Bubuksah dan Gagangaking: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Kembangraps (bicara | kontrib) k →Rujukan |
k Bot: Perubahan kosmetika |
||
Baris 3:
Cerita ini merupakan cerita didaktis keagamaan hasil pengembangan pujangga sastra Jawa asli. Isinya menceritakan bagaimana dua cara "laku" (ritual ibadah untuk mencapai tujuan tertentu) yang berbeda diukur hasilnya. Kesetiaan akan tujuan dari laku tersebut yang akan dinilai, bukan dari cara lakunya itu sendiri.
== Jalan cerita ==
Karena diwariskan secara lisan turun-temurun, berbagai versi cerita ini muncul. Namun demikian, ada plot yang tetap dipertahankan. Berikut disampaikan versi umum yang cukup dikenal<ref name=SM-2017/>.
Ada dua orang bersaudara bernama Gagangaking (sang kakak) dan Bubuksah (adiknya), yang karena sesuatu hal (banyak versi mengenai hal ini), kemudian belajar untuk menjadi pertapa dan mendapat perkenan dewa. Mereka belajar dari seorang guru, namun dalam pelaksanaan''lakú'' bertapanya menempuh dua jalan yang berbeda.
Gagangaking membatasi makan dan minum serta kenikmatan duniawi sebagai laku prihatin untuk mencapai tingkat spiritual tertinggi. Akibatnya tubuhnya menjadi kurus-kering; itulah mengapa ia dijuluki Gagangaking (artinya "tangkai kering"). Sebaliknya, sang adik - Bubuksah, yang artinya "usus serakah" - menempuh ''laku'' dengan menikmati segala hal yang duniawi, termasuk makan dan kesenangan, sebagai bentuk "tantangan" kepada tubuhnya sendiri sebagai bentuk pencapaian spiritual. Gagangaking, sebagai kakak mencoba mengingatkan Bubuksah agar meninggalkan cara ''laku'' tersebut, yang dianggapnya membuat sang pelaku mudah tergelincir dalam kenikmatan duniawi. Bubuksah menolak peringatan tersebut. Akhirnya, kedua bersaudara tersebut terlibat dalam perdebatan.
Menyaksikan perdebatan tersebut, sang [[Batara Guru]] menjadi prihatin. Untuk itu ia mengutus Dewa Kalawijaya untuk menguji keteguhan hati kedua pertapa tersebut. Dalam wujud harimau yang kelaparan, Kalawijaya mendatangi Gagangaking. Ia bermaksud untuk memangsa Gagangaking untuk menghilangkan laparnya. Gagangaking menolak maksud sang harimau dengan menyatakan bahwa ia terlalu kurus untuk dijadikan mangsa. Selanjutnya, sang harimau menemui Bubuksah dan menyatakan ingin memangsanya. Ternyata, Bubuksah menyediakan dirinya untuk dimangsa sang harimau karena menganggap itulah saatnya bagi dia untuk menuju tujuan ''lakunya'', menghadap dewa.
Sang harimau lalu menyatakan bahwa Bubuksah dinyatakan lulus ujian dan mempersilakannya naik ke punggungnya untuk kemudian diantarkan menuju tempat para orang suci. Namun, sebelum berangkat, Bubuksah meminta sang harimau agar sang kakak, Gagangaking, juga ikut serta dengannya, dengan alasan ia pun juga telah melakukan ''laku'' tapa dengan tulus. Sang harimau menyetujui tapi dengan syarat Gagangaking tidak naik di punggungnya. Akhirnya Gagangaking ikut serta dengan berpegangan pada ekor sang harimau menuju ke tempat para orang suci.
Baris 19:
Versi "islamisasi" dari kisah ini pun juga dikenal oleh sebagian masyarakat Jawa. Di Yogyakarta, hikayat menyatakan bahwa Bubuksah, yang juga memiliki nama muda sebagai '''Jaka Bandhem''', berkelana ke pesisir selatan Yogyakarta dan akhirnya tiba di [[pantai Parangtritis]]. Di sana ia kemudian bertemu dengan [[Syekh Maulana Maghribi]], utusan dari [[Sunan Pandanarang]], yang menyebarkan ajaran Islam di bagian selatan Jawa. Bubuksah kemudian menerima ajaran Islam dan berjuluk Syekh Bela Belu<ref name=belabelu/>.
== Panil cerita di Candi Penataran ==
Di kompleks Candi Penataran, kisah Bubuksah dan Gagangaking ditampilkan dalam lima adegan pada panil di sisi timur di antara dua tiang naga, bergerak dari selatan ke utara (dari kiri ke kanan). Penggambaran dimulai dari pertemuan Gagangaking dan Bubuksah yang kemudian menjadi perdebatan. Adegan paling khas dari kisah ini, yaitu Bubuksah menunggang harimau yang diikuti oleh Gagangaking yang berpegangan pada ekor harimau, ada pada adegan keempat. Adegan ini juga ditemukan di Candi Surawana<ref name="Suleiman" />. Berikut adalah perincian dari panil-panil tersebut.
Baris 28:
|-
|1
|[[
|''Gambaran adegan 1'': Seorang petapa yang gemuk, yang memakai penutup aurat dan jata (tutup kepala
petapa) duduk di atas sebuah batur berhadapan dengan seorang petapa lain yang rambutnya terlepas. Di samping kedua petapa itu nampak sebuah rumah tertutup yang terbuat dari kayu, sebuah tempat sajian dari batu, dan relung untuk sajian.
Baris 36:
|-
|2
|[[
|G''ambaran adegan 2'': Seekor harimau besar yang sedang mengaung mendatangi seorang petapa yang kurus-
kering yang rambutnya terurai. Di atas harimau itu sebuah awan dengan di dalamnya sesosok ''bhuta'' kecil yang mengangkat tangan kirinya. Di dalam pelipit atas tertulis angka tahun 1279 Saka (1375 M).
Baris 44:
|-
|3-4
|[[
|''Gambaran adegan 3'': Harimau tadi kini mendekati petapa gemuk yang memakai "tutup kepala petapa." Di atas relief terdapat tulisan "bubuksah" dalam [[Aksara Kawi|huruf Kawi]] yang jelas. Bagian itu pernah terlepas, tetapi kemudian ditemukan kembali oleh van Stein Callenfels. Di dalam pelipit atas: sebatang pohon kecil.
Baris 56:
|-
|5
||[[
[[
|''Gambaran adegan 5'': Petapa yang kurus sedang berjalan di belakang petapa yang gemuk, yang mengikuti seorang dewa, yang berpakaian dan berhiasan indah, berambut buas. Pada adegan ini nampak jelas penutup aurat yang dipakai Bubuksah dan Gagang Aking.
Baris 63:
|}
== Rujukan ==
{{Reflist|refs=
<ref name=SM-2017>{{Cite news|url=https://www.suaramerdeka.com/gayahidup/baca/737/bubuksah-gagang-aking-dua-bersaudara-yang-diabadikan-di-relief-tiga-candi|title=Bubuksah-Gagang Aking, Dua Bersaudara yang Diabadikan di Relief Tiga Candi|last=Adi|first=Fadhil Nugroho|date=Selasa, 7 November 2017|work=Suara Merdeka daring|access-date=14 Maret 2020}}</ref>
Baris 72:
}}
== Bacaan ==
* Nawa Tunggal. [https://m.tribunnews.com/iptek/2015/12/02/sudah-7-abad-misteri-relief-panji-di-candi-penataran-belum-terkuak Sudah 7 Abad, Misteri Relief Panji di Candi Penataran Belum Terkuak]. TribunNews.com Edisi Rabu, 2 Desember 2015.
* Achmad Junaidi. [https://jatim.deliknews.com/2018/09/08/mengenal-lebih-jauh-blitar-kota-makam-raja-raja-episode-3-candi-penataran-palah-perwujudan-dewa-siwa/ Mengenal Lebih Jauh Blitar, Kota Makam Raja – Raja Episode 3 ( Candi Penataran/ Palah, Perwujudan Dewa Siwa)]. Deliknews.com. September 8, 2018.
Baris 82:
{{Rintisan}}
[[Kategori:Cerita rakyat dari Jawa Timur]]
[[Kategori:Majapahit]]
[[Kategori:Hindu]]
|