri ke beliau. K.H. Abdullah berkata kepadanya: "Kiyai, beri nama pesantrennya dengan Raudlatul Muta'alimin." Maka, beliau pun memakai nama itu untuk pesantrennya.<ref>{{Cite book|title=al-Kitab al-Mastur fi al-Tarjamah al-Syaikh Muhammad Al-Maghfur|last=Makhyaruddin|first=Deden Muhammad|location=Bogor|pages=14|url-status=live}}</ref>
== Guru-gurunya ==
K.H. Muhammad Al-Maghfur adalah ulama yang istiqamah dalam pendidikan. Thariqahnya ngaji, yaitu belajar dan mengajar. Walaupun beliau sudah menjadi ulama yang kaya ilmu
# Syaikh K.H. Muhammad Mushoffa Yahya, Nyalempet
Baris 52 ⟶ 56:
== Anak-anaknya ==
K.H. Muhammad Al-Maghfur dari pernikahannya dengan Hj. Fatimah Masbarah dikaruniai 12 orang anak, lima laki-laki dan tujuh perempuan. Tapi, empat orang anak pertama meninggal masih kecil. Yaitu, Sa'diyah, Muhammad, Muflihah, dan Afifah. Kemudian, mulai dari anak yang kelima sampai yang ke 12 Allah berikan umur yang panjang. Mereka adalah sebagai berikut:<ref>{{Cite book|title=al-Kitab al-Mastur fi al-Tarjamah al-Syaikh Muhammad Al-Maghfur|last=Makhyaruddin|first=Deden Muhammad|location=Bogor|pages=19 dan 20|url-status=live}}</ref>
# Muhammad Nawawi, yaitu putra beliau yang paling besar. Nama Nawawi diambil dari nama sang kakek, yaitu H. Nawawi. Para santri beliau generasi awal menyebutnya Kang Muhammad.
Baris 64 ⟶ 68:
== Murid-muridnya ==
Anak-anak, istri, serta cucu-cucu beliau adalah murid beliau semua. Mereka mengambil ilmu dari beliau sesuai dengan kapasitas kemampuan dan kesanggupannya. Dan, cucu beliau, K.H. Deden Muhammad Makhyaruddin adalah di antara yang mengambil ilmu dari beliau sejak kecil. Dan, berikut adalah di antara nama-nama murid beliau:<ref>{{Cite book|title=al-Kitab al-Mastur fi al-Tarjamah al-Syaikh Muhammad Al-Maghfur|last=Makhyaruddin|first=Deden Muhammad|location=Bogor|pages=21-32|url-status=live}}</ref>
# K.H. Ilyas Muyassar, Pimpinan Pondok Pesantren Raudlatul Muta'allimin, Cijambe
Baris 74 ⟶ 78:
# K.H. Syaikh Al-Faqih Mama K.H. Abdul Qodir Rozi, Cianjur
# Al-Syaikh Al-Allamah Al-Kabir Mama K.H. Abdul Halim, Bojong Herang, Cianjur
# K.H. Mus, Pendiri Pondok Pesantren Raudlatul Muta'allimin, sekarang al-Ikhwan, Cibadak, Cipanas, Cianjur
# K.H. Oji, Pimpinan Pondok Pesantren, Plered
# K.H. Maufur, Pimpinan Pondok Pesantren Durar al-Mushthafa, Cilenjang
# K.H.
# K.H. Ejen, Pimpinan Pondok Pesantren Raudlatul Muata'allimin, Cililin, Bandung
# K.H. Ahmad Manar, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Munawariyah, Cilaku
== Majelis-majelisnya ==
K.H. Muhammad Al-Maghfur selain mengajar santri mempunyai lima majelis pengajian umum yang tidak pernah ditinggalkannya sampai akhir hayat. Yaitu:<ref>{{Cite book|title=al-Kitab al-Mastur fi al-Tarjamah al-Syaikh Muhammad Al-Maghfur|last=Makhyaruddin|first=Deden Muhammad|location=Bogor|pages=33|url-status=live}}</ref>
# Kemisan. Yaitu pengajian setiap hari Kamis pagi mulai dari jam 8 sampai zhuhur yang dihadiri para kiyai, ajengan dan ustadz dari berbagai tempat. Kitab yang dibahas adalah Ihya Ulumiddin dan Tafsir Munir serta kitab-kitab lainnya. Pada mulanya, yakni sejak didirikan sekira tahun 1953, Kemisan ini adalah Selasaan karena dilaksanakan pada hari Selasa pagi. Lalu, setelah tahun 1974 pindah menjadi hari Kamis sampai akhir hayat beliau.
Baris 91 ⟶ 95:
== Karya-karyanya ==
K.H. Muhammad Al-Maghfur banyak meninggalkan karya tulis dalam berbagai disiplin ilmu keislaman seperti aqidah, tasawuf, fiqih, dan lainya. Di antara karya-karya tersebut adalah:<ref>{{Cite book|title=al-Kitab al-Mastur fi al-Tarjamah al-Syaikh Muhammad Al-Maghfur|last=Makhyaruddin|first=Deden Muhammad|location=Bogor|pages=34-36|url-status=live}}</ref>
# Thariq al-Sa'adat fi al-Hayat wa Ba'da al-Mamat
Baris 130 ⟶ 134:
Al-Waliy Ahmad bin Abdurrahim (w. 526 H.) dari ayah beliau, yaitu Syaikh Zainuddin al-'Irâqi (w. 808 H.), dari al-Imam Sirajuddin al-Bulqini (w. 805 H.), dari Syaikh al-'Ala ibn al-'Aththâr (w. 724 H.), dari Muharrar al-Madzhab al-Imam Zakariya bin Yahya al-Nawawi (w. 676 H.), dari Syaikh Kamaluddin al-Arbili (w. 670 H.), dari Syaikh Abu 'Amr 'Utsman Ibn al-Shalâh (w. 643 H.), dari ayahnya, Abdurrahaman dengan laqab al-Shalâh (w. 618 H.), dari al-Imam Abu Said Abdullah bin Ashrûn (w. 585 H.), dari Abu 'Ali al-Fâriqi (w. 528 H.).
Abu 'Ali al-Fâriqi (w. 528 H.) dari al-Syaikh al-Imam Abu Ishaq al-Syirazi (w. 476 H.), dari al-Imam al-Qâdhi Abu Thayyib (w. 450 H.), dari al-Imam Abu al-Hasan al-Masirjasi (w. 384 H.), dari al-Imam Abu Ishaq al-Marwazi (w. 340 H.), dari al-Imam Abu al-Abbas Ahmad Ibn Suraij (w. 306 H.), dari al-Imam Utsman bin Basyar al-Anmathi (w. 288 H.), dari al-Imam al-Rabi' bin Sulaiman (w. 270 H.), dari Shâhib al-Madzhab al-Imam Muhammad bin Idris al-Syafii al-Qurasyi (w. 204.).<ref>{{Cite book|title=Geneologi Keilmuan Cijambe, Gentur dan Mesir|last=Makhyaruddin|first=Deden Muhammad|date=|publisher=|isbn=|location=Bogor|pages=1-10|url-status=live}}</ref>
Dalam poster Sanad Guru Mama Gentur yang ditulis Cep Bayang adalah jalur Mama Gudang. Jalur Gudang ini sangat unik karena di dalam mata rantainya ada Syaikh Abdul Muhyi, Pamijahan dan Syaikh Zainuddin al-Malibari. Namun, sayangnya, banyak mata rantai sanad yang terputus.
Baris 140 ⟶ 144:
Tidak hanya ada si situ. Masih ada dua mata rantai lain yang terputus. Yaitu, antara Imam Ibn Hajar Asqalani dan Imam Zainuddin al-Iraqi. Mestinya ada imam Ahmad bin Abdurrahim di antara mereka. Demikian pula antara Imam Zainuddin al-Iraqi dan al-Aththar. Ada satu mata rantai yang jatuh. Yaitu, imam Sirajuddin al-Bulqaini.
Lalu, ada kesalahan pada penulisan nama guru Imam Nawawi. Yaitu, yang mestinya al-Arbili malah ditulis Al-Ardabili. Lalu, dari guru imam Nawawi ini terputus lagi sanadnya sampai ke Imam Muhammad bin Yahya bin Manshûr, murid imam al-Ghazali. Karena, jaraknya terpaut sampai 130 tahun. Imam Muhammad bin Yahya wafat tahun 540 H., sedang al-Arbili wafat tahun 670 H. Ini sangat jauh.<ref>{{Cite book|title=The Missing Link Sanad Gentur|last=Makhyaruddin|first=Deden Muhammad|location=Bogor|pages=1-10|url-status=live}}</ref>
Sedang dari Mama Cilaku, K.H. Muhammad al-Maghfur bersanad kepada Imam al-Syaffi, dalam Fiqih, selain dari Gentur, melalui dua guru Mam Cilaku, yaitu Mama Ilyas, Cibitung Bandung, dan Habib Syaikh bin Salim, Sukabumi. Jalur emas sanad ini adalah dari Habib Syaikh bin Salim langsung ke Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, juga dari Mama Ilyas ke Syaikhana Khalil Bangkalan, Madura, dari Syaikh Ahmad
|